Kehampaan

3077 Kata
"Oke berarti yang ini aja ya?" Ia mengangguk. Ya sekalian akhirnya mengurus persiapan untuk membeli rumah. Beberapa hari kemudian, Gian juga memberikan kabar kalau mereka sudah menerima uang pertama. Ya istilahnya uang jadi bergabung. Gian langsung mengirim jatah untuknya dan Serena kembali ke kantor Tomi untuk mengurus pembelian rumah. Setelah itu, ia pulang dan menelepon ibunya. "Yakin kamu?" "Iya. Insya Allah. Rumahnya juga kan udah jadi, ma. Udah bisa ditempatin kok. Palingan ya beres-beres dikit lah. Kayak yang difoto itu, rumahnya bagus. Meski ya gak gede-gede amat. Harga segitu di tengah-tengah Jakarta udah paling murah." "Bangunannya aman kan?" "Insya Allah. Aku juga udah ngecek kok, kan bawa temen juga sebelum bayar." Mamanya mengangguk-angguk. "Ya udah. Mama ajukan pengunduran diri dulu. Nanti kalau sudah oke, mama menyusul." Serena mengiyakan. Sebenarnya, ia tahu sih kalau mamanya mungkin menghindari yang namanya Indonesia. Yaa bagaimana tidak trauma sih? Kejadian dulu masih sangat membekas. Mana kakek dan neneknya kala itu sudah tidak ada. Keluarga mamanya juga tak ada yang tinggal di sana. Mereka sudah terpisah sejak lama dan lagi keluarga mamanya dulu memang perantau. Jadi ya ke mana-mana perginya. Kini ia pun tak jauh berbeeda. Ser, besok bisa ikut ke Won Shik gak? Ia baru membaca pesan itu. Jam berapa? Jam sembilanan. Ia mengecek jadwalnya dulu. Jadwal mengajarnya yaa sekitar jam 1 siang. Mudah-mudahan tak ada rapat sih. Tapi ia bisa mampir sebentar ke kampus laku berangkat sekitar jam delapan dengan motor ke Jakarta. Ya dari pada naik kereta karena pasti masih ramai sekali kan ya? Jadi lebih baik ia naik motor walau agak deg-degan karena tahu lah jalanan padat. Ia juga mengendarai motor lebih banyak di sekitar Depok. Mobil? Baru mau membeli kok. Meski sudah lumayan lancar menyetir tapi bawaannya masih deg-degan sekali. Oke, insya Allah, Gian. Ia mengiyakan. Besok paginya, ia buru-buru ke kampus. Bair tak kentara kalau mau kabur. Hahaha. Ia tiba jam setengah tujuh pagi lalu ya sibuk mengerjakan banyak pekerjaan di ruangannya. Para senior tentu saja banyak yang berdatangan dan menyapanya. Menjelang jam delapan, ia buru-buru membereskan barang-barangnya. "Tinggal bentar ya, pak. Nanti balik lagi abis zuhur," ujarnya. Ia berpamitan pada salah satu dosen dan juga petugas di administrasi. Ya kan siapa tahu ada mahasiswa yang mencarinya. Ia bergegas pergi dengan mengendarai motor menuju Jakarta. Ya berbekal aplikasi peta di ponsel hingga akhirnya tiba satu jam kemudian di kantor. Agak buru-buru turun dan masuk ke lobi eeh untungnya Gian dan Ramzi masih menunggu. Ketiganya berjalan menuju lift. Tak ada firasat apapun sih. Hanya diminta datang yang ternyata bertemu dengan direktur heum.....dari wajahnya sih tak asing. Mata Serena menyipit begitu semakin dekat dan semakin jelas. Ingatan waktu menerima kritikan keras ketika ia presentasi di Singapura terbayang jelas. Ya masih terbayang jelas. Lalu sekarang? Agak-agak gimana gitu. Ia bukannya mau trauma sih. Tapi yaaa pasti masih ada rasa jengkel kan? Lalu sekarang? Jangan sampai ia disuruh untuk presentasi lagi. Bisa habis disembur nanti. Meski ada firasat tidak enak tapi ia harus berprasangka baik. Allah sudah baik sekali karena mempertemukannya dengan orang ini beberapa tahun lalu di Singapura. Yakin nih orang yang sama? Yakin. Karena Serena tak akan pernah lupa dengan wajah dingin itu. Lalu? "He's our marketing director. Mister Han Young Jae." Mereka diperkenalkan. Gian dan Ramzi tampaknya sudah lupa. Serena? Jelas tak akan lupa. Apalagi saat namanya disebut. Han Young Jae. Ia tak akan pernah lupa itu. Meski ya tak urung sih, ia harusnya berterima kasih. Karena kritikan kerasnya itu akhirnya membuatnya sadar kalau ia memamg perlu mengubah banyak hal. Kini? Ia agak-agak waspada. Meski ya beruntung, hari ini hanya temu biasa. Tidak hanya dengan mister Han itu tapi juga beberapa direktur lain. Mereka seolah dispesialkan karena diminta khusus untuk bergabung. Ya pada akhirnya Serena merasa agak-agak tenang. Menjelang jam setengah dua belas siang, acara memang selesai. Ya tak ada makan siang gratis kali ini karena ia juga harus kembali. Meski Gian bilang akan traktir. "Gue balik aja lah. Mau ngajar jam satu takut gak keburu." Kedua cowok itu mengiyakan. Tapi mereka masih berjalan hingga ke lobi. "Tapi gue ngerasa gak asing deh sama si yang orang Korsel itu." "Lu ngomong Korsel, yang dikenalin ke kita tadi orang Korsel semua." Gian terbahak. Ya iya juga sih. Ada benarnya. "Maksudnya yang paling muda itu. Kayak pernah ketemu. Tapi gue juga gak begitu inget." Serena langsung menyambung kalau sudah begitu. "Lo ingat waktu kita di Singapura dan dipermalukan abis-abisan?" Gian dan Ramzi langsung terbahak. Tentu saja. Mereka bertiga down di situ. "Itu lah orangnya." "Lo yakin, Ser?" "Mana mungkin gue lupa." Gian tertawa. Ya sih. Ia juga itahu bagaimana traumanya Serena gara-gara hal itu. Ya memang mereka bisa berada di sini juga berkat kritikan kala itu. Cuma ya tetap saja ada rasa trauma kan? Jleb sekali. "Ya ya ya. Kok bisa ketemu lagi sih?" Serena mengendikan bahu. Mungkin ia pindah kantor? Karena dulu merwka tidak melamar ke perusahaan ini kok. Tapi omong-omong, bisa-bisanya malah bertemu lagi. "Tapi cakep kan, Ser?" Ramzi menggodanya. Ia justru mendengus. "Oppa-oppa begitu bukan selera guee." "Yakiin? Yang hobi nonton drakor siapa heh?" Ia terkikik. Ya sih. Tapi yang satu itu pengecualian. Ya bayangkan aja bagaimana kalau jadi pasangannya lalu dikritik habis-habisan tanpa punya perasaan? Serena trauma parah bahkan setelah itu, ia menangis loh. Hahaha. Meski kemudian dihibur oleh Ramzi dan Gian. Tapi mereka tahu kan bagaimana down-nya Serena kala itu. @@@ "Siska, taruh profil mereka di meja saya," ujarnya. Sebenarnya ia bisa berbahasa Indonesia. Kan sudah dua tahun di sini. Kebetulan juga belajar dengan banyak menonton film-film di sini. Ia juga tipe orang yang sangat cepat beradaptasi. Tapi tak begitu banyak orang yang tahu kalau ia bisa berbahasa Indonesia karena ia jarang menggunakannya. Ya kecuali bersama Siska. Mungkin karena Siska bukan tipe-tipe gadis yang hobi kepo dengan kehidupan orang lain jadi ia merasa lebih nyaman. "Profil yang startup tadi, mister?" Ia mengangguk. Mereka yang ia maksud memang yaa itu. Ia hanya merasa tak asing saja. Bayangan wajah gadis menangis usai ia marahi dulu masih terbayang. Meski ia juga tak yakin apakah itu gadis yang sama atau bukan. Itu kan sudah sangat lama. Dan lagi, ia memang sangat kejam sih saat itu. Ia akui. Bahkan sampai sekarang juga masih kejam kok. Banyak yang mengakuinya. Hahaha. Ia pergi ke apartemen kalau sedang malas makan di luar. Terkadang ia bergabung dengan yang lain. Terkadang ia ingin sendirian. Seperti saat ini. Menepi di dalam apartemen lalu terdiam saat mendengar suara azan yang berkumandang samar-sama. Sudah dua tahun di sini dan ia selalu merasa asing dengan suara itu. Ya tahu sih kalau itu untuk orang yang beragama islam. Ia sudah biasa melihat perempuan-perempuan berhijab. Namun memang ada rasa yang berbeda ketika ia tinggal di sini dibandingkan dengan Singapura. Mungkin karena banyak masjid? Jadi di mana-mana ia mendengar suara azan. Ia juga sudah hapal dengan hari-hari besar Islam di sini yang nuansanya tentu sangat berbeda dengan ketika ia tinggal di Singapura atau Korea Selatan. Usai makan sendirian, ia berangkat lagi dari apartemennya. Baru masuk ke lift, ia berpapasan dengan lelaki yang satu bangsa dengannya namun berbeda agama. Ya tetangga apartemennya yang muslim dan begitu baik. Ia juga sangat mengenalnya ketika tinggal di Korsel dulu. Karena orang ini adalah sahabatnya ketika di kampus dulu. "Balik lagi lo?" Bahasa dan logatnya bahkan sudah sama dengan orang-orang di sini. Ia sudah lebih lama tinggal di sini. Sudah menikah dengan orang sini bahkan punya anak. Ya perkembangannya bahkan jauh. Sering terlihat dengan baju koko seperti sekarang. Mungkin baru pulang dari masjid? Karena ia sering melihatnya ke sana. "Ya." "Oke. Nanti malam makan sama siapa?" "Menurut lo sama siapa?" Temannya tertawa. Ya sih. Tak ada. Ia sudah hapal dengan kehidupan Han Young Jae. Padahal gateng loh. Usia ya sekitar 33 tahun tapi wajahnya di sini seperti masih 25 hingga 27 tahun lah. Jauh lebih muda kan? Ia yang justru terlihat lebih tua. Seperti sudah 39 tahun. Hahaha. "Kalau lapar, ke rumah aja, bro." Ia mengangguk. Sempat melambaikan tangan sebelum menutup pintu lift. Keduanya memang bertemu di dekat pintu lift. Han Young Jae hendak masuk sementara Im Dong Hae hendak keluar. Ia kembali ke kantor seperti biasa. Tentu saja langsung berjalan menuju ruang rapat karena memang ada presentasi dari salah satu startup yang sudah lama menjadi anak perusahaan di sini. Ya belum lima tahun dan baru dua tahun terakhir berurusan dengannya. CEO-nya? Yang kemarin membuat kerusuhan di ruangannya lalu? Tak ia marahi sih. Percuma dimarahi. Perempuan itu malah makin senang. Jadi, ia abaikan saja. Lalu kini? Rini buru-buru merapikan penampilannya begitu ia masuk. Ia tak suka. Semua perempuan berlomba untuk mencari perhatiannya. Ya dari dulu sih. Tapi kebanyakan dari mereka malah pergi setelah tahu dulu hidupnya begitu susah dan sangat kere. Kalau sekarang? Jangan ditanya lah. Ia punya mobil keren. Apartemen yabg sangat besar dan tentunya mahal. Ia digaji besar oleh perusahaan ini. Berkali-kali lipat dibandingkan dengan kantornya sebelumnya. Ia masih muda dan punya banyak pengalaman. Enak ya? Hidup itu berproses. Orang-orang hanya melihat hidupnya yang tampak mudah karena menjadi kaya. Mereka tak tahu bagaimana perjuangannya saat masih susah dulu. Bahkan ketika masa-masa kuliah. "Mungkin bisa dimulai sekarang," ujar salah satu staf. Han Young Jae hanya berdeham. Ia menatap bahan-bahan presentasi Rini yang muncul dilayar. Tapi belum juga selesai presentasi, sudah ia minta berhenti. Semua orang gugup dibuatnya. Ia memang sangat mengerikan. Ia tak pernah menyaring kata-katanya yang begitu kejam. Dikala ia menghajar habis Rini, Bianca yang turut menyimak tampak menahan tawa. Tampak girang sekali. Ia tentu senang kalau