Pagi harinya, Arya membawa Aisah untuk membeli busana muslim, peralatan sholat, dan cincin. Sebelumnya mereka mampir ke bank dulu. Arya menarik habis uangnya, lalu membuka rekening baru atas nama Aisah. Aisah diam terpaku saat Arya meminta KTP nya.
"untuk apa A?"
"Aku harus memindah semua uangku ke rekening baru yang aman, yang tidak akan diketahui oleh Bundaku" jawab Arya. Aisah terperangah mendengarnya.
"Kenapa atas nama ulun?"
"Aku percaya padamu, Aisah. Jadi tolong bantu aku juga dalam hal yang satu ini" mohon Arya. Aisah menyerahkan KTP nya pada Arya. Kemudian menandatangani berkas pembukaan rekening tabungan atas namanya.
Setelah dari bank, mereka menuju toko perhiasan, untuk membeli cincin kawin mereka. Dalam perjalanan tidak ada satupun dari mereka yang bicara, mereka berdua seperti sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Tiba di toko perhiasan, Arya meminta Aisah untuk menentukan pilihannya, tapi Aisah menyerahkan pilihan pada Arya. Karena ia merasa tidak tahu sama sekali tentang perhiasan.
"Yang ini bagaimana?" Tanya Arya pada Aisah sambil menunjukan sepasang cincin yang diletakan di hadapan mereka.
"Terserah Aa saja" jawab Aisah sambil menatap Arya.
"Coba dulu ya" Arya mengambil cincin mungil dari emas putih yang bermata satu. Diraihnya jemari Aisah, dipasangkan cincin itu di jari manis Aisah. Arya menatap dengan intens ke arah jemari Aisah, Aisah ikut menatap cincin yang tersemat dengan sangat pas di jarinya. Senyum puas tersungging di bibir Arya.
"Pas sekali Ais, seperti sudah diukur saja sebelumnya" ucap Arya menbuat wajah Aisah memanas karenanya. Sesungguhnya Aisah ingin protes saat tahu harga cincin itu, tapi ia merasa tidak enak pada penjualnya.
Arya lalu mengambil cincin untuk pria yang terbuat dari platina, tanpa batu permata, hanya polos saja. Dikenakannya sendiri di jarinya, seperti halnya cincin yang dipakai Aisah, cincin itupun melingkar sempurna di jarinya.
Setelah membayar harga sepasang cincin mereka, Arya dan Aisah meninggalkan toko perhiasan untuk menuju sebuah butik yang menjual berbagai macam busana, termasuk busana muslim dan peralatan sholat.
"Harga cincinnya apa tidak terlalu mahal, A'?" Tanya Aisah saat mereka berada di dalam mobil.
"Itu sudah yang paling murah, Ais" jawab Arya.
"Harusnya yang biasa saja, tidak perlu yang memakai berlian."
"Yang biasa itu yang seperti apa, Ais?"
"Ya yang tidak perlu ada berliannya, Aa. Cukup 1 gram saja, itu juga sudah lebih 500 ribukan? Tidak perlu mengeluarkan uang jutaan untuk sebingkai cincin Aa. Karena bukan cincin yang akan menentukan arah jalannya sebuah pernikahan. "
"Tapi cincin itu sangat pas untukmu, Aisah. Sangat cantik sekali saat tersemat di jarimu"
"Cantik tidak datang dari apa yang dikenakan Aa. Aku lebih suka orang menilaiku dengan apa adanya" ujar Aisah lembut. Arya menolehkan kepalanya, ditatapnya Aisah dari samping. Aisah memang cantik, meski tidak mengenakan riasan apa-apa. Cantik yang terpancar dari dalam dirinya.
Tiba di butik, mereka ke luar dari dalam mobil. Seorang karyawan butik membukakan pintu untuk mereka berdua.
"Arya!" Seru suara seorang wanita menyapa.
"Wiwin, Ais kenalkan ini Wiwin, teman sekolahku saat SMA. Win, ini Aisah, calon istriku yang kemarin aku belikan pakaian dengan meminjam model salah satu karyawanmu" Arya memperkenalkan Aisah kepada pemilik butik. Ucapan Arya barusan membuat Aisah jadi tahu kenapa pakaian yang dibelikan Arya sangat pas untuknya.
"Ooh, hallo Aisah, aku Wiwin, teman Arya saat SMA. Kamu sangat beruntung karena bisa meruntuhkan hati Arya. Arya ini idola para gadis sejak zaman SMA." Ucapan Wiwin membuat Arya tergelak, Aisah menatap Arya dengan kening berkerut, baru kali ini ia mendengar Arya tertawa selepas ini.
"Dan kamu, salah satu dari para gadis itu, iyakan Win?"
"Harus aku akui, iya" jawab Wiwin dengan nada ceria.
"Tapi aku yang akhirnya jadi pemilik jiwa dan raganya" sebuah suara muncul dari bagian dalam butik. Seorang pria yang tingginya hampir sama dengan Arya muncul, dan langsung memeluk Arya.
"Heru!" Arya menepuk pundak pria itu hangat. Heru teman SMA nya juga seperti halnya Wiwin, dan Heru sudah menjadikan Wiwin istrinya sejak 3 tahun lalu. Heru melepaskan pelukannya di tubuh Arya, lalu ia menatap Aisah dengan seksama.
"Apa tidak salah kalau kamu ingin menikahi seorang gadis ABG, Arya Lazuardi?" Tanya Heru menatap Arya dengan memicingkan matanya. Arya menatap Aisah yang berdiri di sebelahnya. Tinggi Aisah tidak sampai sebahunya, wajah polos Aisah membuatnya tampak bagai gadis usia 13 tahun saja.
"Berapa usiamu, Aisah?" Tanya Wiwin.
"Hampir 18 tahun," jawab Aisah.
"Tamat SMA?" tanya Wiwin lagi.
Aisah menggelengkan kepalanya.
"Dia terpaksa putus sekolah karena harus jadi tulang punggung keluarga sejak kedua orang tuanya sakit" Arya yang menjawab pertanyaan Wiwin.
"Kalian bertemu di mana?" kali ini Heru yang bertanya.
"Orang tuanya lama bekerja di rumah orang tuaku sebelum mereka sakit, jadi kami sudah saling kenal sejak kami masih anak-anak" jawab Arya lagi.
"Tampaknya, kamu sangat istimewa bagi Arya, Aisah. Buktinya, bertahun-tahun dia tinggal di luar negeri, dan setelah dia kembali, aku yakin sangat banyak gadis yang mengharapkan jadi istri dari seorang pewaris tunggal keluarga Lazuardi. Tapi, dia justru memilihmu" ujar Wiwin, membuat wajah Aisah merona.
"Sudah wawancaranya, ayolah Win, pilihkan busana untuk akad nikah kami malam ini, juga peralatan sholat untuk maharnya" ucap Arya membuat Wiwin dan Heru tertawa.
"Ayo Aisah, kita cari yang pas untuk tubuh mungilmu." Wiwin membimbing Aisah untuk melihat koleksi busana di butiknya.
"Bagaimana orang tuamu, Arya? Kata Wiwin, mereka tidak tahu kalau kamu menikahi Aisah."
"Betul, mereka memang sudah menyiapkan istri untukku, tapi aku tidak setuju dengan pilihan mereka. Karena Aisah adalah pilihanku, dan karena itulah kami menikah diam-diam saja"
"Tampaknya kamu sudah mantap dan sangat siap menerima segala resikonya"
"Sangat siap" sahut Arya penuh keyakinan.
"Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu, Arya" Heru menepuk bahu Arya.
"Terimakasih"
BERSAMBUNG