“Nama saya Arganta Zafar Pranata. Putra sulung dari Irgi Haidar Pranata dan Ashana Aprilia Lubis. Usia 27 tahun lewat empat bulan.”
Baru pembukaan.
Sebuah microphobe tersangkut di kaos gue. Bukan untuk membesarkan volume suara, tapi untuk merekam apa yang gue katakan. Papi Ian bilang, untuk perkenalan ke ayahnya Ayra.
“Saya sedang menjalani Core Surgical Training – CST – tahun kedua di Addenbrooke's Hospital, Cambridge. Setelah CST, inshaaAllah lanjut ke pendidikan spesialis bedah anak.”
Kalau lo ngebayangin lamaran dengan iring-iringan keluarga besar yang membawa hantaran, mendengar calon ayah mertua memanggil bakal mempelai wanita, lalu jedag-jedug nungguin si Ayang bilang I will … itu ngga berlaku di kisah cinta gue. Nantinya, gue bahkan harus menunggu kabar dari Papi Ian apakah ayahnya Ayra meridhoi pernikahan ini atau tidak.
“Penghasilan selama masa pendidikan … ada. Usaha sampingan juga ada. Misalnya, jadi marketing team-nya teman-teman dekat saya di Cambridge. Di waktu senggang biasanya saya ngabisin waktu di bengkel handcraft, tempat saya bikin prakarya dari kayu. Pas mau pulang ke Indonesia, hasilnya saya pasarin di sosial media, semacam cuci gudang.”
Di keluarga gue, yang suka bikin pernak-pernik bahkan handmande furniture berbahan kayu adalah Papa Ga – adiknya bokap gue. Dari kecil, gue suka diajakin bebikinan oleh beliau, mengasah kreatifitas. Meski setelah dewasa cita-cita gue tetaplah mengikuti jejak Mama dan Papa – menjadi dokter – tapi hobi membentuk, mengukir dan menjadikan kayu lebih memiliki muatan fungsional tetap saja gue lakoni.
“Saya, bermaksud untuk menikahi putri Om yang bernama Fara Ayra Davira Gautama.” Kalau dari silsilah persahabatan gengnya Papa, harusnya gue manggil orang tuanya Ayra dengan panggilan Opa dan Oma. Tapi kini, situasi kekerabatan ini bakalan sedikit kompleks. Dan rasanya awkward aja manggil calon mertua Opa. Iya kan? “InshaaAllah, saya janji akan bertanggung jawab sebagai seorang suami. Memperlakukannya dengan baik. Menjaga marwahnya. Menafkahinya. Juga membimbingnya.”
Jujur aja, gue ngga tau harus menceritakan apa di rekaman ini. Apakah tentang gue dan Ayra yang baru bertemu tiga kali? Itu pun gue naksirnya di pertemuan kedua kami. Apakah tentang gue yang menemukannya ketakutan di bandara? Atau yang lebih aman nyeritain gimana hubungan keluarga gue dengan The Syahdan’s?
“Saya bingung Om harus cerita apa. Kalau Om mau tau perasaan saya, saat ini sayangnya saya ke Ayra belum bersambut. Kalau Om penasaran apa sebegitu ibanya saya sama Ayra, jawabannya iya. Tapi, bukan semata karena saya ingin melindungi Ayra. Saya justru ingin membuat Ayra mampu melindungi dirinya sendiri.”
Gue lalu menegakkan punggung. Titik pandang pun gue angkat. Satu persatu keluarga dan kerabat yang sudah berkumpul di sana gue tatap. Mereka pun … tengah fokus memandang gue.
Niat gue baik, Allah pasti mudahkan bukan?
“Saya harap, Om bisa memberi jawaban atas permintaan saya ini secepat mungkin. Mohon maaf karena jadi teramat mendesak. Kami butuh waktu untuk menikah, juga mengurus visa Ayra, Om. Saya sudah harus flight ke UK lagi Jumat malam, berarti masih ada sekitar enam hari lagi. Terima kasih. Assalammu’alaikum, Om. Sehat selalu.”
Tombol rekam gue hentikan. Mic juga gue lepas. Hasil rekaman suara tersebut lalu gue kirim ke nomornya Papi Ian. Besok pagi, beliau akan mengunjungi Om Irsyad dan membicarakan perihal rencana pernikahan gue dan Ayra.
“Oke, Bang. Sudah Papi terima,” ujar Papi Ian.
Gue mengangguk.
Baru saja gue hendak menoleh ke tempat di mana Ayra berada, suara mobil yang masuk ke pekarangan villa mengurungkan niat gue. Gegas gue berdiri, melangkah ke pintu utama. Area parkir sekarang terlihat seperti akan ada cara gathering. Padat karena sebagian besar sahabat Papa dan keluarga kami datang satu persatu.
Itu dia, nomor polisi MPV yang tengah gue tunggu.
Mobil masih mundur perlahan, tapi pintu tengahnya sudah terbuka. Perempuan berwajah bengis ngelihatin gue kayak belum makan siang. Pas kendaraan tersebut terparkir sempurna, itu cewek bergegas turun. Ia melangkah cepat. Namun, baru lima langkah, ia melepas flat shoes kaki kanannya.
Ngga perlu nunggu hujan angin petir biar dramatis, sobat gue itu langsung mengayunkan tangannya, melempar sepatunya ke gue.
‘PLETAK!’
Anjiiir, sakiiit! Pas banget di jidat. Kedua tangan gue menutup wajah, mata terpejam, lutut menekuk dan bersimpuh di rerumputan. Kepala pun gue satukan dengan pucuk-pucuk hijau, merintih sendirian. Kena sol sepatu, meski itu flat, sakitnya sampai ke ubun-ubun you know?
‘BUGH!’
Kali ini yang mendarat gebukan di punggung gue. Sontak gue meringkuk. Panaaas!
“Sakit, Reina.”
"Call me your angel of death!"
“OGAH!” pekik gue, lalu tergelak.
Kesal kali gue malah ngekek. Yang jadi sasaran sekarang rambut gue. Main jambak aja.
“MAS RIO! TOLOOONG!” pekik gue, manggil suaminya Reina.
“Humaira …” panggil Mas Rio. Ya elah, lembut banget coba!
“Mas diam aja! Sana masuk ke villa.”
“Sorry, Ga,” ujar Mas Rio kemudian, melangkah santuy sambil gendong si kembar yang bergumam-gumam lucu.
Padahal gue nyamperin mereka karena mau gendong itu dua bocah, bukan digebugin sama emaknya. Edan bener!
“Rei, sakit! Ampun!”
“Lo sadar ngga salah lo apa?”
“Ngga.”
Jambakan selesai, ganti lengan gue yang kena sasaran cubitan kepiting.
“Sakiiit! Ampun, Rei.”
Reina akhirnya mendengus, duduk di atas rumput. Ia menatap gue yang bangun sambil ngelus-ngelus area yang sakit. Ngga cukup ternyata punya dua tangan.
“Sadis banget sih lo? Sakit tau!” sambat gue lagi.
“Gue baru ngerahin sepuluh persen dari tenaga gue! Mau adu ilmu aja apa di sini?”
“Ngga, Rei.”
“Lo gila ya?”
Gue tergelak.
“Arga! Gue serius!”
“Iya, gue tau lo serius.”
“Pernikahan tuh bukan untuk main-main, Ga!”
“Lo nganggap gue cuma mau main-main?”
“Ngga! Bukan lo, tapi dia!”
“Ayra?”
“Dia baru putus sama cowoknya! Bukan sekedar cowok. Mereka udah janji mau menikah.” Reina mengingatkan sepotek kisah pilu calon istri gue.
“Tapi, itu cowok ngehamilin saudara tirinya, Rei.”
“Dan lo dengan naifnya mengira kalau dia akan langsung jatuh cinta sama lo semudah membalik kartu remi?”
Gue mendengus.
Posisi duduk gue geser, menempel dengan Reina. Kepala ini lalu gue rebahkan ke bahunya.
“Gue ngga rela, Ga. Gue ngga mau lo dimainin,” ujar Reina, sengau. Nangis pasti dia. Gitulah ibu yang masih nyusuin bayinya, sensi banget. Banjir hormon.
“Lo udah makan belum sih, Rei?”
“Belum.”
“Pantes galak!”
“Rencananya gue mau ngemutilasi lo! Gue bikin sate!” sulutnya kemudian. Sumpah sengit banget!
“Bang … sate, Bang! Asapnya aja Neng. Bonus arangnya juga boleh.”
“Arga!”
“Iya iya!” kekeh gue.
“Lo ngga bakal batalin kan?” tanyanya, frustasi.
“Ya nggalah Rei.”
“Kenapa sih lo harus seimpulsif itu?”
Berhubung Reina menyerongkan tubuh supaya bisa ngelihat gue, otomatis gue duduk tegak kembali. Hari sudah gelap, bintang-bintang yang bertaburan tengah menaungi kami.
“Kan lo tau gue suka sama dia, Rei.”
“Tapi kan lo ngga tau dia kayak gimana, Ga.”
“Gue yakin kok dia cewek baik.”
“I know. Gue juga yakin itu. Tapi hatinya?”
“Gue juga berusaha kok Rei, supaya dia jatuh cinta sama gue.”
“Dengan?”
“Perjanjian.”
“Perjanjian apa?”
Gue beberinlah isi perjanjian gue dan Ayra yang diteken di siang menjelang sore tadi. Reina makin frustasi. Surainya ia acak-acak, kini mencuat ke mana-mana.
“GUE LURUSIN KRIWIL LO SINI!” bentaknya kemudian.
“Janganlah! Hoki gue ini!”
“Mana ada perjanjian isinya minta peluk doang? Dasar m3sum!”
Ngakaklah gue. “Namanya juga usaha, Rei.”
“Usaha bawa dia ke kasur, hamil, terus ngga jadi minta cerai sama lo! Iya kan?”
“Kata siapa?”
“Kata gue barusan!”
“Buset! Ngegas mulu lo, Rei! Ngga haus?”
“Arga!”
“Ya kalau ngga gitu, ngga nyampe tiga tahun yang ada dia maksa gue ceraiin dia, Rei.”
“Duuuh, lo kenapa sih, Ga?”
Gue mendengus. Kedua lutut gue angkat, membentuk posisi segitiga. Dagu gue lalu bersandar di atas tempurung, menarik-narik rumput yang teraih. Emang apalagi yang bisa gue lakuin?
“Apa?” desak Reina lagi.
“Apaan?”
“Apa yang belum lo ceritain ke gue?”
“Ngga ada, Rei.”
“Jangan bohong lo!”
Ya, susah bohong sama Reina. Kami cuma beda empat bulan, lebih tua Reina. Kedua orang tua kami yang kakak beradik plus bestie forever itu bikin hubungan kami lebih lengket dari sekedar sepupuan. Bayangin aja, dari bayi udah mandi bareng, tidur bareng, makan bareng, main bareng, pokoknya banyak bareng-barengnya.
“Gue kenal Eren,” aku gue akhirnya.
“Eren?”
“Abang tirinya Ayra.”
“Hah?”
“Tante Seina bawa Ayra. Suami barunya bawa Eren dan Dyra.”
“Lo bahkan tau nama cewek lakn4t itu?”
“Kalau itu, tadi Ayra cerita.”
“Dan lo kenal Eren caranya?”
“Anak Royal Northern College of Music. Sama-sama aktif di PPI. Kita barengan jadi panitia BritIndo Collegiate Olympics summer tahun kemarin. Habis lo nikah.”
“Sinting! Terus?”
“Gue nginap di flat dia. Lihat foto keluarganya. Pas gue tanya soal Ayra, Eren cerita gimana kedua orangtuanya ngebedain mereka bertiga. Eren itu anak buangan juga, bokapnya ngga suka dia belajar seni. Kalau sama Ayra, ya ketebaklah, udah pasti ngga peduli. Tersisalah Dyra yang dibanggakan. Waktu itu, Eren ngga nyebut nama adiknya. Cuma pakai frasa adek gue.”
“Eren tau Ayra di sini?”
Gue menggeleng.
Ponsel di saku celana gue keluarkan, gue kasih ke Reina dengan posisi aplikasi chat yang terbuka.
Eren-PPI-Manchester:
Bang, lo masih ingat adik tiri gue yang namanya Ayra?
Dia kabur. Ngga tau ke mana.
Orangtua gue emang udah sakit jiwa!
Gue yakin Ayra masih di Indonesia.
Bisa ngga lo bantu gue cari dia, Bang?
Kalau gue yang nyari, bisa aja ada yang lapor ke Papa.
I mean, bantu gue bisa ngubungin dia. Adek gue bilang dia ngga bawa hape.
Arga: Kenapa dia bisa kabur?
Eren PPI Manchester: Cowoknya ngehamilin adek gue. Dia dipaksa ngurus nikahan mereka. Ayra kabur sebelum akad terlaksana.
Arga: Bagus dong?
Eren PPI Manchester: Ngga bagus, Bang. Lo ngga tau gimana Ibu. Apalagi Ibu janji mau nikahin Ayra sama bandot tua calon investor besar perusahaan Papa.
Arga: Terus, kalau gue cari, lo mau apa? Untungnya buat gue apa?
Eren PPI Manchester: Gue tau rasanya dibuang. Ngga dipeduliin. Kalau perlu, gue nikahin Ayra. Biar bokap gue tau kalau ngga dia ngga bisa seenaknya!
“Gila! Apa bedanya Eren sama adiknya? Sama ibunya Ayra? Sama bapak tirinya? Nikahin karena dendam? Itu keluarga otaknya kurang semua?” omel Reina seraya melotot ke gue.
Pesan itu memang ngga gue balas lagi. Karena saat gue mau membalas, di situlah Ayra menabrak gue saat di bandara tadi.
“Gue beda sama mereka, Rei. Lo tau banget kan, gue … beneran jatuh cinta sama Ayra,” ujar gue. Sungguh-sungguh.
“Abang Arga ….”
Gue dan Reina sama-sama menoleh ke balik punggung. Menatapnya yang menitikkan air mata.
“Ayra?”