“Mama? Kenapa Mama di sini?”
Nada suara Zarin penuh keterkejutan saat melihat sosok anggun Ibu Rahayu sudah berada di dalam ruangan.
“Saya tidak boleh mengenal wanita yang akan mengandung cucu saya?” Rahayu bertanya santai, matanya yang tajam menelisik ke arah Dara—perempuan bergaun cokelat yang tampak mematung di ambang pintu.
Dara menahan napas. Ia merasa dirinya berada di panggung yang salah, dengan cahaya lampu sorot menyorotnya sebagai objek untuk dihakimi.
“Siapa namamu, Nak?”
“Huh? Nama… nama saya Dara, Bu,” jawabnya pelan, suara tercekat di tenggorokan.
“Duduk. Saya sudah lapar menunggu kalian,” perintah Rahayu tanpa basa-basi.
Zarin masuk diikuti Dara yang segera menarik kursi, duduk berhadapan langsung dengan pria yang sejak awal menolak mengangkat kepalanya—Jedidah. Sepanjang perjalanan ke sini, ia telah membayangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Tapi tidak ada yang lebih buruk dari duduk tepat di hadapan pria yang satu bulan lalu bermandikan peluh dengannya.
“Ngobrol sambil makan saja, saya sudah lapar,” lanjut Rahayu, memberi isyarat kepada pelayan untuk segera menyajikan makanan.
Jedidah bahkan tidak sedikit pun melirik ke arahnya. Rahangnya mengeras, garis wajahnya kaku. Hanya tangan yang menggenggam garpu terlalu erat yang menandakan ada sesuatu yang berkecamuk di pikirannya.
Rahayu mulai memotong steaknya dengan tenang, kemudian bertanya dengan suara dingin. “Jadi, kenapa kamu mau menjadi ibu pengganti untuk Zarin?”
Dara baru saja akan menjawab, tapi Zarin menyela lebih dulu.
“Dia dulunya anak pembantu di rumah kami. Ibunya sakit dan butuh biaya. Jadi dia bersedia, Ma. Aku pastikan dia sehat.”
Sebuah jeda.
Lalu, pisau steak Rahayu ditaruh ke atas piring. Ia menatap menantunya dengan ekspresi tidak puas. “Saya tanya ke Dara, bukan ke kamu.”
Zarin langsung terdiam, wajahnya sedikit memerah.
“Mama,” Jedidah akhirnya bersuara, nada suaranya datar tapi tajam.
Tatapan Rahayu beralih ke putranya, sedikit mengevaluasi nada ketidaknyamanan di balik suara Jedidah. Tapi ia tidak mengatakan apa pun.
Dara mengatur napas sebelum menjawab, “Betul, Bu. Ibu saya sakit, saya butuh biaya pengobatan. Keluarga Mbak Zarin menawarkan hal ini, dan saya bersedia.”
Rahayu mengamati Dara sejenak, lalu mengangguk kecil. “Ceritakan tentang dirimu.”
“Umur saya 24 tahun, kuliah jurusan Desain Komunikasi Visual. Skripsi tinggal bab empat, dan saya baru memulai magang,” jawab Dara, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.
“Magang? Jadi kamu masih punya kesibukan lain?”
“Jika tidak saya tuntaskan, ini akan menjadi beban untuk saya, Bu. Ibu saya yang menginginkan saya menyelesaikan kuliah.”
Jawaban Dara tampaknya tidak terlalu menarik perhatian Rahayu, sampai ia menyebut sesuatu.
“Saya pernah terpilih sebagai peserta pertukaran pelajar ke Belanda, tapi saya tidak bisa meninggalkan ibu saya di sini.”
Mata Rahayu langsung berbinar. “Nederlands? Dus jij kunt Nederlands spreken?" (Belanda, kamu bisa Bahasa Belanda?)
Dara tersenyum kecil. “Ja, mevrouw. Ik spreek ook goed Engels en Frans.” (Iya, Bu, saya bisa Bahasa Belanda dan Bahasa Prancis)
Jedidah, yang sejak awal hanya fokus pada makanannya, tiba-tiba mengangkat kepala.
Dara menangkap ekspresi itu. Sejenak, ada kilatan asing dalam mata pria itu.
Kejutan.
Mungkin dia mengira Dara tidak lebih dari seorang gadis putus asa yang menggadaikan tubuhnya demi uang.
Rahayu bertepuk tangan, tampak puas. “Bagus sekali, suami saya juga dari Belanda, maka dari itu kamu bisa lihat darah penjajah di wajah Jedidah.” Sambil melirik putranya. “I really like her. You chose very well,” ucap Rahayu akhirnya, menyuapkan potongan steaknya ke mulut. “Dia punya table manners yang bagus.”
Dara menahan diri untuk tidak terkekeh. Ironis, mengingat sebagian besar sopan santunnya dipelajari saat bekerja di klub malam yang elite.
Sementara itu, Jedidah kembali menundukkan kepala. Tidak ada reaksi. Tidak ada respons.
Tapi tangan kirinya mengepal di atas meja.
Dara memandangnya sekilas, lalu tersenyum kecil.
Entah kenapa, melihat pria itu terganggu membuatnya sedikit puas.
****
Setelah makan malam itu, Dara kembali ke kontrakannya. Anni jelas terus mengontaknya untuk tidak berbuat apa-apa dan menunggu keputusan selanjutnya, tentu saja disertai ancaman. Namun, ancaman itu teralihkan oleh fakta bahwa…. Jedidah, pria yang membuat perut Dara terasa digelitiki ribuan kupu-kupu. Meskipun Dara tidak pernah bicara dengannya, tapi di masa depan akan sering bertemu bukan?
“Fokus gak lu, Dara! Lu mau bawa surat pengantar ke kampus!” teriakan Kelly yang memekik telinga bahkan tidak didengarkan sama sekali. Dara masih dengan senyumannya ketika mengemasi kebutuhannya hari ini ke kantor magang. “Segitu senengnya lu mau hamil anak orang?”
“Orang ganteng,” ujarnya asal ceplos.
“Sadar gak?! Dia laki orang, Bego.”
“Seengaknya pernah tidur sama gue loh.”
Membuat Kelly langsung memukulnya membabi buta dengan bantal. “Iya ampun-ampun! Jangan mukulin gue!”
“Jadi orang bener lu! Jangan aneh-aneh ah! Ini doang yang dianterin ke Ibu lu?”
“Iya, makasih ya udah sering jengukin nyokap gue.”
“Suka sih gue, tempatnya enak banget.”
Dara tersenyum, mengingat ibunya kini mendapatkan perawatan yang bagus. Dan Kelly sahabatnya ini yang selalu menjenguknya saat Dara mengejar ketertinggalan kuliah sebab beberapa bulan lalu sibuk bekerja. Tinggal satu tahapan lagi, bab 4 dan diakhiri dengan magang. Sekarang ini, Dara pergi ke kampus untuk membawa surat pengantar untuk izin memulai magang minggu depan.
Sebenarnya magang ini sebelumnya masih menjadi perdebatan. Tapi Dara meyakinkan, sebab ini hanya 2,5 bulan. Dan lagipula perutnya tidak akan langsung buncit bukan? sebab setelah lewat 2,5 bulan dan sidang, Dara akan berada di rumah, atau apapun itu yang mereka perintahkan.
“Pagi, Bu. Saya Dara, mau ambil surat pengantar,” ucap Dara pada salah satu staff prodi.
“Dara ya?” tanya seseorang dari belakang. Dara menoleh, ternyata Dosen Ika. “Saya pembimbing magang kamu. Ayok, saya antar di hari pertama.”
“Oh, baik, Ibu.” Dara mengikuti saja perintah Ibu Ika, masuk ke dalam mobilnya dan mereka berbincang kecil dalam perjalanan. Sampai Dara merasa ada keanehan.“Ibu, maaf, bukankah saya magang di Florist Éclair?
“Kaprodi belum kasih tau ‘kah? Kamu dipindahkan kesini, tempat sebelumnya sudah diisi. Sebab tempat itu membutuhkan pekerja secepatnya, kamu kan gelombang kemaren gak ikut.”
“Ah, iya, Bu,” ucap Dara mengikuti saja.
Bangunan itu sangat besar, sekelas Perusahaan internasional dengan taman yang mengelilinginya, seperti punya kehidupannya sendiri. Dara mengikuti sang dosen masuk ke dalam, setiap detailnya memperjelas kalau orang-orang disana adalah orang pilihan yang beruntung.
Bu Ika membawa Dara ke departemen dimana Dara akan magang. Creative Design and Product Development Departmen, Departemen ini bertanggung jawab untuk menciptakan konsep estetika dan inovasi desain pada produk jam tangan mewah, termasuk merancang tampilan, ukiran, hingga pengemasan yang mencerminkan eksklusivitas dan keanggunan merek tersebut. Dara dan Ibu Ika diajak berkeliling di departemen langsung oleh Abbey Hosch, Head of Creative Design and Product Development.
“Karena kedatangan Dara cukup mendadak, saya ingin membawanya menemui pimpinan,” ucap Abbey.
“Pimpinan?” Ibu Ika tampak terkejut. “Sekarang, Bu? Saya harus ke Rumah Sakit, anak saya mau operasi kalau sekarang.”
“Tidak apa, Bu. Saya bersama Dara saja berdua.”
Yang akhirnya Ibu Ika berpamitan setelah memberi nasehat pada Dara dan menitipkannya pada Abbey. Sepanjang langkah menuju ke ruangan pimpinan, Dara diminta untuk menunjukan skill dan pengetahuannya, sebab Dara magang disini sendiri dipilih langsung oleh Abbey. “Ada pengajuan magang ke Creative Design and Product Development. Saya lihat data diri kamu dan tertarik memberikan kesempatan disini. Jadi tunjukan ke pimpinan kalau saya tidak salah memilih kamu ya.”
“Bu, gak ada kemungkinan saya gak jadi magang disini kan?”
Abbey tertawa, mengabaikan pertanyaan Dara untuk bicara pada sekretaris disana bahwa mereka ingin menemui pimpinan. Hanya menunggu dua menit, Dara dan Abbey dipersilahkan masuk.
Jika lobby sudah dianggap Dara sangat mewah, entah bagaimana dia menggambarkan ruang CEO ini. Berkelas!
“Pak, ini Dara, mahasiswi yang akan magang di dapartemen saya.”
Hingga akhirnya Dara memfokuskan mata pada pemilik ruangan, betapa terkejutnya dia. Takdir macam apa ini? bisa-bisanya pemimpinnya adalah…. Jedidah. Setelah hampir satu minggu mereka terakhir mereka berjumpa.
“Saya juga membawa data diri terkait Dara, Pak,” lanjut Abbey memberikan sebuah dokumen. “Jika bapak berkenan, Dara akan membuat desain un-”
“Keluar.”
Hening.
Abbey mengerutkan kening. “Maaf, Pak?”
Suara Jedidah turun satu oktaf lebih dingin. “Keluar. Saya ingin bicara secara pribadi dengan mahasiswi ini.”
Dara menegang.
Abbey tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk sebelum melangkah keluar.
Kini, hanya ada mereka berdua.
Jedidah berdiri perlahan, langkahnya tidak terburu-buru, tapi penuh perhitungan. Dengan tenang, dia berjalan ke arah pintu—dan klik.
Dia menguncinya dari dalam.
Dara menahan napas, dadanya naik turun cepat.
Jedidah berbalik menghadapnya, tatapannya gelap dan tajam.
Suaranya terdengar pelan, tetapi membawa ancaman yang jelas.
“Ternyata dunia ini lebih kecil dari yang kukira.”
Napas Dara tercekat.
Pria itu tidak hanya mengingatnya.
Dia siap menghancurkannya.