ata. Bagaimana ia bisa menampakkan wajahnya di depan Tristan setelah dua malam kemarin bersama-sama dan menghabiskan waktu sampai pagi? Rasa gugup pun seketika melanda. Zea seolah ragu untuk bertemu Tristan.
"Kenapa kamu diam saja?"
"Eh … iya, Bu, baik."
Zea langsung meraih dokumen tersebut dan membawanya ke ruangan Tristan, Zea mengetuk pintu karena tidak melihat sekretaris Tristan duduk di depan pintu.
"Masuk!"
Setelah mendengar suara Tristan yang menyuruhnya masuk, Zea pun segera masuk dengan langkah pelan.
"Ini, Tuan, ada berkas dari Nona Elen."
"Taruh saja di situ!” Tristan tidak membalas tatapan Zea dan masih sibuk menandatangani beberapa dokumen yang ada di depan matanya. Namun, setelah meletakkan berkas itu entah kenapa Zea masih terpaku diam di tempat. Menatap Tristan hingga pria itu sadar bahwa Zea berharap dirinya menyapa.
Tristan pun mendongak, mulai menatap wajah Zea hingga pandangan mereka saling bertemu. Sebenarnya Tristan pun tidak melupakan malam yang mereka habiskan di Las Vegas, hanya saja banyak hal yang harus dipikirkan sebelum mengambil langkah.
“Maaf, Tuan, kalau begitu saya pamit dulu.” Saat Zea baru akan melangkah pergi, Tristan pun bangkit dari posisi duduknya dan mendekati Zea yang seketika gugup hingga mematung diam.
"Ada apa, Tuan?"
"Malam yang indah, bukan?" tanya Tristan menyentuh leher Zea dengan jarinya.
"Heem …."
"Kenapa kamu masih di sini? Apa kamu membutuhkan sesuatu?" Tristan menatap Zea lekat, tak peduli jika mereka sedang ada di kantor.
Zea menggeleng kuat dan berkata, "Aku tidak butuh apa pun. Maafkan, Tuan, aku harus pergi." Zea lalu melangkah buru-buru keluar dari ruangan.
Melihat tingkah lucu Zea, Tristan sampai tertawa dibuatnya. Ekspresi Zea tadi benar-benar menggemaskan.
Tiba-Tiba Roland masuk ke ruang kerja Tristan, lalu melihat sang bos tengah tersenyum. Roland pun menautkan alis dan berdeham, membuat ekspresi wajah Tristan berubah.
"Bisa tidak ketuk pintu dulu?" tanya Tristan.
"Maaf, Tuan, saya tadi sudah mengetuknya, tapi karena tidak ada tanggapan jadi saya langsung masuk saja.”
"Oh iya, apa kamu sudah dapat informasi siapa wanita yang akan dijodohkan denganku?"
"Iya, Tuan, saya sudah mendapatkan informasinya. Ternyata wanita itu adalah Nona Tamara, dia direktur eksekutif di perusahaan ini."
"Oh jadi dia. Ya sudah atur pernikahanku dengan Zea."
Roland membulatkan mata karena tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.
"Kenapa kamu diam saja?" Tristan mendongak dan memandang Roland.
"Tapi, Tuan, bukankah Anda akan menikah dengan Nona Tamara?"
"Tenang saja! Pokoknya atur saja pernikahanku dengan Zea, jangan sampai ada siapa pun yang tahu, kecuali orang tuanya. Dan, atur waktunya di akhir pekan."
"Anda benar-benar mau menikahi Zea?"
Tristan tidak menjawab pertanyaannya.
"Tuan, Anda tidak boleh melakukan itu. Nona Tamara pasti akan tahu nanti dan Zea juga akan mendapatkan konsekuensinya. Bagaimana jika tuan dan nyonya besar sampai tahu juga? Bukankah nanti Anda malah akan mendapatkan masalah besar?" Roland mengingatkan. Mau bagaimanapun, ia memang harus mengatakan itu agar Tristan tidak gegabah dalam mengambil tindakan.
"Sial, kau benar. Baiklah, tunda dulu saja," kata Tristan. "Sekarang atur saja pertemuanku dengan Zea. Aku ingin menemuinya."
"Baik." Roland sedikit dapat bernapas lega. Tak sia-sia ia mengingatkan Tristan. Sang bos akhirnya sadar bahwa menikahi Zea pastinya akan membuatnya berada dalam masalah besar.
***
Selepas jam kerja, Zea terlihat berada di sebuah hotel bintang lima yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantornya. Ia mendapatkan perintah dari Roland untuk datang ke sana karena Tristan mau bertemu dengannya. Zea pun dibuat gugup saat Roland menyampaikan itu. Sejak tadi, otaknya dibuat terus berpikir, apa di pertemuan ini ia harus menanyakan statusnya pada Tristan, apalagi keperawanannya yang sangat berharga sudah direnggut oleh sang bos.
Gadis itu pun akhirnya tiba di lantai 26, di kamar nomor 2601. Zea langsung menggesek card lock pada pintu kamar. Saat pintu terbuka, Zea melangkah masuk. Pandangannya mulai memindai keadaan sekitar dan menemukan Tristan hanya mengenakan baju handuk dan memperlihatkan dadanya mulusnya yang berotot.
"Sini, duduklah!" kata Tristan.
"Tuan, apa yang mau dibicarakan?" Masih berjalan mendekat, Zea pun bertanya. Coba untuk tak fokus pada d**a bidang Tristan yang seolah memaksanya untuk terus melihat.
"Duduk dulu, Zea!”
Zea sebenarnya ragu untuk duduk karena kemungkinan malam ini ia tidak akan bisa pulang jika melakukannya.
"Kenapa tidak duduk? Kalau aku bilang duduk ya duduk." Tristan dengan suara bariton yang menegangkan.
Zea lalu duduk di hadapan Tristan dengan perasaan ragu.
“Mulai sekarang, kamu akan tinggal di hotel ini!” Tanpa penjelasan Tristan langsung mengatakan hal itu. “Selama ini, kamu tinggal bersama sahabatmu, ‘kan?”
Zea mengangguk. Siapa yang tidak senang jika tinggal di hotel mewah itu? Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan itu, dan Zea adalah orang yang sangat beruntung.
“Kamu bisa tinggal mulai malam ini,” lanjut Tristan.
“Tapi, untuk apa?”
“Agar lebih mudah bertemu denganku,” jawab Tristan.
“Maksudnya?”
“Aku tidak perlu menghubungimu untuk kemari karena kamu pasti akan ada di sini.” Tristan menjelaskan, membuat Zea tahu maksudnya, hanya saja ia pura-pura bertanya agar Tristan tidak menebak jalan pikirannya. “Ini perintah, bukan permintaan!” Tristan melanjutkan.
Alih-alih tinggal di rumah, Tristan malah menyuruhnya menetap di salah satu hotel bintang lima di New York. Dengan desain kamar yang mewah, Zea sudah tahu jika harga sewa permalam pasti sangatlah mahal. Namun, apalah arti uang bagi seorang Tristan. Pengusaha muda yang sukses dan namanya cukup dikenal seantero negeri.
Tristan lalu mengeluarkan sesuatu dari dompetnya dan mengeluarkan kartu hitam yang semua orang tahu, kartu itu bisa mewujudkan semua impian seseorang, membeli apa pun tanpa melihat harga dan menggunakannya tanpa limit.
“Ini untuk kamu, pakai sesuka hati kamu, jangan tanyakan apa pun untuk sementara waktu karena yang penting kamu bisa menemaniku.” Tristan menjawab dengan santai. Tak ingin Zea mempertanyakan status hubungan mereka. Bisa dikatakan saat ini Zea hanyalah penghangat ranjangnya.
“Baik, Tuan.” Zea malu-malu menerimanya. Debar jantungnya berdetak semakin cepat saat Tristan mendekatinya.
“Aku menginginkanmu, Zea.” Tristan langsung menyentuh leher Zea. Mengarahkan agar mendekat padanya lalu mulai mencium bibir ranum milik Zea. Pagutan itu akhirnya berbalas. Keduanya saling mencumbu mesra dan Zea yang sejak tadi memang sudah terhipnotis dengan pahatan tubuh Tristan yang nyaris sempurna itu pun tak kuasa menahan sentuhan demi sentuhan lembut dari sang bos.
Awalnya, Tristan hanya ingin ditemani malam itu, tetapi ia tidak menyangka jika tubuh Zea menjadi candu untuknya.
Zea menatap tubuh Tristan yang kini ada di atasnya setelah pria itu menuntunnya naik ke ranjang. Kenikmatan itu semakin menggelitik hingga bagian terdalam. Zea benar-benar tidak menyangka jika ternyata ia bisa memberikan tubuhnya yang tidak pernah disentuh oleh orang lain kepada Tristan–bosnya.
***
Keesokan paginya, Zea terbangun dari tidurnya, pemandangan yang indah di New York terhampar di hadapannya lewat jendela kamar yang tirainya sudah terbuka.
“Hai, good morning,” ucap Tristan menyambut terjaganya Zea.
“Kamu sudah lama bangun?”
“Lumayan lama,” jawab Tristan tersenyum.
“Boleh aku bertanya?”
“Apa yang ingin kamu tanyakan?” Tristan sebenarnya sudah menebak apa yang ingin ditanyakan Zea. Namun, ia memilih untuk pura-pura tidak tahu.
“Aku ingin tahu kelanjutan hubungan kita, kita tidak mungkin terus seperti ini, ‘kan?”
“Kita akan membahasnya nanti,” kata Tristan, sesuai dugaannya, Zea pasti akan menanyakan hal itu.
“Tapi–”
“Aku harus pergi, aku menunggumu bangun tadi,” kata Tristan lagi seolah menghindari pertanyaan Zea.
“Kamu tidak bisa jawab dulu?”
Tristan melangkah meraih jasnya. “Aku pergi dulu, kita bahas itu nanti.”
Tristan pun pergi begitu saja, meninggalkan Zea yang masih berharap jika pria menjawab pertanyaannya.
“Apa hubungan ini semata-mata hanya karena kepuasaan di ranjang saja? Apa hanya sebatas itu statusku?” Zea memilih diam tak lagi menuntut jawaban dari Tristan yang sudah tak lagi terlihat oleh pandangannya.