Rini dijatuhkan seperti ini. Musuh bebuyutannya sejak dulu karena apa? Karena semasa SMA dulu, kakaknya bunuh diri setelah di-bully habis-habisan oleh Rini. Walau yah tak ada begitu banyak bukti untuk membenarkan spekulasi itu. Namun ia kan tahu bagaimana Rini dulu. Mungkin sekarang ia sudah tak begitu. Ya tak begitu mem-bully lebih tepatnya. Apalagi ia akan selalu memberikan kata-kata untuk men-skakmat gadis itu. Orang seperti itu juga patut untuk dipermalukan. Itu adalah motivasi besarnya. Hohoho. Tapi bagian tidak serunya adalah Han Young Jae tak begitu kejam mengkritiknya. Ya karena baru beberapa menit presentasi dan sudah dihentikan. Jadi.... "Sebagai startup yang dibentuk sendiri oleh perusahaan ini dan kamu ditunjuk sebagai CEO-nya, kamu harus punya malu kalau tidak siap presentasi seperti ini." Bianca puas sekali mendengarnya. Dalam hati sih membenarkan ucapan Han. Karena ia juga memerhatikan tingkah Rini hari ini. Ia tampak terlalu memerhatikan penampilannya dibandingkan persiapannya untuk presentasi. Padahal sudah tahu Han itu seperti apa. Tak akan sungkan mengeluarkan kata-kata apapun. Sekalipun CEO baru perusahaan ini baru saja muncul. Kali ini, gantian Bianca yang memperbaiki duduknya. Juna. Teuku Muhammad Arjuna Arafat. Lelaki itu adalah kakak tingkatnya saat kuliah di Aceh. Yang tentu saja sejak kuliah juga sudah sangat terkenal karena Juna membangub kerajaannya sejak usia sangat muda. Siapa sih yang tak tertarik? Apalagi orangnya juga ganteng dan baik. Lalu sekarang? Malah makin sering bertemu. Padahal dulu kesempatannya untuk bertemu Juna ya dengan memantau media sosial teman-teman Juna yang hobi nongkrong. Lalu ia akan datang selama masih di dekat keberadaannya. Hanya demi berpura-pura tak sengaja bertemu lalu ya setidaknya disapa Juna yabg juga mengenalnya karena terlalu sering bertemu. Apakah Juna tertarik dengannya? @@@ "Bukan cuma kita ternyata geeenggss!" Putri membawa kabar gembira dari lantai atas. Kisruh Rini dan timnya yang diomeli habis-habisan oleh mister Han tentu saja sudah menyebar. Ia tampak girang karena kala itu yaa merasa agak-agak teraniaya. Hahaha. Eeh ternyata.... "Kayaknya emang orangnya gitu gak sih? Tipe-tipe rese gitu. Ganteng tapi rese. Ngeselin banget." Yang lain tertawa. "Mana dingin juga ya? Anehnya gue tetep demen sih," ujar Vera. Ia langsung disorak orang-orang yang ada di ruangan. Rangga geleng-geleng kepala. "Heran gue. Banyak tampang-tampang lokal kenapa pada demen yang kayak gitu dah?" Sandi protes. Kepalanya ditoyor beramai-ramai oleh geng cewek-cewek di sini. Hahaha. Ya jelas lah suka yang oppa-oppa begitu karena memang cakep. Haha. "Tauk tuh cewek-cewek. Kagak nasionalis luuu!" Butet ikut-ikutan sewot. Ujung-ujungnya ia disorak juga. Hahaha. Rangga masih berada di depan laptop. Tentu saja ada banyak hal yang harus ia perbaiki. Presentasi terakhir yang sangat membekas. Ya memang ada benarnya juga. Ada banyak hal yang harus ia perbaiki hingga pintunya diketuk. "Kak, ada yang nyariin tuh." Ia mendongak. Disaat sibuk begini, bahkan solat zuhur pun belum sempat. Ia melirik jam di dinding, sudah jam setengah satu siang. Tadi juga diajak sih sama yang lain untuk makan siang. Tapi ia memilih bekerja. Mister Han itu kan tidak tertebak. Ia tak tahu bagaimana alur pikirannya. Ia hanya was-was khawatir disuruh presentasi lagi. Jadi ia benar-bensr memperbaiki dan bersiap-siap. Tekniknya presentasi pun ia benar-benar habis dikritik. Ini benar-benar menjadi bahan pertimbangan. "Siapa?" "Cewek sama ibunya," tukasnya pelan. "Boleh julid gak, kak?" Rangga terkekeh. "Kenapa?" "Ngeselin banget tingkahnya. Maaf ya, kak?" Rangga terkekeh lagi. Ya dimaklumi lah. Karena itu kan ia juga malas. Ia juga heran kenapa mamanya sembarangan sekali memilih. Walau alasannya cuma satu sih. "Mereka itu keluarga sultan, Rangga. Gak enak mama kalau menolak mereka. Kita butuh link banyak sama orang, Rangga." Alasannya pasti tak jauh-jauh dari koneksi. Ya ia tahu sih hubungan dengan sesama manusia memang harus dijaga. Ia menghela nafas. Lupa pula kalau mereka akan ke sini. Kalau ia ingat, ia pasti sudah kabur. Ini karena pikirannya sih tak begitu fokus dengan hal lain. Hanya berpikir untuk memperbaiki segalanya. Mau tak mau ia beranjak. Ya dari pada pusing kan? Ini saja sudah pusing. Lalu ditambah lagi.. .. "Nak Rangga....." Tuh kan sudah heboh kan? Hahaha. Begitu ia datang dan menyalami, anaknya sibuk mengibas rambut biar cantik begitu. Padahal benar kata Putri tadi. Hahaha. Mereka norak. Ia terpaksa duduk dan meladeni hingga jam satu siang. Beruntungnya, timnya peka kalau ia tidak begitu senang dengan kedatangan tante Erlita dan anaknya itu. Hahaha. Jadi ya buru-buru masuk ruangan dan baru ingat kalau belum solat. Jadi ia pergi solat dulu. Ia sempat berpapasan dengan mister Han yang hendak masuk ke dalam lift juga. Ia mengangguk kecil sebagai tanda sopan tapi ya entah karena tidak melihat atau memang orangnya begitu mister Han tak perduli. Kalau yang lain mungkin tersinggung, ia bukan tipe yang perduli sih. Hahaha. Ia pergi ke masjid yang ada di gedung ini. Katanya sih baru setengah tahun ini ada masjid di sini. Tampilannya juga sangat besar. Kebanyakan perusahaan asing kan minimal hanya ada mushola. Tak sampai ada masjid. Mungkin biar gampang kalau mau solat. Bahkan suara azannya juga sampai ke ruangannya tadi kok. Namun ia tak begitu fokus mendengar itu. Karena pikirannya teralihkan. Jika Rangga sibuk solat di dalam sana, di bagian luarnya, mister Han tampak menatap. Ya menatap masjid. Ia sering sih tiba-tiba datang lalu melihat. Ini kan masjid terdekat yang bisa ia datangi. Ia hanya berdiri dan mengamati. Ia tak tahu kenapa, kalau gelisah akan sesuatu, ia hanya perlu ke sini. Asal tahu saja, hidupnya sungguh hampa selama beberapa tahun ini. Ia berlari jauh hingga ke Singapura lalu terdampar di sini sejak dua tahun terakhir. Tak terasa perjalanannya begitu panjang. Namun entah kenapa, hanya kehampaan yang ia rasakan. Tak ada rasa lain. Rangga terpaku melihat mister Han dari dalam masjid. Ya hanya melihat sekilas sih. Karena tak lama, lelaki itu sudah berbalik dan berjalan menuju lift. Entah kenapa lelaki itu ada di sini? Di lantai ini hanya ada masjid. Tak ada yang lain. Untuk apa ke sini? Solat? Tapi ia tak merasa melihat Han masuk ke dalam. Atau mungkin ia yang tak tahu? Mungkin benar-benar solat ya? Haah ia tak mau ambil pusing. Ia beranjak dari masjid lalu kembali ke ruangannya. Cewek-cewek tentu saja masih membahas kegantengan Han dan kemisteriusan lelaki itu. "Katanya sih masih jombloo, gaiiiiisss!" Ya soal status pasti hal pertama yang dicek oleh mereka begitu melihat yang bening-bening kan? Hahaha. Dan banyak yang berhuhu ria hanya akrena satu berita itu. Rangga geleng-geleng kepala. "Tapi nih ya cewek-cewek, mau dia jomblo juga belum tentu suka sama elu-eluu!" Butet sewot. Tentu saja ia langsung disorak oleh cewek-cewek itu karena selalu merusak kesenangan mereka. Hahaha. @@@ Han Young Jae. Hahaha. Entah kenapa ia jadi kepikiran. Bukan karena naksir loh. Ingat itu. Hahaha. Ia mencari profilnya karena penasaran sana. Tapi ternyata tak ditemukan. Satu pun tak ada. Hahaha. Ia sudah menduga sih. Itu cowok bukan yang suka uodate sesuatu. Terlihat dari keseriusan dalam wajahnya. Akhirnya ia berpaling deh. Lebih banyak melanjutkan artikelnya. Banyak yang harus dikerjakan. Urusan rumah sudah beres. Minggu ini kembali belajar menyetir dengan Gian. Semoga segera bisa mengurus SIM setelah ini. Lalu sebelum tidur, seperti biasa, ia mengecek ponselnya. Tak ada apapun. Hidupnya msmang hampa sih. Hahaha. Pernah punya pacar? Pernah. Adik tingkatnya semasa kuliah. Hahaha. Dari fakultas tetangga dan kini? Dengar-dengar sih sudah bekerja di startup juga. Sudah lama tak bertemu juga. Hahaha. Berkabar? Jarang-jarang. Tapi hubungan mereka masih cukup baik lah. Karena putusnya juga kan baik-baik. Alasan Serena sih kala itu, tak mau oacaran kagi. Karena pacaran itu dosa. Padahal sedang naksir cowok lain. Siapa? Hahaha. Rangga. Tapi kan ujung-ujungnya tak bersama Rangga juga. Ia sibuk dengan kuliah lalu ya luntang-lantung mencari pekerjaan. Untuk seseorang yang minim koneksi sepertinya, tentu tak mudah mencari pekerjaan. Ya tak seperti kebanyakan teman-temannya. Ya nasib berbeda-beda sih. Lagi pula, Allah juga yang menentukan takdirnya. Pengalamannya dari berbagai kegagalan akhirnya membawanya pada mimpi nyata untuk berprofesi menjadi dosen seperti keinginannya dulu. Bukan kah meski jalannya rumit dan sungguh terjal, ia akhirnya tiba juga pada titik akhirnya? Ya kan? Meski ini justru menjadi awal perjalanannya menjadi dosen. Ia jatuh pulas tertidur. Begitu bangun, hampir melewatkan subuh. Banyak-banyak beristigfar. Bangun subuh itu susah loh. Tidak mudah. Ia buru-buru beranjak untuk solat lalu segera mandi dan buru-buru berangkat ke kampus. Tiba di kampus.... "Tumben sabtu begini ke kampus, mbaak!" Begitu tegur si satpam. Ia menepuk kening. Astagfirullah. Sabtu itu jadwalnya libur sih. Hahaha. Kadang memang mengisi kelas tapi ia tak dapat diminggu ini. Akhirnya mengendarai motor lagi sambil nyengir. Akhir-akhir ini ia didera banyak kesibukan sih. Jadi tak bisa berpikir dengan jernih. Kemudian pergi mencari makan sebelum pulang ke kosan. Ia membeli makan untuk sarapan pagi. Ya biasanya hari sabtu itu kan menjadi hari-hari malasnya. Ia tiba di kosan sambil menenteng makanan. Makan pagi sambil membuka ponsel eeh ternyata sudah banyak pesan di dalam grup kampusnya dulu. Lebih tepatnya, grup sahabatnya semasa kuliah sih. Ada Karin, Erika, Anila, dan dirinya sendiri. Mantan lu, Seeer Erika mengirim foto. Foto bersama mantannya. Katanya tak sengaja bertemu di sebuah kafe semalam. Hahaha. Tapi ia lupa membagikan foto itu semalam. Baru ingat pagi-pagi. Ia langsung terkekeh. Ya masih ganteng seperti dulu sih. Eeh katanya dia kerja di Jepang dua tahun belakangan tauuk. Gue kira di Jakarta. Gilaak makin keren, Seer. Nyesel gak looo? Ia diolok-olok. Dari tadi habya mengirim emotikon tertawa saja. Balikan sama mantan masih worth it laaah. Dia nanya-nanyain looo mulu tauuuk! @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN