Evan Bertanggung Jawab

1535 Kata
Evan melangkah dengan tergesa. Sepanjang perjalanan ia begitu panik memikirkan sosok wanita yang ia panggil Baby itu. “Baby, buka pintunya. Ini Mas,” kata Evan lalu mengetuk daun pintu itu dengan tidak sabaran. “Baby, jangan buat Mas khawatir.” Evan mencoba membuka itu. Tapi, tidak bisa dan karena begitu cemas Evan sampai ingin mendobrak pintu itu. Namun, belum sempat hal itu Evan lakukan Baby telah lebih dulu membuka pintu tersebut. “Mas Evan,” kata Baby yang masih terlihat menangis. Baby langsung memeluk erat tubuh tegap pria tampan itu. Melesakkan kepalanya tepat di d**a bidang Evan, tempat ternyamannya selama ini. Tempatnya melepas penat atas semua masalah yang selalu menimpanya. Baby tidak bisa jika hidup tanpa pelukan dan kasih sayang Evan. “Ada Mas di sini. Kamu jangan nangis lagi,” kata Evan menenangkan Baby. Ia tidak membalas pelukan Baby. Tapi, tangan kanannya terulur begitu saja untuk mengusap puncak kepala wanita itu dengan lembut. Tidak bermaksud apa - apa. Evan hanya ingin membuat Baby tenang dan berhenti menangis dan setelahnya ia bisa pulang kembali bersama sang istri. Baby mengangguk samar. “Mas, aku ngantuk,” adu Baby lalu mengurai pelukannya. Pandangannya pun beralih menatap pria tampan itu. “Ayo Mas temani kamu sampai tertidur,” ujar Evan lalu mengajak Baby untuk masuk ke dalam kamar kost nya. “Kalau aku udah tidur Mas jangan pergi ya,” pinta Baby penuh harap. “Hmm.” Evan hanya bergumam pelan. Tentu saja kali ini Evan tidak akan menuruti permintaan Baby karena biar bagaimanapun sekarang Evan sudah punya istri dan tentu saja sudah seharusnya ia menghabiskan waktu istirahatnya bersama Ayra. AYRA! Ya, mengingat nama itu Evan jadi merasa bersalah. Sebab tadi Evan tak sempat berpamitan pada istrinya itu. Biarlah nanti setelah tiba di rumah Evan pun berniat akan menjelaskan semua ini pada Ayra. * * * Pagi harinya, selesai mandi dan berdandan cantik Ayra pun langsung mengayunkan langkah kakinya menuju dapur. Ia hendak membantu Ibu Indah yang tengah sibuk membuat makanan untuk sarapan pagi. “Ra, suamimu pulang jam berapa semalam?” tanya Ibu Indah lalu menatap sekilas wajah anaknya. Pasangan ibu dan anak itu terlihat kompak, tengah menata piring dan gelas di atas meja makan. “Ibu tau kalau Mas Evan pergi?” tanya Ayra dengan kening berkerut bingung. Apa suaminya itu pamit pada sang ibu? Ayra malah sibuk bergumam dalam hatinya. Ibu Indah pun mengangguk. “Pamit sama Ayah. Katanya ada urusan urgent di rumah sakit,” ujar Ibu Indah kemudian menceritakan alasan menantunya itu pergi larut malam. “Oh. Iya, Bu.” Ayra hanya menjawab seadanya saja. Tak tahu harus memberi tanggapan apa lagi. Hatinya terlanjur kecewa mendengar kebohongan Evan untuk pertama kali dan di hari pertama mereka resmi menjadi pasangan suami istri. Suami seperti apa sebenarnya Evan itu? Ayra merasa seolah banyak rahasia yang pria itu sembunyikan darinya. “Jangan ngelamun, Ra. Sana buatkan suamimu kopi sebelum dia datang ke sini,” kata Ibu Indah memberi perintah. Ayra hanya mengangguk patuh dan tanpa banyak kata ia lalu melakukan apa yang ibu nya perintahkan tadi. Hingga sepuluh menit kemudian Evan pun datang dengan penampilan yang terlihat sangat rapih. Sepertinya Evan hendak berangkat bekerja hari ini. "Mas ini kopinya, silahkan di minum,” ucap Ayra lalu menaruh satu gelas kopi hitam di atas meja. Evan tersenyum lembut ke arah Ayra. “Makasih ya, Dek,” kata Evan. Ia lalu menyesap perlahan kopi buatan sang istri. “Ayah kemana Bu?" tanya Evan pada Ibu mertuanya. Ia sedikit heran, pagi ini Evan tidak melihat keberadaan ayah mertuanya itu. Setahu Evan ayah mertuanya sudah tidak bekerja. "Ayah sudah berangkat ke toko barusan, Mas,” jawab Ibu Indah. “Ayah sengaja membuka usaha toko alat pancing, katanya biar nggak gabut buat mengisi waktu luang,” kekeh wanita paruh baya itu, sambil memberi tahu sang menantu yang terlihat bingung. Ya, ternyata setelah Pak Ibrahim pensiun pekerjaanya. Beliau pun memilih membuka usaha untuk mengisi waktu luangnya sekaligus mengerjakan hobi mancingnya yang sempat tertunda saat masih bekerja dulu. Evan mengangguk tanda mengerti dan paham. Setelah menyelesaikan sarapannya Evan pun kembali membuka suara. "Bu, saya mau minta izin. Mau ngajak, Dek Ayra untuk tinggal di rumah yang sudah saya siapkan,” kata Evan penuh harap. Ia begitu berharap sang mertua membolehkan nya membawa anak gadisnya itu. Ayra refleks menaruh alat makannya karena terkejut, sebelumnya Evan belum membahas hal ini padanya. Ibu Indah pun lalu tersenyum. "Boleh, Mas. Kenapa harus izin sama ibu. Ayra sekarang istri Mas Evan. Memang sudah sepantasnya seorang istri menurut dan ikut kemanapun sang suami mengajaknya pergi,” jelas Ibu Indah. Beliau tidak keberatan sama sekali. Dan Ibu Indah rasa ia pun tak perlu meminta izin pada suaminya. Sudah pasti jawabannya akan sama seperti dirinya. "Makasih ya, Bu. Kalau gitu saya berangkat kerja dulu,” pamit Evan. Pria tampan itu Ia lalu mencium punggung tangan mertua dengan sopan, tak lama Ia pun terlihat tengah berjalan ke keluar rumah. Ayra yang paham pun mulai mengikutinya dari belakang. "Mas berangkat dulu ya, Dek?" pamit Evan dan ia berdiri tepat di samping pintu mobilnya. “Mas kenapa harus pindah dari rumah Ibu?” tanya Ayra yang terlihat masih berat hati mengikuti kemauan sang suami. Alis Evan terangkat sebelah. “Kamu keberatan?” tanya pria tampan itu lalu menatap lekat manik mata sang istri. Ayra malah diam. Ia bingung mau jawab apa. Dibilang keberatan juga tidak. Tapi, jika di bilang tidak sebenarnya hatinya sedikit mengganjal tentang Evan yang tidak mau terbuka dan jujur padanya. Apa nanti saat pindah rumah kelakuan Evan akan semakin membuatnya sakit hati? Sungguh Ayra malah jadi overthingking sekarang. Ayra malah memilih mengalihkan pembicaraannya. “Hati-hati, Mas.” Ayra lalu mengulurkan tangannya untuk mengecup punggung tangan Evan dengan takzim. “Iya. Nanti jam lima Mas jemput ya. Kamu jangan lupa siap - siap dan berkemas.” Evan menerima uluran tangan itu. Sejurus kemudian ia pun membalas dengan mengusap puncak kepala Ayra penuh kelembutan. Tak lama mobil yang Evan kendarai pun berjalan pelan meninggalkan kediaman orang tua Ayra. * * * "Ra," panggil Ibu Indah saat melihat anak bungsunya itu masih berdiri di depan pintu. Ayra pun menoleh ke arah sumber suara. "Kenapa, Bu?” tanya Ayra, Ia lalu berjalan menghampiri sang Ibu. "Sini duduk dulu. Ibu mau ngomong,” kata Ibu Indah perintah, ia lalu menepuk tempat kosong yang ada di sebelahnya. "Ibu mau ngomong apa?" Ayra kembali bertanya. Ia memilih merebahkan kepalanya di atas pangkuan sang Ibu. "Ra, Ibu tau kalian menikah karena terpaksa, tapi Ibu yakin Mas Evan itu suami yang baik dan bertanggung jawab,” ucap Ibu Indan lalu menjeda sebentar kalimatnya. "Ibu berharap pernikahan kalian bisa langgeng sampai kakek nenek nanti. Aamiin,” kata Bu Endah penuh harap. Tak ada satu orang tua pun di dunia ini yang menginginkan pernikahan anaknya hancur berantakan dan berakhir di pengadilan. "Bu tapi kan Ibu tau aku aja nggak suka sama Mas Evan,” kata Ayra lalu mendongak menatap dalam manik mata sang Ibu. "Jaman dulu nggak ada nikah atas dasar cinta, Ra. rata-rata mereka dijodohin semua." Ibu Indah kemudian menceritakan masa mudanya dulu. "Tapi kan Ibu sama Ayah saling cinta,” bantah Ayra kemudian. "Makanya kamu belajar mencintai suami kamu mulai saat ini. Ingat, Ra, Mas Evan itu suami kamu sekarang. Dia lah satu-satunya pria yang halal untukmu,” ucap Ibu Indah memberikan nasihat pada anak bungsunya itu. Ayra terdiam sejenak. Pikirannya berkecamuk sekarang, bisakah ia mencintai Evan seperti permintaan ibunya? Tanpa Ibu Indah tahu, belum genap satu hari menjadi pasangan suami istri, Evan telah berbuat curang dengan membohongi Ayra dan keluarganya. * * * "Bu,” panggil Ayra. "Aku izin keluar bentar ya, Bu. Mau ketemu Mela sama Risa,” sambungnya kemudian. Ibu Indah yang tengah memasak untuk makan siang pun refleks menoleh. "Mau ngapain sih, Ra?" tanya Ibu Indah, dari nada bicaranya terlihat tidak suka. "Kamu itu udah nikah malah kelayapan mulu,” omel Ibu Indah yang kini sudah kembali menatap penggorengan di depannya. "Ish ..." Ayra pun berdecak sebal. "Aku nikah juga gara-gara di paksa sama Ayah. tau bakal kayak gini mending kemarin aku kabur aja pas mau di nikahin!" ucap Ayra lalu menghentakkan kakinya kesal. Ibu Indah pun langsung mematikan kompor nya, beliau lalu berjalan menghampiri sang anak yang tengah terduduk di kursi meja makan. "Kamu mau main kemana, Ra sama mereka?" tanya Ibu Indah halus. Beliau sadar anak seusia Ayra memang masih senang-senangnya bermain dan berkumpul bersama teman-teman nya. Ibarat bunga anak seusia Anin itu lagi mekar - mekarnya. Bagaimana tidak? Umur sembilan belas dipaksa menikah oleh sang ayah. Ya, beginilah jadinya. "Cuman mau main ke rumah Mela, Bu. Kayak biasanya,” jawab Ayra singkat, Ia masih asyik memainkan ponselnya pintarnya. "Ya udah sana, tapi kamu Izin dulu sama mas Evan ya,” perintah Ibu Indah lalu mengelus lembut puncak kepala sang anak. "Jangan lupa kamu harus udah dirumah, sebelum suamimu pulang kerja!!" titah Ibu Indah tegas. Beliau tak mau jika nanti sang menantu menilai buruk pada anak sulungnya itu. "Yang bener Ibu ngasih izin?" tanya Ayra memastikan sekali lagi. "Beneran, apa kamu berubah pikiran sekarang?" tanya Ibu Indah lalu menaikkan sebelah alis matanya. Ayra pun langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak Bu, yaudah aku pamit main kerumah Mela dulu ya, Bu,” ucap Ayra berseru senang, Ia lalu mengecup punggung tangan sang Ibu sebelum pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN