Lima belas tahun yang lalu, Jedidah jatuh cinta pada seorang perempuan muda yang baru masuk kuliah. Cintanya itu begitu kuat, sampai Jedidah rela menunggu kekasih hatinya meraih mimpinya dan menunda pernikahan walaupun keluarganya sudah mendesak, mengingat Jedidah adalah anak Tunggal. Zarin, nama wanita yang sudah mencuri hatinya.
Di usia Jedidah yang ke-33 tahun, barulah dia bisa menikahi wanita tersebut. Itupun dengan desakan dari orangtua Jedidah yang mengancam Zarin bahwa mereka akan menikahkan putranya dengan wanita lain. Tapi ternyata gangguan keluarga Van Der Zandt tidak berhenti sampai disana, mereka menuntut cucu. Khususnya sang kakek yang tinggal di Belanda, dia mulai khawatir penerus Leviathan Timepieces belum kunjung terlihat.
Usia Rahayu dan Willem pun kembali mendesak, apalagi Zarin yang mulai menggaet brand besar dan selalu pergi ke luar negara meninggalkan Jedidah. Pria itu kesepian, disaat teman-temannya sudah memiliki anak. Dalam hati kecilnya, dia pun ingin Zarin mulai fokus pada keluarga. Dia butuh tempat untuk istirahat kala pekerjaan menumpuk.
Namun sejauh ini, tempatnya istirahat adalah klab malam, dan bercerita pada temannya, Zurech. Pria itulah yang mendengar keluh kesah Jedidah, dan inisiatif memesankan wanita penghibur setelah Jedidah mengeluh, “Bahkan Zarin gak mau gue sentuh selama 3 bulan, dia takut kecapean katanya, hahahaha.”
Keluhan itulah yang membuat Jedidah kini terlibat hal yang lebih rumit. Ibu pengganti yang akan mengandung anaknya, adalah bukti bahwa dirinya mengkhianati Zarin. Padahal, bukan ini yang dirinya inginkan.
Lintingan sigaret di tangan tidak terasa nikmat, asapnya pun tidak lagi membuat Jedidah puas saat melihat wajah yang malam itu dibawah kukungannya kini ada di hadapannya.
“Masih menjual diri?” pertanyaan menyakitkan keluar dari mulut Jedidah.
Tapi Dara sama sekali tidak tersakiti, dia terkekeh hambar dan membalas dengan tenang. “Kalau aku jual diri, gak mungkin menyanggupi permintaan mereka untuk mengandung anak Om.”
“Jangan panggil saya Om,” ucap Jedidah penekanan.
Lagi-lagi mengundang kekehan dari Dara. “Maaf, Pak.”
“Mereka tidak tahu kalau kamu melakukan pekerjaan itu ‘kan?”
“Mereka siapa?” Tanya Dara bingung, memandang pria yang akhirnya duduk di sofa, berhadapan dengan Dara.
“Keluarga Zarin.”
“Kalau mereka tahu, bakalan kaget, Pak. Satu-satunya klien yang aku layani hanya bapak, masih inget kan kasurnya, penuh dengan darah dan ju--”
“Jaga mulut kamu, Dara.”
Dara menunduk sejenak, menghela napas berat, terdengar lelah. “Itu faktanya, bapak bisa cek ke tempat aku bekerja di klab tempat bapak memesan. Aku melakukan itu untuk pengobatan Ibu. Tapi uangnya kurang, sebab ayah saya meninggalkan banyak utang.”
“Berapa uang yang kamu butuhkan? Saya akan berikan, tapi kamu harus pergi menjauh dari sini.”
“Aku masih kuliah, mau pergi jauh kemana?”
“Terserah, yang jelas menjauh dari hidup saya dan Zarin,” ucapnya memperingati dengan tenang, tapi tatapan tajamnya menandakan bahwa Jedidah benar-benar ingin Dara menghilag dari hadapannya.
“Terlepas teman bapak yang sewa wanita bayaran, gak menghapus kenyataan bahwa kita pernah bermalam bersama. Kenapa tidak melanjutkan hidup ke depannya?”
“Saya kasih uang dua kali lipat buat kamu.”
Dara terdiam, matanya mengikuti jejak asap yang berkelindan di udara sebelum menghilang perlahan, memperlihatkan sosok pria yang begitu tampan. Wajah itu adalah perpaduan sempurna antara garis ketegasan khas Eropa dan kehangatan eksotis Indonesia. Rahangnya kokoh, tajam seperti pahatan marmer yang dipahat oleh tangan para dewa. Kulitnya tidak sekadar putih khas Belanda, tetapi memiliki semburat kehangatan yang justru semakin menonjolkan pesona maskulin yang tak terbantahkan. Mata Jedidah—tajam, dingin, dan penuh otoritas—berwarna hazel tua dengan percikan emas samar, seperti kaca jendela yang memantulkan cahaya redup senja.
Di wajahnya, ada jejak ketegasan yang bukan hanya berasal dari keturunan, tetapi juga dari pengalaman dan kehidupan yang telah membentuknya. Usia matang membuat sorotannya semakin dalam, tak lagi sekadar tampan, tapi berbahaya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya seolah mampu menembus pikiran siapa pun yang berani berhadapan dengannya.
Jambangnya tipis, mengukir rahangnya dengan kesan lebih liar, lebih mendominasi—seolah menegaskan bahwa pria ini adalah seseorang yang tidak akan pernah bisa dikendalikan. Rambut hitam legamnya disisir ke belakang dengan rapi, tetapi tetap menyisakan helai yang sedikit jatuh, memberi kesan santai di balik kesempurnaan yang tampaknya selalu ia tampilkan.
Dara semakin tenggelam.
Mata itu...
Dulu, sorot itu tidak setajam ini. Dulu, mata itu berkabut—dipenuhi oleh sesuatu yang lebih gelap, lebih primitif, lebih liar. Nafsu yang membara, menggulungnya dalam badai yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Kilatan samar tentang bagaimana jemari kekar itu menelusuri kulitnya, bagaimana suara napas beratnya memenuhi udara, bagaimana kehangatan tubuhnya menekan begitu erat hingga membakar kewarasan.
Dara segera berkedip, membuang bayangan itu.
Tidak. Tidak sekarang. Tidak di ruangan ini, di bawah tatapan pria yang kini jelas-jelas melihatnya sebagai ancaman.
Namun, satu hal yang tidak bisa Dara pungkiri.
Meskipun saat ini Jedidah menatapnya dengan sorot yang mengintimidasi, dengan bahunya tegak dan dagunya terangkat tinggi seperti penguasa yang tengah menilai seseorang yang masuk ke wilayahnya—Dara tahu.
Bahwa di suatu malam, di antara seprei kusut dan kegelapan, pria ini pernah kehilangan kendalinya.
Dan itu, entah bagaimana, membuat darahnya berdesir lebih kencang dan membuat Dara berucap, “Tidak bisa.” Dengan penuh ketenangan.
“Kenapa?”
“Keluarga Mbak Zarin sudah memberikan uang pengobatan, tidak baik jika aku mundur setelah mereka banyak membantu.”
“Biar itu jadi urusan saya, yang harus kamu lakukan adalah pergi. Dan ini bukan lagi permintaan, ini perintah. Semuanya…. Akan saya atur supaya kamu hidup menjauh dari saya dan Zarin,”
Jedidah berdiri, mengabaikan keterkejutan Dara, membuka kunci pintu. “Keluar.” Kemudian membuka pintu.
“Loh, Dara?” Namun siapa sangka, dibalik pintu itu ada Rahayu yang hendak mengetuk ruangan putranya. Tatapannya langsung tertuju pada Dara. “Kenapa kamu disini?”
“Um…, ini, Bu, ada keperluan dari kampus.” Dara menjawab kikuk.
“Magang disini?” tanya Rahayu masih dengan nada suara tegas.
“Gak jadi,” ujar Jedidah. “Kami sedang terfokus peluncuran produk baru, memerlukan tenaga yang lebih ahli.”
“Jadi kamu gak ahli, Ra?” sindirnya melangkah masuk. Jedidah memberi isyarat Dara untuk keluar, tapi Rahayu mendahului, “Diam dulu, ini surat pengantar dari kampus kamu ‘kan? Dengan beberapa gambar yang kamu buat?” Rahayu meraih dokumen di meja Jedidah, yang tadi dibawakan Abbey.
“Ma,” panggil Jedidah. Memberi isyarat untuk menghentikan apapun niatannya itu.
“Dit is erg goed!” puji Rahayu. “Dia punya selera otentik.”
“Apa yang otentik?” pertanyaan itu berasal dari manusia yang baru datang, Willem Van Der Zandt. Ayahnya Jedidah, membuat pria itu menghembuskan napasnya kasar.
“Darling, masuklah, ini Dara. Wanita yang akan mengandung cucu kita dan juga kebetulan dia magang disini. Ingin lihat beberapa hasil karya yang dia buat?”
Jedidah menarik napasnya dalam ketika sang Papa masuk, bergabung dengan Rahayu untuk memuji gambar-gambar disana. Meskipun Papanya mengelola cabang di Belanda, tapi jelas dia memiliki Keputusan besar di pusatnya. “Jed, dia melakukannya dengan baik,” ujar Willem, kagum. “Dia bisa banyak membantu dengan ide-idenya.”
Rahayu tersenyum dan menatap Dara. “Beruntungnya kamu, Dara, punya bakat bagus. Takdir sangat baik, kamu magang disini hingga kami bisa mengawasi perkembangan cucu kami.”
****
Sejak hari itu, Ibu Rahayu mulai berkomunikasi dengan Dara lebih intens. Ketertarikan wanita itu semakin terlihat, bukan hanya karena Dara yang kini akan mengandung cucunya, tetapi juga karena kecerdasannya. Rahayu menyukai perempuan muda itu—seseorang yang berpendidikan, mandiri, dan memiliki wawasan luas, terutama dalam seni dan desain. Setiap kali mereka berbincang, Rahayu tampak puas dengan jawaban-jawaban Dara.
Minggu depan, Dara akan resmi memulai magangnya di Leviathan Timepieces. Namun sebelum itu, ada satu hal yang harus diselesaikan lebih dulu: pemeriksaan kesehatan di rumah sakit yang sama tempat ibunya dirawat.
Rumah sakit yang dulu terasa begitu mustahil untuk dimasuki kini menjadi tempat ibunya beristirahat dengan nyaman—di sebuah ruangan VIP dengan fasilitas terbaik. Setiap kali Dara menginjakkan kaki ke sana, rasa syukur dan ironi bercampur menjadi satu.
Ibunya tidak pernah tahu bagaimana ia bisa mendapatkan semua ini. Tidak tahu bahwa putrinya berhenti dari lima pekerjaan paruh waktu yang selama ini menguras tenaga dan waktu istirahatnya. Tidak tahu bahwa semua tagihan rumah sakit sudah lunas tanpa Dara perlu lagi memikirkan kapan harus menambah jam kerja.
Dara menyimpan semuanya rapat-rapat.
Ia tersenyum setiap kali ibunya bertanya dari mana semua ini berasal, berbohong dengan cara yang paling lembut dan meyakinkan. "Dapat beasiswa penuh," katanya. "Ada donatur yang membantu," tambahnya. Ibunya percaya, karena bagaimana mungkin seorang ibu mengira putrinya telah menukar tubuhnya dengan uang?
“Bawa apalagi itu, Dara? Kamu dapat duit darimana?”
“Dara mulai magang, dapat uang jajan dari sana.”
Dara posisikan duduk di kursi samping ranjang, genggam tangan sang Ibu dan menciumnya. “Gimana keadaannya? Apa yang Ibu rasain sekarang?”
“Dapat fasilitas bagus gini masa gak membaik, Nak.”
“Tapi keliatan gak seneng.”
“Khawatir sama kamu. Dapat uang darimana? Kamu gak ambil banyak kerjaan ‘kan?”
Sebenarnya, Dara belum menceritakan perihal ibu pengganti ini. Nanti saja, pikirnya. Lebih baik meminta maaf daripada meminta izin. “Nggak kok, Bu. Kan dibilangin Dara magang di Perusahaan internasional, gajinya pake dollar,” dustanya.
Beruntunglah seorang perawat masuk mengalihkan pembicaraan. Bersamaan dengan itu, sebuah pesan masuk dari Rahayu. Dara berpamitan dengan sang Ibu, bergegas keluar dan duduk menuju di salah satu open lounge di lantai VIP tersebut.
“Bu,” sapanya pada wanita yang sudah menunggu.
“Duduk dulu, Zarin sama Jedidah dalam perjalanan,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Sementara itu disisi lain, nyatanya Jedidah dan Zarin belum berangkat sama sekali. “Mas, tolong ngertiin aku. Temen aku baru sekarang ke Indonesia, dan bertepatan sama ulang tahunnya. Aku mau siapin kejutan buat dia, sama temen-temen yang lain loh. Mereka nunggu aku.”
“Terus ke rumah sakit gak penting? Calon anak kita loh, Sayang.”
“Kan ada Ibu, Mas. Lagian semua harus sesuai aturan Ibu.”
“Maksudnya?” Jedidah bertanya dengan nada penuh penekanan. “Boleh kamu pergi sama temen, tapi 30 menit aja kita lakukan dulu pemeriksaan bareng, Zarin.”
“Kok? Manggil aku Zarin? Mas, kamu marah sama aku?”
Jedidah menahan napasnya sejenak, bersamaan menahan kekesalan dan amarahnya. Tentu saja, bertahun-tahun bersama selalu seperti ini, Jedidah tarik Zarin ke dalam dekapannya dan usap punggungnya supaya air mata itu tidak jadi menetes. “Dari sudut pandang aku, kamu mementingkan hal lain daripada keluarga.”
“Hanya pemeriksaan awal aja, Mas. Bukan berarti aku gak peduli, bahkan aku udah siapin tempat tinggal Dara kalau udah fiks. Temen aku itu pulangnya jarang ke Indonesia. Daripada aku nyusul ke London sama temen-temen yang lain? Ya?”
Pada akhirnya, Jedidah pun melepaskan pelukan Zarin, membiarkannya masuk ke mobil yang berbeda. Ini yang menjadi ganjalan di hatinya, Zarin walaupun sudah menikah tidak mengurangi aktivitasnya diluar dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya. Padahal Jedidah sudah menduga, tapi cinta membutakannya.
Akhirnya dia pergi sendiri ke rumah sakit, menuju tempat dimana sang Mama dan Dara menunggu. Tapi mengejutkan, ketika Jedidah hanya mendapati Dara disana.
“Ibu ada keperluan katanya, Pak. Jadi, aku ditinggal,” ucap Dara mengadahkan kepalanya pada pria yang berdiri menjulang di hadapannya. “Mana Mbak Zarin?”
Jedidah menghela napas kasar. “Ada kepentingan. Ayok cepat, kita selesaikan ini.”
Dara berdiri mengikuti langkah pria itu. Dari belakang, Jedidah tampak begitu gagah. Bahunya begitu lebar, tampak berkelas dibalut kemeja hitam. Belum lagi isinya yang penuh otot, Dara ingat setiap incinya. Membuatnya menggelengkan kepala ingin melepas kilasan sensual itu.
“Kenapa kamu?”
“Gak papa.”
Mereka masuk ke sebuah ruangan, dimana dokter sudah menunggu. Memperkenalkan namanya sebagai dokter Mira, dan meminta Dara berbaring. Dokter ini sudah diberitahu apa yang harus dia lakukan. Pertama, mengecek dulu Rahim Dara. USG Transvaginal, dilakukan lebih dulu sebelum mengecek penyakit lainnya.
Rahim yang utama. Sampai ada sesuatu yang membuat dokter itu terdiam.
“Kenapa?” tanya Jedidah, cemas.
“Ibu Dara sedang mengandung, usianya sekitar 4 minggu.”