Menemui Mantan Di Malam Pertama

1481 Kata
"Saya terima nikah dan kawinnya Lashira Ayra Jenna Binti Ibrahim Umar dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat tiga puluh gram di bayar TUNAI,” ucap seorang pria tampan itu dengan satu kali tarikan nafas. "Bagaimana saksi?" tanya pak penghulu kemudian. "SAH … SAH,” jawab para saksi yang hadir secara kompak. "Alhamdulillah, Barakallahu Laka Wa Baraka' Alaika wa jama'a Bainakuma Fii Khoir." Pak penghulu lalu mengangkat kedua tangannya seraya mendoakan sepasang pengantin baru tersebut. "Mba Ayra silahkan di cium tangan suaminya,” kata pria paruh baya itu memberi perintah. Ayra pun terlihat ragu-ragu saat akan melakukan hal itu. Namun, tak lama tangan sang Ibu sudah menyenggol nya lebih dulu dari samping. Ayra menoleh sekilas dan seolah paham, bahwa ini adalah kode dari sang Ibu agar ia segera melakukan apa yang diperintahkan oleh bapak penghulu barusan. "Mas Evan?" ucap Ayra lirih, Ia lalu mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suami barunya itu dengan takzim. Pria tampan yang diketahui bernama Farzan Abbasy Evano itu pun lantas tersenyum, saat wanita muda di depannya ini mencium punggung tanganya. Dan dengan gerakan cepat Ia lalu membalas mencium kening istri kecilnya itu dengan lembut. Ayra membelalakan matanya seketika kala mendapat perlakuan seperti itu, jantung nya seakan berdetak tak menentu, ini pertama kalinya Ia di sentuh oleh seorang pria. “Kenapa tegang, hmm?” tanya Evan berbisik pelan. Ayra menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Mas,” sahutnya lalu membuang muka. Ditatap oleh Evan seperti itu, ia pun tampak sangat malu. Apalagi kala mendengar suara - suara di sekitarnya yang tengah berusaha menggoda mereka berdua. Acara demi acara pun berlangsung, tepat pukul empat sore. Tamu undangan yang hadir pun sudah banyak yang berpamitan untuk pulang, kini di kediaman Ayra hanya tersisa beberapa sanak saudara dan keluarga inti saja. "Bu ini udah selesai kan? aku ganti baju ya Bu gerah banget,” kata Ayra pada sang Ibu. "Sabar, Dek. nanti nunggu tamu semuanya pulang dulu,” balas wanita parah itu lalu tersenyum lembut. "Ibu sih, siapa suruh aku disuruh nikah buru-buru, aku itu ma.” Ucapan Ayra terputus. Saat sang ibu menyenggol lengannya dengan kencang. Seolah memberi isyarat bahwa Ayra tak boleh melanjutkan perkataannya. "Mas Evan. ada apa, Mas?" sapa wanita paruh baya yang diketahui bernama Indah Purwanti itu dengan ramah. “Mama mau pamit pulang, Bu.” Evan menjawab pertanyaan ibu mertuanya itu. Tak lama pandangannya pun beralih menatap sang istri. "Dek Ayra di sini ternyata,” ucap Evan pelan. “Ayo, kita temui mama dulu." Pria tampan itu memberi isyarat pada sang istri agar segera menemui keluarga yang hendak pamit pulang dari kediaman Ayra. "Ayra dengar nggak itu Mas Evan bilang apa?" kata Bu Endah pelan setengah berbisik, beliau kembali menyenggol lengan sang anak. Ayra pun menghela nafas nya berat. "Ya udah ayo, Mas. Kita ke depan,” jawab Ayra singkat. Ia lalu berjalan terlebih dahulu. Meninggalkan Evan yang masih berbincang dengan sang ibu. Tiba di ruang tamu, Ayra langsung berjalan ke arah keluarga sang suami yang telah menunggu dirinya. Lalu dengan takzim Ayra pun menyalami mereka satu persatu - satu. "Mama sama Papa pamit pulang dulu ya, Ra,” kata mama Emma lalu tersenyum ramah. “Hati - hati ya, Ma, Pa.” Kedua mertuanya pun mengangguk. “Iya. Mama tunggu kalian. Jangan lupa besok main ke rumah Mama ya.” Setelah mendapat anggukan dari Ayra. Mama Emma pun langsung mencium pipi kanan dan kiri menantu cantiknya itu, dan tak lama keduanya pamit pulang. Ayra terlihat menghela nafasnya berat. Meski pernikahan terjadi karena sebuah kesalahpahaman setidaknya Ayra termasuk beruntung karena memiliki mama mertua sebaik Emma. Ya, semoga saja sikap baik mama Emma tidak hanya sehari dua hari saja. Semoga selamanya mama mertuanya akan bersikap seperti itu. * * * Pukul tujuh malam suasana rumah Ayra masih terlihat ramai. Para tetangga masih sibuk membantu Ibu Indah dan Pak Ibrahim membereskan halaman sisa - sisa hajatan tadi. Berbeda sekali dengan suasana yang terjadi di dalam kamar pengantin itu, yang terlihat tampak sunyi dan sepi. Tak lama pintu kamar mandi pun terbuka. Evan baru saja selesai membersihkan diri, pria tampan itu lalu mengayunkan langkah kakinya berjalan ke arah sang istri yang terlihat tengah sibuk menyisir rambut panjangnya itu. "Dek Ayra?" panggil Evan pelan. Tanpa perlu meminta izin Evan lalu mendudukkan dirinya di sisi ranjang. Tepat bersebelahan dengan Ayra yang tengah duduk di kursi rias. "Hmm. Ada apa, Mas? Ayra malah menundukkan kepalanya, sama sekali belum mau menatap wajah suami tampannya itu. "Tatap Mas sebentar, Dek!!" titah Evan terdengar begitu tegas. Perlahan pria tampan itu lalu menarik pelan lengan sang istri agar menghadap ke arahnya. Dengan ragu-ragu Ayra mau menuruti perkataan suaminya. Ia lalu mendongak sambil menatap manik mata setajam elang milik Evan. "Kenapa?” tanyanya sekali lagi. Evan pun terlihat menggenggam tangan istri cantiknya itu. "Meski pernikahan kita terjadi karena keterpaksaan, tapi Mas janji sampai kapanpun Mas nggak akan pernah menceraikan kamu. Mas cuman pingin kita menjalani rumah tangga seperti pasangan pada umumnya. Apa kamu bersedia, Dek?" tanya Evan lalu balas menatap dalam manik mata meneduhkan milik istri cantiknya itu. Ayra bingung, apa yang harus Ia jawab saat diberi pertanyaan seperti itu, karena jujur sampai saat ini Ia masih belum terima kalau dirinya sudah menikah, masih banyak impian dan cita-cita yang ingin Ia kejar. Namun karena suatu kesalahan pahaman membuatnya harus mau di nikah kan oleh seorang dokter. Ya, seorang dokter yang beberapa waktu lalu sempat menangani ayahnya yang tengah berjuang di meja operasi. "Gimana, Dek Ayra bersedia?" tanya Evan memastikan. "Aku ---" Ayra terdiam sesaat. Ia masih bingung dengan perasaannya saat ini. "Ya udah nggak usah di jawab, biarlah mengalir apa adanya dulu,” ucap Evan mengalah. Tangannya lalu terulur, untuk mengelus lembut puncak kepala sang istri. “Maaf, Mas.” Ayra berkata pelan. Ia pun menjadi tidak enak hati. Apa sudah seharusnya ia ikhlas menerima pernikahan dadakan ini? Meski keduanya menikah tanpa cinta. Tapi, setidaknya Ayra bisa merasakan bahwa pria tampan itu bersikap baik padanya. Terlebih keluarga Evan pun terlihat welcome akan kehadiran nya di tengah - tengah keluarga mereka. Evan menggeleng pelan. Ia tidak mempermasalahkan sikap Ayra yang masih belum mau terbuka padanya. "Udah malem tidur yuk, Dek!!" ajak Evan pada sang istri. Evan lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Dan melihat tidak ada pergerakan dari sang istri, Evan pun terbangun kembali. "Kenapa, Dek? Ayo tidur, tenang Mas nggak akan minta hak Mas malam ini,” ucap Evan pelan memberi penjelasan. Ia seolah tahu apa yang tengah dipikirkan oleh sang istri. Ayra pun langsung membulatkan matanya lebar - lebar kala mendengar sang suami berbicara seperti itu. Jujur Ayra pun menjadi takut, Ayra belum siap sama sekali menyerahkan harta berharganya pada sang suami. Mungkin mereka butuh sedikit waktu untuk saling terbuka satu sama lain, barulah nanti Ayra memikirkan memberikan kesuciannya untuk sang suami. “Iya, Mas.” Hanya itu yang Ayra katakan. Tak lama Ayra pun ikut merebahkan dirinya di atas ranjang dengan memunggungi tubuh suaminya itu. Evan pun tampak maklum dengan sikap sang istri yang enggan menghadap kearahnya. Ia berusaha sabar dan tak mau ambil pusing karena merasa cukup kelelahan akhirnya Evan pun mulai tertidur pulas. Pukul sebelas malam ponsel Evan terus berdering. Meski enggan ia pun terpaksa mengangkat panggilan itu. Evan hanya takut suara bising itu menganggu waktu tidur sang istri. "Halo?" jawab Evan dengan mata yang masih terpejam. Ia benar - benar masih mengantuk berat sekarang. "Mas. Tolongin aku," kata seorang wanita dengan suara yang begitu lembut di sebrang sana. Mendengar suara itu. Mata Evan sontak terbuka lebar. Tanpa sadar ia malah segera duduk bersandar di kepala ranjang. "Ada apa, Baby?" Evan bertanya dengan nada yang terdengar khawatir. "Aku takut, Mas. Dia datang lagi," lirih wanita itu sambil terisak pelan. "Mas bisa ke kost ku sekarang," pintanya kemudian penuh harap. "Baby, kamu tenang ya. Tunggu, lima belas menit lagi Mas sampai sana." Tanpa pikir panjang Evan pun langsung menyanggupi permintaan wanita itu. Ia terlihat buru - buru bahkan langsung pergi tanpa berpamitan dengan Ayra lebih dulu. Saat pintu tertutup rapat. Ayra langsung membuka matanya dengan lebar. Matanya menatap nanar ke arah daun pintu berwarna coklat itu. Menatap kepergian sang suami dengan sejuta pertanyaan yang mencokol di hatinya. Ya, rupanya sejak tadi Ayra bahkan belum sekalipun terlelap jadi Ayra pun bisa mendengar dengan jelas apa saja yang di bicarakan oleh sang suami dengan teman bicaranya di telepon itu. "Siapa baby?" "Kenapa Mas Evan terlihat buru - buru dan panik sekali?" Ayra masih sibuk bergumam sendiri dalam hatinya. Meski mereka menikah tanpa cinta. Tapi, hati dan perasaan Ayra sedikit terluka melihat Evan yang memilih pergi menemui wanita lain. Alih - alih menghabiskan waktu malam pertama mereka untuk saling mengenal satu sama lain. Ayra jadi bingung. Tadi, Evan memintanya untuk menerima pernikahan ini dengan lapang d**a. Dan mengajak Ayra mewujudkan rumah tangga yang indah layaknya pernikahan pada umumnya. Lalu sekarang pria itu malah pergi menemui wanita lain. Ada banyak rahasia dari Evan yang tidak Ayra ketahui. Jadi wajar kan kalau Ayra ragu melanjutkan pernikahan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN