Queenstown, dua puluh bulan yang lalu.
DS. Hanya dua aksara yang terukir di fasad kafe ini. Menurut Dyra, yang punyanya orang Indonesia dan nama venue itu merupakan inisial dari pemilik. Terletak ngga jauh dari Lake Wakatipu, bangunan ini terdiri dari dua lantai. Di bawah jadi bakery and coffee shop, sementara di lantai atas – yang bikin pengunjung bisa sekalian memanjakan mata dengan pemandangan danau – adalah restorannya.
Aku … memilih di lantai dasar, terpisah dari Ibu, Papa dan Dyra yang menikmati sajian di atas.
“Apa aku bisa memesan menu restoran dan memakannya di sini?” tanyaku pada seorang pelayan.
“Tentu. Apa yang kau inginkan?”
“Lamb hotpot.”
“Ada lagi?”
“Beetroot blush,” jawabku, merujuk ke salah satu menu cold press juice mereka. “Iced mocha di tumbler-ku ini,” tambahku. “Itu saja.”
“Baiklah.”
Begitu pelayan itu pergi, aku membuka tote bag-ku yang berisi knitting stuff. Velvet yarn berwarna dusty pink menjadi pilihanku. Aku memulai dengan membuat tujuh chain, lalu menyisipkan loop di masing-masing celah rantai tersebut. Saat jemariku asik merajut, lonceng di atas pintu berdenting lembut. Aku menoleh, tanpa sengaja bersitatap dengan seorang pria berparas Asia.
“Abang Arga!”
Seruan itu membuatku mengikuti titik pandang sang pemuda. Ia mencengir, sementara seorang pria lain, yang seumuran ayahku berjalan cepat mendekatinya.
“Nyasar ngga?” tanya pria yang lebih tua seraya memeluk si Arga. Kalau tidak salah dengar, begitu tadi ia disapa.
“Nggalah, Dad. Wiiih, makin asik nih tempatnya,” ujar Arga. “Daddy Dewa sendiri?”
Pelukan mereka lalu mengurai, si Daddy Dewa menyugar surai kriwil milik Arga. Kalau memang ayahnya, kenapa setelah Daddy – Arga menyebut nama pria itu juga?
“Mommy lagi di dapur, Vega dan Aksa lagi belanja sebentar. Mau langsung istirahat?”
“Arga lapar, Dad.”
“Duduk dulu kalau gitu. Lamb hotpot?”
“Iya dong, Dad.”
“Duduklah, boy.”
“Makasih, Dad.”
Dan tak berselang lama, seorang perempuan cantik yang seumuran Ibu juga mendekati Arga. Namanya Mommy Sandra. Sepertinya memang kebiasaan mereka memanggil dengan frasa Mom and Dad ke orang yang lebih tua. Entahlah, aku juga tak paham. Aku hanya tak sengaja ikut mendengar karena mejaku dan Arga bersebelahan.
Lalu, lamb hotpot pesanan kami berdua pun tiba. Bahkan minuman yang kami pesan juga sama. Arga memandangku, mengangguk sopan. Sementara aku enggan menggubrisnya. Aku tidak mengenalnya, rasanya tak nyaman jika beramah-tamah. Lagipula, aku sudah punya kekasih.
Sembari menunggu makananku menghangat, aku mempercepat gerakan tanganku. Berhubung benang rajut jenis ini diameternya besar-besar, membuat sling bag berukuran kecil tak akan memakan waktu. Lima belas menit berselang, aku tinggal menjahit sebuah kancing sebagai pengait sekaligus pemanis.
Yang tak aku sangka, Arga memerhatikanku.
“Nice sling bag,” pujinya.
Aku mengangguk kaku.
Tak tertarik menyambung dialog, aku memasukkan perlengkapanku yang tercecer di atas meja kembali ke dalam tas. Juga memindahkan dompet, paspor dan ponsel ke dalam sling bag yang baru kubuat. Setelahnya, makanan hangat yang kupesan tadi segera kusantap. Suhunya pas, dan rasanya sungguh nyaman di indera perasaku.
Derap langkah beberapa pasang sepatu di anak-anak tangga kayu menyapa telingaku. Tak hanya itu, suara Ibu, Papa dan Dyra juga turut terdengar.
“Belum habis?” tanya Ibu begitu mendapatiku masih menyendok hotpot.
“Sebentar lagi, Bu.”
“Cepat habiskan!” titah beliau kemudian.
Aku mengangguk, tak mampu menjawab dengan kata berhubung tengah mempercepat kunyahanku.
“Gimana ngga lama, Bu. Nih, dia sambil bikin ini!” ketus Dyra, mengangkat tas kecil yang baru kubuat tadi.
Ibu mendengus keras, sementara Papa beringsut ke kasir yang dijaga oleh Daddy Dewa.
Yang selanjutnya terjadi, entah bagaimana tahapannya, tiba-tiba jus yang baru sekali kusesap tumpah begitu saja. Cairan merah itu mengguyur tasku, sebagian masuk ke dalam hotpot, dan sisanya memercik ke dress putihku.
“Oops, sorry!” ujar Dyra.
Aku menoleh, menatapnya geram.
“Gue ngga sengaja!” sulutnya kemudian.
“Sudah-sudah! Ayo kita balik ke hotel! Lagian kamu tuh kenapa sih selalu aja misah, selalu aja belakangan selesai makan! Nyari perkara sendiri!” omel Ibu padaku.
Selalu seperti ini. Sebenar apa pun aku, akan selalu salah di mata Ibu.
“Ada apa?” tanya Papa.
“Ngga ada apa-apa, Mas. Ayra ceroboh.” Ibu yang menjawab.
Keningku sontak mengerut.
“Kebiasaan kamu!” tanggap Papa, sengit padaku.
Mungkin karena mendapati ketidakwajaran, Daddy Dewa menyambangi mejaku. Kedua matanya sekejap melebar, menandakan keterkejutan.
“Biar saya bereskan, Kak. Kakak bersihkan dress-nya saja,” ujar beliau sopan. “Perlu detergen?”
“Ngga usah, Om. Terima kasih.”
“Papa tunggu di mobil,” ujar Papa kemudian.
Aku mengangguk, menyampirkan tote bag-ku di bahu dan menenteng tas baruku ke area cuci tangan. Di sana, aku terdiam kala mematut diri. Dress ini adalah pemberian Bang Reizan – pacarku – dan baru sekali kupakai.
“Kamu ngga apa-apa?”
Aku menggeser titik pandangku, mendapati Arga yang berdiri beberapa langkah di belakangku.
“Iya,” jawabku singkat.
“Nih,” ujarnya lagi seraya menyodorkan sebuah case kecil berisi lembaran kertas berbentuk bunga. “Paper soap,” sambungnya. “Tapi ampuh buat ngilangin noda. Temanku, anak kimia yang bikin.”
“Ngga usah,” tolakku sembari tersenyum singkat.
Ia malah meletakkan case itu di meja wastafel tepat di hadapanku.
“Kalau cocok, kamu kontak aja instagr4mku, akun aku kriwilhoki.”
Aku sontak terkekeh.
“Nanti aku kasih harga teman,” lanjutnya.
“Oke,” tanggapku seraya terkekeh.
“Sip. Ya udah. Aku tinggal ya, Ayra?”
“Lo tau nama gue?”
“Kedengaran aja, ngga niat nguping juga. Tadi ibu kamu nyebut nama kamu bukan?”
***
“Abang Arga?”
Ia menoleh … calon suamiku.
“Sini, Ay,” ujarnya seraya menepuk-nepuk dudukan di sampingnya. Sebuah ayunan kayu dengan dudukan empuk nan nyaman. Di depan kami, sekumpulan ikan koi meliuk-liuk dengan lincahnya.
“Kata Bang Ian, kamu mau ngomong?”
Bang Arga mengangguk. “Kok jadi pakai Abang?” tanyanya kemudian.
“Maksudnya?”
“Ke aku, Ay. Kok jadi manggil Abang Arga?”
“Oh … tadi dibilangin Uwak Naura, ngga baik manggil calon suami langsung nama,” jelasku.
“Aku ngga keberatan kok,” balasnya.
“Aku yang keberatan.”
“Karena?”
“Kalau dipikir-pikir, kurang pantas aja.”
“Oh.”
“Kamu ngga suka ya?” tanyaku kemudian.
“Suka.”
“Tapi kayak ngga suka.”
“Lebih suka kalau kamu manggil aku dengan panggilan kehormatan yang lain.”
“Contohnya?”
“Mmm … love, babe, sayang, honey?”
Aku malah tergelak.
“Serius, Ay.”
“Terus? Kamu manggil aku apa?” tanyaku, masih sambil terkekeh.
“Ay.”
“Ya kan itu nama aku.”
“Bukan.”
“Terus?”
“Ayang.”
‘Plak!’ Aku menampar lengannya.
“Aduh!”
“Sakit?”
“Ngga sih, biar ditanya aja.”
“Bang Arga ih!”
Kami sama-sama tertawa. Nyaman sekali rasanya, entah kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini.
“Oh iya!” Aku merogoh saku jeans jumpsuit-ku, mengambil case bening berisi paper soap yang nyaris dua tahun lalu ia berikan padaku.
“Kok masih ada, Ay?”
“Ngga tega makainya. Sesekali aja. Tapi tetap dibawa ke mana-mana.”
“Pantesan. Aku nunggu repeat order kok ngga ada-ada?”
“Bentuknya lucu, makanya jarang aku pakai. Ini yang bikin pasti cewek?”
“Cowoklah.”
“Abang yang bikin?”
“Bukan, temanku anak jurusan Kimia. Bisnisnya dia. Aku cuma bantu-bantu aja. Reseller, Ay,” jelasnya kemudian.
“Gitu.”
“Kamu masih suka ngerajut, Ay?”
“Masih, Bang.”
“Dijual aja hasil karya kamu, Ay.”
Aku tersenyum. Namun, tak aku tanggapi sarannya tadi. “Nanti, habis kita nikah, Ayra kerja apa ya Abang?”
“Kamu ngerajut aja, nanti aku jualin.”
“Kok gitu?”
“Kan kamu happy ngerajut. Kalau happy ngerjainnya, pasti hasilnya bagus.”
“Tapi kan belum tentu laku?”
“Soal laku atau ngga itu bukan urusan kita, Ay. Kita cuma perlu berusaha. Kamu bikin, aku masarin. Kalau laku, itu sudah campur tangan Allah. Kalau belum laku, berarti belum ketemu aja pembeli yang paham betapa bagusnya karya kamu.”
Aku tertegun. Kurenungi kalimat panjangnya barusan.
“Abang selalu begini ya?” tanyaku kemudian.
“Begini gimana?”
“Memandang sesuatu dari sisi positif.”
Bang Arga mengangguk. Ia menoleh lagi padaku, tersenyum tulus. Senyumnya manis dan bibirnya membentuk hati saat ia tertawa. “Udah dicekokin Papa dan Mama begitu dari kecil, Ay,” tanggapnya kemudian.
“Oh.”
Ia lalu mengambil plastik berisi roti tawar di samping kirinya, menyobek-nyobek panganan itu menjadi ukuran yang lebih kecil, lalu melempar sedikit demi sedikit ke kolam koi.
“Kamu ngga apa-apa, Ay?” tanyanya lagi.
“Iya. Ngga apa-apa. Justru aku ngga enak hati sama Bang Arga. Manfaatin kebaikan Abang dan narik Abang ke hidup Ayra yang berantakan.”
“Nanti kita beresin sama-sama.”
“Kalau Abang mau mundur, Ayra ngga apa-apa kok.”
“Mundur apa?”
“Ngga jadi nikahin Ayra.”
“Rugi dong aku, Ay?”
“Nggalah. Yang mau sama Bang Arga kan pasti banyak. Orang tuanya hebat, keluarganya harmonis, Dokter pulak,” jawabku.
“Tapi aku maunya sama kamu, Ay.”
Aku tertawa lagi.
“Tau mantan kamu b4jingan gitu, dari dulu aku pepet kamu terus, Ay.”
“Dari dulu tuh dari kapan?”
“Dari di Amsterdam.”
“Oh.”
“Kenapa, Ay?”
“Ayra kira dari pas kita ketemu di Queenstown.”
“Ih, ngarep!”
‘Plak!’
“Kamu nih, suka banget ngegebuk,” tanggap Bang Arga seraya terkekeh.
“Lagian bilang ngarepnya sepenuh hati banget,” sambatku padanya. “Kan bikin malu.”
Ia makin tergelak. “Canda, Ay.”
“Iya.”
“Aku tuh ngerasa lain waktu ketemu kamu pertama kali, Ay. Maksud aku … ada rasa kagum, ada rasa kasihan, dan ngga aku pungkiri kamu cantik. Tapi ….”
“Aku ngga nerd waktu itu kan?” potongku.
“Udah tau ya aku agak obsess sama cewek nerd?”
“Tadi Kak Meta dan Kak Diana yang cerita, Bang.”
“Ya kan kamu modis banget waktu di Queenstown, Ay.”
“Soalnya ada Ibu, Bang. Ibu ngga suka kalau penampilan Ayra seenaknya. Maunya Ibu, Ayra modis, pintar, mahal. Kayak Dyra.”
Bang Arga mendengus keras. Miris mungkin mengetahui permukaan hidupku. Betul, yang Abang tau baru luarnya saja. Entah bagaimana jika ia tau lebih dalam.
“Kalau Abang? Kenapa suka cewek nerd?”
“Kebanyakan orang nerd itu sebenarnya simple, ngga belibet pola pikirnya. Ngga terbebani anggapan orang lain. Nyaman aja dengan ke-nerd-an dia. Bahasa premannya antara polos atau b3go. Kebanyakan orang menganggap demikian karena sebenarnya si Penuduh sendiri yang isi otaknya terlalu ribet. Dan begitu si Nerdy menyukai sesuatu, kayaknya ngga ada kata bosan menghampiri.”
“Kayak Bang Arga?”
“Correct!”
Bang Arga menyodorkan telapak tangannya yang berisi potongan roti, mendelik ke kolam, mengundangku untuk ikut memberi makan ikan-ikan di sana.
“Aku bersyukur kamu ngga kayak Dyra,” ujarnya kemudian. “Aku bersyukur kamu si gadis perajut, yang bikin sling bag cantik dalam tempo sesingkat-singkatnya.”
“Emangnya proklamasi?” kekehku.
Abang tersenyum lagi, namun tetap meneruskan kata-katanya. “Bukan perempuan dengki yang sengaja menumpahkan minuman demi merusak benda yang ia sukai tapi tak bisa direbutnya.”
“Abang?”
“Aku lihat semuanya hari itu. Dan itu alasan besarnya kenapa aku ngga keberatan menikahi kamu, Ay. Aku yakin, kamu perempuan baik. Cuma perlu dipoles supaya lebih berani.”
“Abang ….”
“Yang pasti … kamu jawaban dari doaku selama ini.”