Bab 3. Hamil Anak Bos

1219 Kata
Satu bulan kemudian. Zea dan Tristan masih menjalin hubungan diam-diam, tidak ada yang tahu jika ternyata Zea memiliki hubungan dengan bosnya. Andaikan ada yang mengetahuinya, sudah bisa dipastikan semua orang akan memandang Zea sebelah mata karena menganggap ia tidak pantas bersanding dengan Tristan. Ketika bangun di pagi hari, Zea sudah tidak melihat Tristan ada kamar hotel. Namun, ia tak mempermasalahkan itu karena Zea tahu jika Tristan akhir-akhir ini memang sering berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya. Hubungan mereka terjalin seperti biasanya, tetapi tidak ada kejelasan soal status di antara mereka. Sebenarnya Zea selalu ingin menanyakan lagi. Namun, ia masih ingat saat sebelumnya menanyakan hubungannya kepada Tristan, pria itu tak menjawab dan malah pergi begitu saja. Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, Zea langsung keluar dari kamar hotel dan setengah berlari menuju lift. Di lift, ia bertemu dengan seorang pria, Zea terus menggoyangkan kakinya. Melihat tingkah Zea, pria yang berdiri di sebelahnya itu hanya tertawa diam-diam melihatnya. Baginya, Zea benar-benar menggemaskan. *** Tiba di kantor, Zea langsung kena omel oleh Elen. Zea hanya diam saja dan tidak mengatakan apapun, bagaimanapun ia jelaskan, ia pasti akan tetap salah. Dan, yang terlambat harus mengeluarkan uang untuk membeli kopi untuk semua karyawan divisi ini. Segeralah Zea menuju kafe tempatnya akan membeli beberapa kopi untuk satu divisi, itu adalah hukuman yang biasa diterima oleh semua yang terlambat. Setiap divisi punya aturan yang berbeda. “Hai,” ucap seorang pria yang saat ini berdiri di sampingnya. Zea mendongak dan menatap pria tersebut, tak asing mukanya. Dan, ternyata pria yang sama-sama dengannya di lift hotel, Zea tersenyum. “Kamu kan—” “Iya. Perkenalkan namaku … Brian,” kata pria itu menyodorkan tangannya. “Brian? Salam kenal ya,” ucap Zea menyambut uluran tangan pria tampan yang bernama Brian itu. “Aduh maaf aku jadi serobot antrian.” “Tidak apa-apa. Kamu duluan saja, tapi kenapa belinya banyak?” “Aku terlambat, jadi ini hukuman untuk aku,” jawab Zea tersenyum. “Oh begitu?” Brian mengangguk. “Eh iya, kamu kerja di sini?” tanya Zea. “Iya.” “Wahh. Sama ya,” kata Zea. “Aku staf CEO.” “Oh jadi kamu staf Tristan?” “Iya. Kamu mengenalnya?” “Siapa yang tidak mengenalnya?” Brian menoleh sesaat melihat Zea. Benar juga yang dikatakan Brian tidak ada yang tidak mengenal Tristan. Pria tampan mempesona itu. Zea lalu menerima kopi pesanannya, begitupun dengan kopi Brian. Zea mau membawanya, tapi cukup banyak dan tak cukup ditangannya. “Sini aku bantu,” kata Brian lalu meraih kopi yang dipegang Zea. “Tapi—” “Tidak apa-apa.” Geleng Brian. “Kamu kan bawa banyak kopi sementara aku hanya bawa satu di tanganku. Jadi, biar aku membantumu.” Zea tersenyum, pria itu sungguh baik dan terlihat tampan di matanya. Keduanya pun masuk ke lift, Zea menoleh melihat Brian yang begitu gagah, tinggi, dan putih. Dia terlihat bukan karyawan melainkan seperti seorang petinggi perusahaan. Zea merasa dirinya beruntung karena beberapa hari ini bertemu dengan pria tampan. Setelah bertemu dengan Tristan malam hari, paginya ia juga bertemu Brian. Memikirkan hal itu, Zea jadi cekikikan. Brian pun menoleh. Dengan cepat, Zea menutup mulut dan menahan tawanya. “Ada apa?” tanya Brian. “Tidak ada apa-apa,” jawab Zea canggung. Tak lama kemudian lift terbuka, dan ini adalah lantai tempat Zea bekerja. Namun, Zea heran kepada Brian karena Brian juga keluar dari lift. “Ayo aku bantu,” kata Brian. “Eh tidak usah, tidak enak, nanti teman-teman membuat gosip yang tidak-tidak,” kata Zea meraih semua yang dipegang Brian. “Tidak apa-apa kamu membawanya sendiri?” “Itu ruangan divisi tempat aku bekerja, jadi dekat kok,” jawab Zea. “Ya sudah.” Brian mengangguk. “Terima kasih ya sudah membantuku,” ucap Zea. Brian mengangguk lagi. Zea lalu pergi menuju ruangan divisi. Brian tertawa kecil karena Zea tampak begitu menggemaskan di matanya. Brian lalu melangkah menuju ruangannya. Pria itu adalah salah satu direktur di perusahaan dan dia juga mengenal Tristan dengan sangat baik. Tak semua orang tahu, kecuali para petinggi perusahaan. Roland yang sejak tadi melihat kedekatan antara Brian dan Zea, terlihat bingung. Sejak kapan mereka saling mengenal? Kenapa juga kelihatan cukup akrab? Roland pun memutuskan akan memberi tahu Tristan nanti. *** Tiba-Tiba saja Zea yang sedang bekerja mulai merasakan kepalanya pusing dan mual. Ia sudah beberapa hari seperti itu, tetapi hanya terjadi di waktu yang tertentu saja. Beberapa hari ini, Zea memang tidak enak badan. Belum lagi soal status hubungannya dengan Tristan pun selalu menjadi pertanyaan yang mengganggu pikirannya. “Ada apa, Zea?” tanya Dessy. “Aku pusing,” jawab Zea sambil memegangi kepala. “Sakit kepala?” “Tidak, hanya pusing saja. Cuma kepalaku berat, rasanya kaya ditindih batu besar.” “Ya udah, ayo periksa dokter aja.” “Enggak usah, aku pulang saja, tapi kamu bisa kan mengurus pekerjaanku?” “Bisa. Ya udah, kamu pulang aja, aku yang akan bicara sama Nona Elen.” Zea pun mengangguk. Sambil menahan rasa pusing yang semakin terasa, gadis itu mulai bersiap untuk pergi. *** Sementara itu, Tristan merasa sangat khawatir saat mendengar seseorang membicarakan Zea yang katanya izin pulang karena tidak enak badan. Pria itu pun segera menuju hotel tempat Zea berada. Tristan bahkan sampai membatalkan semua jadwalnya hari ini. Setibanya di hotel, Tristan langsung membuka pintu kamar hotel dan melihat Zea tengah terbaring lemah di atas ranjang, masih dengan tirai yang tertutup rapat. “Zea, kamu kenapa?” tanya Tristan sambil mendekati Zea. “Tristan? Kamu datang?” “Iya. Aku datang karena tadi tidak melihatmu di kantor." “Aku enggak enak badan.” Melihat wajah Zea yang pucat, Tristan pun tak membuang waktu. Pria itu langsung mengambil ponsel yang ada di sakunya. Ia menghubungi Roland agar membawa dokter ke hotel untuk memeriksa kondisi Zea. Tristan benar-benar sangat mengkhawatirkan kondisi Zea saat ini. “Sabar ya, sebentar lagi Roland akan datang bersama dokter.” Zea mengangguk lemah. Wajahnya terlihat pucat seperti mayat hidup. Pandangan Zea pun mulai kabur seiring kepalanya yang semakin berdenyut. “Aku buatin teh manis hangat dulu, ya!” “Tristan jangan pergi!” Zea menahan Tristan dengan menggenggam tangan pria itu dengan erat. Tristan pun kembali duduk. Memegangi kepala Zea yang terasa panas. “Ternyata kamu demam.” “Aku mau boleh tanya, sebenarnya hubungan ….” Belum menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba Zea tak sadarkan diri. Membuat Tristan semakin panik dibuatnya. Beruntung, tak berapa lama kemudian, Roland datang bersama dokter sesuai perintahnya. "Dok, cepat periksa dia! Sepertinya dia pingsan. Bagaimana ini?" Tristan kebingungan. “Sayang! Sayang!” "Tuan, tenang dulu! Biar saya periksa kondisinya.” "Tenang? Tenang bagaimana?" Tristan membentak dokter itu karena panik. “Tuan, kasih waktu dokter dulu untuk memeriksa Zea.” Tristan pun mulai tenang. Masih menatap Zea cemas. Kekhawatiran itu mudah terbaca oleh Roland. “Baik, Dok! Cepat periksa dia!” Dokter mulai melakukan beberapa pemeriksaan guna mengidentifikasi kondisi Zea. Selang beberapa menit kemudian, akhirnya pemeriksaan selesai dilakukan. “Bagaimana, Dok? Bagaimana keadaannya, Zea?” Tristan yang tak sabar pun langsung bertanya. "Tuan tidak perlu khawatir, dia baik-baik saja. Keadaan ini dipicu karena tubuhnya sedang melakukan penyesuaian terhadap janin yang baru tumbuh di rahimnya.” “Janin? Maksudnya?” “Dia hamil, Tuan.” “Apa?! Hamil?” Tristan membulatkan mata dan menoleh sesaat melihat Zea yang tengah berbaring tak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN