Ruangan itu gelap, hanya satu lampu yang meneranginya. Sinarnya yang temaram menyatu dengan tetes keringat yang jatuh melewati kelopak mata Kane. Membuat penglihatan laki-laki itu mengabur dan seketika - rasa sakit menimpa wajahnya. Sebuah pukulan kuat yang membuat laki-laki itu jatuh dalam sekejap. Kane menutupi wajahnya dengan kedua tangannya ketika orang di depannya memukulinya berkali-kali. Sangat sakit hingga membuat laki-laki itu tertawa, meskipun mulutnya penuh dengan darah. Kane hampir saja kehilangan kesadaran hingga sebuah suara hitungan memenuhi kepalanya.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh -
Padahal Kane ingin menerima semua pukulan itu hingga dirinya hancur.
Delapan
Padahal pukulan itu tak terasa apa-apa, hanya sakit yang beberapa hari ke depan akan hilang dari tubuhnya.
Sembilan
Padahal Kane membutuhkan rasa sakit itu di tubuhnya agar rasa sakit lain di hatinya itu hilang - meskipun sementara.
"Sepuluh! Berhenti!"
Sebuah tangan membantunya berdiri. Kane tersenyum kecil dan menyambut uluran tangan laki-laki di depannya. Merasa sedikit senang ketika melihat sedikit lebam di pelipis laki-laki itu. Sebuah kemajuan Kane bisa membalas pukulan atlet petinju yang sangat terkenal itu. Laki-laki itu menerima botol air yang diberikan sekretarisnya dan keluar dari ring.
"Ini terakhir kalinya aku membiarkanmu. Kalau kau melakukan hal seperti ini lagi, aku akan melaporkannya pada Tuan Lazuardhi, Kane," kata laki-laki bernama Ian itu.
Kane menatap tajam sekretarisnya yang juga temannya sejak kuliah itu, "Laporkan saja. Aku tak peduli," kata Kane datar.
Ian mengambil barang-barang Kane dari bangunan tua tempat Kane bermain tinju itu. Menyusul Kane yang sudah berjalan di depannya. Melihat punggung Kane yang dipenuhi keringat. Wajahnya penuh dengan luka lebam. Malam ini sahabatnya itu pasti tidak akan pulang ke rumah lagi. Dan Ian yang harus membuat kebohongan lagi kepada orang tua Kane.
"Kali ini kau sudah berlebihan, Kane. Yang benar saja, kau bermain dengan Lewis, petinju nomor satu di Inggris. Kau ingin mati? Kalau benar, aku bisa memberitahumu cara mati yang lebih mudah. Kau tahu berapa aku harus membayar Lewis agar mau melawanmu dalam pertandingan bodoh ini?"
Kane membuka pintu mobilnya, melihat Ian dengan tak acuh. "Aku tak ingin tahu - dan berapa pun kau membayarnya, itu adalah uangku, bukan uangmu!"
Ian tersenyum kecil, "Benar. Kau yang membayarnya, tapi tetap saja -" Ian menarik tubuh Kane yang ingin duduk di kursi sopir. "Hei, kau tak boleh menyetir! Kau tak melihat wajahmu sekarang? Aku tak tahu denganmu, tapi aku tak mau mati muda, Kane. Kenapa kau tak peduli pada nyawamu?" kata Ian lalu masuk ke mobil.
Kane mendesah pelan dan duduk di kursi sebelah Ian. Laki-laki itu memakai jaketnya dan menatap jalan lewat kaca mobil yang gelap. Melihat gemerlap bangunan dan lampu-lampu yang indah itu dengan mata kosongnya. Seperti tubuh tanpa hati, seperti raga tanpa jiwa, begitulah Kane Lazuardhi - sejak tiga tahun yang lalu, saat untuk kedua kalinya, satu-satunya cinta dalam hidupnya meninggalkannya.
Dan kali ini - Kane sangat tahu bahwa perempuan itu tak akan kembali lagi. Bahwa mereka benar-benar sudah berakhir.
****
Kane meringis pelan, merasakan perih di ujung matanya. Laki-laki itu bahkan tak bisa membuka matanya dengan lebar. Dengan tubuh lemahnya, Kane berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Rasa sakit itu semakin terasa ketika laki-laki itu melihat luka yang sudah membiru di sekujur tubuhnya. Kane menyentuh luka lebam itu, terutama di perut sebelah kanannya. Menekannya dengan kuat hingga laki-laki itu meringis kesakitan. Kadang menyakiti dirinya sendiri seperti ini membuat Kane merasa lebih baik.
Laki-laki itu pun segera mandi. Membasahi tubuhnya dengan air hangat. Akhir pekan sudah usai dan hari ini ia harus kembali bekerja. Menjadi orang gila kerja yang menghabiskan 24 jamnya di kantor dan hanya pulang di akhir pekan - untuk melakukan hobi gilanya itu lagi. Kane memikirkan rutinitas gilanya itu dan merasa hidupnya benar-benar berantakan.
Kane merasa sangat sesak hingga kadang dirinya tak bisa bernapas. Sesak karena begitu merindukan perempuan itu - tapi kedua kakinya terikat erat dan Kane tidak diperbolehkan menemuinya.
"Kane!"
Sebuah teriakan menyadarkan Kane. Laki-laki itu segera membungkus tubuhnya dengan bathrobe dan keluar dari kamar mandi. Ian sudah berdiri di depan pintu kamar mandi dan melihatnya dengan penuh kepanikan.
"Maafkan aku..."
Tak sempat memahami arti permintaan maaf Ian, pintu kamar hotelnya terbuka dan pria paruh baya berjalan dengan penuh kemarahan ke arahnya. Pria itu menatap tajam Kane lalu memukul Kane tepat di pipinya yang lebam.
"Kalau kau ingin dipukuli, kenapa kau tidak datang saja padaku! Kenapa kau melakukan ini, Kane?" teriak Estavan Lazuadhi, ayah Kane.
Kane tertawa kecil, "Benarkah Ayah akan memukuliku? Aku tahu Ayah tak sampai hati memukuliku sampai seperti ini." Kane menunjuk luka lebam di bahu dan wajahnya kepadanya ayahnya. "Karena itulah aku menyuruh orang lain. Ayah hanya berani menamparku - seperti yang sekarang ayah lakukan."
"Kane!"
Kane melewati ayahnya dengan santai. "Ayah tak usah khawatir, aku tidak akan mati semudah itu. Kalau aku ingin mati, aku sudah melakukannya dari dulu. Aku tidak akan menunggu tiga tahun ini hanya untuk merasakan sakit seperti ini."
Estavan menarik tubuh Kane menghadapnya, "Apa yang kau inginkan? Apa yang harus Ayah lakukan agar kau tak seperti ini lagi, Kane? Apa yang harus Ayah lakukan untukmu?"
Kane mengeraskan wajahnya, menatap empat orang berpakaian hitam yang menjaga pintu kamarnya. Para pengawal yang disewa ayahnya untuk mengawasi Kane. Kane tahu para pengawal itu hanya memiliki satu tugas, yaitu mencegah Kane kabur dari negara ini. Mencegah Kane keluar dari negara ini untuk bertemu cintanya - Elenanya.
"Biarkan aku bertemu Elena," kata Kane.
Estavan tertegun, wajahnya kembali kaku, "Selain itu. Ayah bisa melakukan apapun. Selain hal itu, Kane."
Kane tersenyum dengan menyedihkan, "Kalau begitu, tidak ada. Tidak ada yang bisa Ayah lakukan untukku. Aku akan hidup seperti ini hingga aku bosan dan mungkin aku akan mengakhirinya sendiri."
"Kane!"
"Bisakah Ayah pergi? Aku harus bekerja agar tidak ada merebut perusahaan kita lagi. Bukankah itu alasan Ayah mengurungku di sini?"
"Kane, sampai kapan kau akan seperti ini? Ayah melarangmu menemui perempuan itu karena Ayah tak mau melihatmu lebih terluka, Kane. Perempuan itu sudah bahagia dengan laki-laki lain. Mereka sudah memiliki anak dan kau tidak boleh merusaknya lagi. Sudah cukup apa yang kau lakukan pada perempuan itu dulu. Apa kau tidak ingin perempuan itu bahagia? Kau ingin merusak hidupnya lagi dengan kedatanganmu?"
Kane mengepalkan tangannya, "Apa aku berkata akan merusak pernikahan Elena? Apa aku pernah berkata akan melakukan itu? Aku hanya ingin melihatnya! Kenapa kalian tidak mengerti itu? Aku hanya ingin melihatnya, Ayah! Melihatnya!"
"Melihatnya hanya akan menyakitimu, Kane. Ayah tak yakin apa kau bisa tahan melihat perempuan itu dengan laki-laki lain. Ayah takut kau melakukan tindakan bodoh seperti dulu." Estavan memegang tangan Kane dengan erat. "Lupakan Elena. Tiga tahun sudah berlalu. Ini saatnya kau melupakan Elena dan membuka hatimu untuk perempuan lain, Kane..."
Kane tertawa dan menepis tangan ayahnya. "Jika saja aku bisa melakukannya, Ayah..."
Melihat wajah putus asa anaknya, Estavan menjadi sangat sedih, "Apa kau benar-benar ingin melihat Elena?"
"Ayah..."
"Ayah akan membiarkanmu kembali ke Indonesia, tapi dengan satu syarat. Kau harus menikah, Kane."
"Ayah bercanda? Menikah dengan siapa, Ayah? Aku bahkan tak pernah berhubungan dengan siapapun selama ini," kata Kane.
"Menikah dengan cucu salah satu teman nenekmu. Salah satu anak dari keluarga William. Ayah akan mengizinkanmu tinggal di Indonesia asalkan kau menikah dengannya. Tapi, kalau kau membuat masalah lagi dengan Elena atau keluarga Basupati, Ayah akan membawamu kembali ke Inggris bagaimanapun caranya. Kau mengerti, Kane?"
"Sebentar - aku tidak bilang akan setuju dengan pernikahan ini. Aku bahkan tidak mengenal perempuan itu, Ayah. Aku bahkan tak tahu namanya. Bagaimana kami bisa menikah?"
"Namanya Evelyn, dia seorang dokter kandungan. Sangat cantik dan masih muda. Ayah sempat kasihan karena perempuan baik sepertinya harus menikah denganmu yang seperti ini, tapi kau tetap anak Ayah." Estavan menepuk bahu Kane dan tersenyum kecil. "Meskipun seperti ini, Ayah tetap ingin yang terbaik untuk anak Ayah."
Kane melirik Ian yang masih berdiri di belakang Estavan dan tersenyum miring, "Kau dengar? Ayahku menawariku menikahi perempuan yang tidak aku kenal. Bagaimana menurutmu?" tanya Kane kepada Ian.
"Hanya ini cara agar kau mendapat izin Ayah untuk kembali ke Indonesia, Kane. Kalau kau menolak, Ayah tidak akan keberatan karena itu artinya kau tidak akan bertemu dengan Elena lagi."
Kane meninggalkan ayahnya ke dapur dan mengambil air minum di sana. "Bilang saja kalau Ayah menjodohkanku untuk memperkuat posisi Ayah di perusahaan. Paman memiliki menantu dari keluarga Emilio, keturunan bangsawan Inggris yang terhormat itu. Ayah pasti menjodohkanku agar keluarga William mendukung Ayah, bukan?"
"Itu hanya keuntungan lain dari pernikahan ini, Kane. Ayah tak sepenuhnya menikahkanmu untuk bisnis Ayah. Ayah hanya ingin kau membuka lembaran hidup baru."
"Baiklah. Aku setuju."
Wajah Estavan kembali bersinar, "Benarkah? Kau tidak akan berubah pikiran, kan? Ayah akan memberitahu keluarga William segera."
"Hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa melihatnya lagi. Tentu saja aku setuju." Kane meninggalkan ayahnya ke ruang ganti untuk bersiap ke kantor. "Apapun yang terjadi nanti, jangan menyesali keputusanmu, Ayah," kata Kane kepada ayahnya sebelum menutup pintu ruang gantinya.
Kane berganti pakaian, tangannya bergetar mengetahui sebentar lagi ia akan melihat Elena. Hal yang hanya berani ia mimpikan selama ini akan terwujud. Kane akan menemui perempuan itu. Melihat sendiri keadaan Elena - melihat wajahnya, senyumnya, dan sinar matanya yang membuat Kane hampir mati karena merindukannya. Kane sangat menantikan hari itu hingga tubuhnya tak berhenti bergetar dan jantungnya berdetak seperti ingin membunuhnya.
"Kau serius dengan keputusanmu ini?" tanya Ian ketika mereka di perjalanan menuju kantor.
"Aku akan melakukan apapun agar bisa bertemu dengan Elena lagi," balas Kane.
Ian mendesah pelan, melirik Kane dengan sedih, "Entah kenapa, aku merasa sedih untuk perempuan yang akan menikah denganmu nanti."
"Kenapa? Aku akan dengan jelas mengatakan pada perempuan itu bahwa aku tidak mencintainya dan pernikahan ini hanyalah pura-pura. Aku akan memberikan batas yang jelas sebelum menikah. Dan jika perempuan itu tidak setuju, aku akan membatalkan perjodohan ini."
Ian menggelengkan kepalanya, "Kau sungguh jahat, Kane."
"Aku hanya sedang menyelamatkan diriku sendiri."
"Meskipun kau tidak memiliki perasaan pada perempuan itu, setidaknya bersikap baiklah padanya. Dia tetaplah istri sahmu nanti," kata Ian lagi.
Kane melirik Ian dengan kening berkerut, "Kenapa kau mengkhawatirkan perempuan yang bahkan tak kau kenal? Aku bahkan tak tahu namanya."
"Namanya Evelyn, Kane. Bukankah tadi ayahmu sudah memberitahumu?" Ian membuka tasnya dengan satu tangannya. Mengambil tab putihnya dan menyerahkannya pada Kane. "Ibumu mengirimiku foto perempuan itu, karena tahu kau tidak akan membuka pesan darinya. Lihatlah perempuan yang akan menjadi istrimu itu. Kau sungguh beruntung karena dia begitu cantik."
Kane melihat tiga foto yang diberikan ibunya itu. Dengan serius melihat perempuan yang ada di sana. Perempuan itu memiliki rambut panjang agak kecoklatan. Salah satu fotonya menggunakan jas dokter dan Kane paling lama menatap foto itu.
Foto yang memperlihatkan perempuan itu berdiri di atap rumah sakit sambil memegang segelas kopi dan tertawa lebar menatap langit. Perempuan itu memakai kacamata bundar yang membuat wajah tirusnya lebih berisi. Alis lebatnya tertutupi oleh bingkai kacamata, tapi Kane bisa melihat mata coklatnya yang jernih dan indah. Kane harus mengakui bahwa perempuan itu cantik. Tapi Kane tidak merasakan apapun. Laki-laki itu menyerahkan tab Ian dengan wajah datarnya.
"Cantik ataupun tidak - itu tidak berarti apa-apa padaku."
"Kau sungguh baji-ngan gila yang menyebalkan," kata Ian.
"Benar. Itulah diriku."
Ian berusaha menahan nada bicaranya agar tak terdengar kesal. "Sekarang aku benar-benar merasa kasihan pada Evelyn karena ia harus tinggal dengan laki-laki gila yang masih mencintai perempuan yang sudah menikah sepertimu ini."
Mereka sudah sampai di depan kantor Lazuardhi Group dan Kane turun dari mobilnya. Laki-laki itu mengetuk jendela mobilnya dan seketika Ian membukanya.
"Kau tahu apa yang paling menakutkan dari orang gila?" Kane menatap Ian dengan senyum misterius yang membuat laki-laki itu merinding. "Tidak ada yang bisa menebak isi pikiran orang gila, karena mereka bisa melakukan apapun, tanpa takut apapun, Ian."