Pukul 9 pagi, Kayla sudah bangun dan menemukan dirinya berada di kamarnya. Saat dia membuka matanya, hal yang dirasakannya pertama kali adalah handuk kecil yang berada di atas keningnya.
Kayla mengambil handuk itu dan meletakkannya di atas nakas. Kemudian dia melihat jam di ponsel sambil memikirkan bagaimana dia bisa ada di sini.
Karena merasakan pusing yang menyerang kepalanya, Kayla berusaha untuk memikirkan itu dan melanjutkan rebahannya menghadap makanan yang sepertinya disiapkan Allisa. Dia benar-benar tidak berselera untuk makan.
"Kayla?"
Itu suara Allisa. Kayla meliriknya dan melihat perempuan itu datang dengan minuman hangat di tangannya.
"Minumlah ini, aku akan memanaskan bubur untukmu. Tunggu sebentar."
Tidak berniat untuk mencegah Allisa yang langsung mengambil makanannya dari atas nakas, Kayla mengambil gelas yang diberikan Allisa dan meminumnya dengan pelan.
Setelahnya Kayla melirikkan kepalanya ke kamar ruang tamu yang dia tempati ini. Dia tidak ingat bagaimana dirinya bisa berada di sini. Sepertinya wine yang dia minum hampir setengah botol itu membuat ingatannya tentang semalam mengenai wanita yang membantunya tidak kentara.
Anehnya dia hanya mengingat bagaimana Ryan memeluk wanita yang bahkan sudah dia lupakan ciri-ciri fisiknya semalam.
"Ini, makanlah selagi hangat..."
Allisa tiba-tiba saja muncul membawa semangkuk bubur untuknya. Kayla yang tidak memiliki nafsu makan hanya bisa memandangi bubur itu.
"Kay, makanlah. Kamu harus makan supaya kondisimu membaik," pinta Allisa sambil menyedokkan bubur itu dan bersiap masuk ke mulut Kayla.
Akan tetapi, Kayla menolaknya. "Aku nggak bernafsu, Allisa."
"Kayla, please... demammu tinggi sekali semalam dan aku---"
"Siapa yang membawaku pulang semalam?" tanya Kayla.
"Seorang pria, aku tidak tahu namanya, tapi dia membawamu pulang ke apartemen," jawab Allisa.
Kayla jadi bingung. Yang dia ingat itu seorang wanita, tapi dirinya diantarkan oleh seorang pria. Sebenarnya yang salah Allisa atau ingatannya yang keliru?
"Ayo, Kay. Kalau kamu nggak makan, aku terpaksa harus menghubungi Ryan."
Mendengar ancaman menggunakan Ryan, Kayla beralih menatap Allisa dengan tajam. "Apa kamu harus memanggilnya ketika dialah penyebab aku seperti ini?"
"Kay, bukan---"
Kayla menutup telinganya, enggan mendengarkan perkataan Allisa. "Aku akan memesan tiket ke Indonesia. Berada di sini hanya membuatku stres."
"Kayla, lihat aku," perintah Allisa.
Tapi Kayla tidak melakukannya dan hanya memalingkan wajahnya dari Allisa.
"Apa kamu akan membunuh dirimu sendiri? Yang bersalah Ryan, kenapa kamu yang harus menderita, Kayla..."
"Tepat sekali," jawab Kayla yang langsung menatap Allisa tajam. "Yang salah adalah Ryan dan yang seharusnya tersiksa adalah Ryan dan perempuan itu, tapi kenapa aku yang seperti ini, Allisa?" Tangis Kayla perlahan mulai keluar.
"Semalam aku melihatnya, aku melihat Ryan memeluk perempuan itu. Dan yang membuatku ingin mati adalah, perempuan itu ada di sini, di Nice! Aku bahkan dapat membayangkan bagaimana mereka berdua sekarang menghabiskan waktu bersama tanpa aku, Allisa."
"Ka-kamu melihat mereka?" tanya Allisa tampak terkejut. "Apa kamu tahu perempuan itu siapa?"
Kayla menarik napas dan menggelengkan kepalanya. "Aku hanya bisa melihat punggungnya. Selebihnya aku tidak tahu."
"Dan kamu diam saja saat itu?"
Kayla diam. Karena hanya itu yang bisa dia lakukan semalam.
"Kamu seharusnya menghampiri mereka, Kayla!" perintah Allisa dengan tegas. "Dengan begitu kamu nggak akan kesulitan dan kesakitan seperti ini."
"Aku nggak bisa!" ucap Kayla. "Bahkan untuk berdiri saja aku nggak kuat, Allisa. Apalagi untuk mendatangi Mereka dan membunuh keduanya. Aku nggak bisa..."
"Kenapa?" tanya Allisa, berusaha mengetahui mengapa Kayla sulit melakukan itu semua.
Tapi Kayla diam saja dan hanya menggigit bibirnya, seolah tidak berencana untuk memberitahukan Allisa perihal alasan ketidakmampuannya.
"Kay, aku sahabatmu dan kamu bahkan ragu menceritakan apa yang hati dan kepalamu itu pikirkan. Bagaimana aku bisa mendukungmu dengan hanya mengandalkan tebakanku saja."
Allisa benar, tapi Kayla hanya tidak mampu. Dia seolah kehilangan gairahnya untuk hidup. Pasalnya dia sangat mencintai Ryan dan sangat mempercayai cinta yang pernah Ryan beri. Dan melihat kebohongan dan pengkhianatan yang Ryan berikan, Kayla seolah dipaksa untuk mati.
"Aku benar-benar nggak ingin seperti itu, Allisa."
"Kalau begitu katakan, dan kita akan memikirkan solusinya bersama-sama."
Kayla tetap pada pendiriannya. Dia menggelengkan kepala dan melihat keras kepalanya Kayla, Allisa menghela napasnya berat. Keduanya diam cukup lama dan hanya menyisakan keheningan.
"Ya udah, kamu harus makan. Setelah pulang akan kuperiksa apa kamu sudah makan dan minum vitaminnya." Allisa langsung berdiri dan menyentuh puncak kepala Kayla, lalu kembali berkata, "Get well soon, Kay. Kamu harus punya tenaga untuk lawan mereka berdua."
Setelah mengatakan kata penyemangat untuk dirinya, Allisa langsung saja keluar dari kamar yang ditempati Kayla. Sedangkan Kayla sendiri memilih untuk melihat bubur yang Allisa buatkan itu. Melihatnya saja dia tidak bernafsu. Dirinya benar-benar sudah kehilangan tenaganya. Bahkan jika mengingat yang Allisa katakan, itu tidak membuatnya mendapatkan semangatnya kembali. Apa yang dilihatnya secara langsung semalam mampu menghancurkannya lebih dalam.
Kayla mengembuskan napasnya, kemudian dia mengambil ponselnya serta mencoba untuk menghubungi seseorang.
Cukup lama dia menunggu seseorang itu menjawab panggilannya dan dalam panggilan kedua, baru seseorang yang dihubunginya itu menjawab.
"Maaf, Kay, aku ada urusan tadi, jadi terlambat mengangkatnya."
"Nggak apa-apa, aku tahu kamu pengacara tersibuk."
"Terima kasih untuk pujiannya. Ada hal apa ini, Kay?"
"Gini, San, pulang dari Perancis ada yang mau aku bahas, bisa buat janji temu?"
"Tentu bisa, kapan kamu mau?"
"Akan kukirimkan waktunya setelah pulang, gimana?"
"Oke, tolong kirimkan secepatnya, Kay. Supaya aku bisa mengatur agendaku."
"Pasti. Thanks ya, San."
"Apa pun untukmu, Kay."
Setelah itu panggilan terputus. Kayla bisa bernapas lega sekarang. Beruntung dia punya Sandi, temannya yang berprofesi sebagai pengacara. Sandi juga sering menangani kliennya yang bercerai dan Kayla bisa menanyakan apa pun yang dia inginkan setelah mereka bertemu.
Menghubungi Sandi berartikan bahwa keputusannya untuk bercerai dengan Ryan sudah bulat. Sebisa mungkin dia akan mewujudkan gugatannya diterima kelak dan Kayla tidak akan meminta imbalan apa pun. Berpisah dengan Ryan secara hukum adalah keinginannya saat ini.
Jika ditanya alasan perceraiannya, semua sudah jelas, Ryan berselingkuh. Mau bagaimanapun Ryan berusaha memperbaiki pernikahan ini, Kayla tidak akan bisa menerimanya. Kayla bukan perempuan lemah yang diam saja melihat perselingkuhan suaminya. Dia bukan perempuan yang baik-baik saja saat suaminya berselingkuh. Karena Kayla tidak ingin jika kelak ada kata istri kedua di pernikahannya. Kayla tidak ingin.
Menghela napasnya, Kayla mencoba turun dari ranjang dan berlalu ke kamar mandi. Di depan wastafel, dia berdiri dan melihat wajahnya yang pucat dengan mata sembab. Terlihat buruk. Kayla ingin menangis jika melihat dirinya seperti ini.
Dalam benaknya mulai berpikir, sebenarnya apa yang membuat Ryan berselingkuh. Selama ini Kayla sudah melakukan perawatan diri yang fantastis, menggunakan pakaian bermerek, memberikan kasih sayang dan kebebasan kepada Ryan, tidak egois dan sebagainya. Semua sudah Kayla lakukan untuk menjaga dirinya dan memberikan apa yang Ryan butuhkan. Kecuali satu hal, yaitu seorang anak. Dia dan Ryan memang belum diberikan amanah untuk memiliki anak. Pasalnya, setelah keguguran yang Kayla alami di pernikahan keduanya, sampai sekarang Kayla tidak diberikan kehamilan lagi.
Kayla tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Dia juga ingin seorang anak, tapi jika pada akhirnya belum diberikan, dia bisa apa?
Dia sungguh pusing memikirkan ini semua. Kayla akhirnya menyalakan keran air dan mengatur suhunya, kemudian membasuh wajahnya yang pucat. Setelah itu dia langsung keluar dari kamar dan mendapatkan panggilan dari Ryan.
Seperti biasa Kayla tidak akan menjawabnya. Dia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang hangat, lalu berjalan keluar menuju dapur. Dia tidak ingin makan, tapi entah mengapa dirinya ingin buah-buahan yang asam. Akhirnya Kayla memilih untuk mengambil buah jeruk di lemari es Allisa dan membawanya ke depan televisi.
Ini mungkin tidak baik. Dirinya sakit saat ini dan yang bisa dia makan hanyalah buah. Allisa pasti akan membunuhnya. Lagipula, seharusnya Allisa tahu jika Kayla bukan seseorang yang suka dengan bubur. Mungkin jika itu sop, Kayla bisa memakannya.
Memikirkan itu membuat Kayla jadi menginginkannya. Dengan tubuh yang masih lemah, dia bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur untuk mencari bahan. Setelah menemukan bahan yang setidaknya bisa dijadikan sop, Kayla langsung membuatnya dengan hati-bati.
Tubuhnya memang masih lemah, tapi dia masih bisa memasak hal yang sederhana. Meskipun memasak kali ini membutuhkan waktu, Kayla tetap bisa menyelesaikannya. Dan dia akhirnya bisa memberikan isi untuk perutnya.
Selepas mengisi perutnya, Kayla langsung ke kamar untuk mengambil vitamin yang Allisa berikan. Kayla bingung, kenapa Allisa malah memberikannya vitamin dan tidak memberikannya sebuah obat yang bisa menghilangkan demamnya ini. Tapi dia percaya Allisa, mungkin vitamin ini lebih manjur, jadi dia langsung meminumnya.
Kayla lalu mengambil bubur yang Allisa buat dan membawanya untuk diletakkan ke lemari es. Biarkan saja Allisa marah karena buburnya tidak dia makan.
Saat membuang bubur itu, Kayla merasakan hal yang aneh pada perutnya. Dia langsung menyentuh bagian bawah perutnya dan merasakan perih yang sama ketika dirinya mengalami keguguran dulu. Ingatan itu masih membekas di pikirannya.
Kayla jadi berpikir apakah ini efek dari buah yang dia makan atau vitamin yang diberikan oleh Allisa. Sakit itu makin terasa, dan Kayla tidak tahu penyebabnya. Dia buru-buru berjalan ke kamar dan mencoba untuk menghubungi Allisa, tapi tidak ada jawaban.
Apakah dia harus ke RS sendirian? Ini benar-benar menyakitinya dan tubuh Kayla semakin lemah. Allisa juga pulang malam, dia khawatir jika terjadi sesuatu. Akhirnya Kayla mengambil mantel, tas dan ponselnya. Dia langsung keluar dari apartemen Allisa, dan meminta untuk dipanggilkan mobil kepada satpam yang berjaga di lobi.
Setelah mendapatkan mobil, Kayla langsung memintanya diantar ke rumah sakit dimana Allisa bekerja. Dan sepanjang perjalanan, rasa sakit dan keram itu semakin menjadi-jadi, bahkan membuat keringat dingin mulai muncul. Kayla jadi panik, dia pun meminta sopir untuk mempercepat laju mobilnya.
Setibanya di rumah sakit, Kayla yang tubuhnya mulai melemah terus mencoba untuk berjalan dengan tangan yang bertumpu ke tembok, tapi saat dia berada di pintu unit darurat, tubuhnya ambruk dan menabrak seorang pria.
Dan dengan mata yang terbuka sedikit, Kayla menyadari bahwa pria itu memiliki wajah yang sama dengan Ethan.
???
Aroma obat. Kayla segera tahu di mana dirinya berada. Dan dia memang harus ingat itu. Dia pun membuka matanya dan hal pertama yang dilihatnya adalah cairan infus yang mengalir ke tangannya.
Kayla mulai bernapas lega. Dia beruntung bisa datang ke rumah sakit tepat waktu. Tubuhnya tidak terlalu lemah seperti sebelumnya, tapi sakit di perutnya masih terasa bahkan punggungnya mulai nyeri.
"Madame, anda baik-baik saja?" tanya perawat yang baru datang. "Akan saya panggilkan dokter."
Setelah perawat itu pergi, Kayla menekan perutnya dan dia lupa menanyakan apa yang terjadi kepada dirinya tadi.
Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu dibuka dan Kayla dapat menduga itu adalah dokter serta perawat yang tadi, tapi orang pertama yang dilihatnya adalah Ethan. Pria itu berpakaian serba hitam dengan mantel abu-abu, wajahnya tampak panik dan dia langsung berjalan ke arah Kayla. Kenapa Ethan ada di sini?
"Kamu kenapa ada di sini?" tanya Kayla langsung, dia bahkan berusaha untuk bangkit dan duduk untuk melihat Ethan.
Di belakang Ethan segera muncul dokter laki-laki dan perawat yang tadi.
"Bagaimana kondisi anda, Madame?" tanya dokter itu langsung.
"Masih sakit, apa saya baik-baik saja?" tanya Kayla dengan wajah cemas. Dia berdoa supaya ini hanya kram sementara dan tidak menyakitinya lebih lanjut.
"Maaf mengatakan ini, tapi setelah melakukan pemeriksaan, saya menyatakan bahwa anda mengalami keguguran."
Bagaikan disambar petir yang tidak ada tanda-tandanya, Kayla langsung dibuat diam. Pikirannya mendadak kosong, keningnya berkerut karena tidak mengerti dengan perkataan dokter ini. Dia beralih melirik Ethan dan wajah pria itu menjelaskan semuanya. Keguguran? Apakah pendengarannya tidak salah? Dia keguguran? Jadi...
"Kami akan melakukan prosedur kuretase karena---"
"Apa aku harus menjalaninya lagi?" tanya Kayla dalam bahasa Perancisnya. Dia tidak tahan karena itu. Dulu dia pernah mengalaminya dan kenapa dia harus mengalami hal yang sama lagi? Parahnya, sekarang dia tidak tahu bahwa dirinya sedang hamil dan membunuh janin yang sangat dia inginkan.
Kayla menangis, tapi isakannya tidak keluar dan dia berkata, "Apa aku harus menjalani kuretase lagi? Apa aku harus---"
"Kayla, tenang..."
"Bagaimana aku bisa tenang?" tanya Kayla tegas kepada Ethan yang memegang kedua pundaknya. "Aku pernah keguguran, Ethan. Dan sekarang, aku mengalaminya lagi. Ini pasti kesalahanku. Aku nggak menjaganya dengan baik, aku---" Kali ini isakannya keluar.
Ethan yang tidak tahan melihat Kayla menangis, akhirnya memeluk perempuan itu dan dia juga memberi tanda kepada dokter serta perawat untuk membiarkan mereka berdua dulu di sini.
Ethan terus mengusap punggung Kayla, membiarkan dia terus menangis. Tangannya berusaha untuk menenangkan Kayla, dan berdoa semoga ini tidak membuat Kayla dalam pikirannya yang sudah frustrasi dengan kelakuan suaminya.
Disaat Ethan berusaha menenangkannya, Kayla terus saja menangis. Dia benar-benar tidak tahu bahwa dirinya sedang hamil. Dia ceroboh dan mengakuinya hal itu. Seharusnya Kayla lebih peka dengan ini semua. Seharusnya dia tidak ceroboh ketika dia masih berhubungan dengan Ryan. Dia benar-benar bodoh.
Cukup lama Kayla dan Ethan berpelukan seperti itu. Hingga akhirnya Kayla bisa diam dan melepaskan diri dari Ethan. Kepalanya tertunduk, enggan menatap Ethan. Dia sangat buruk saat ini. Suaminya berselingkuh dan dia juga keguguran karena kecerobohannya.
"Apa kamu sudah mendingan?"
Kayla tidak memberikan respon apa pun. Tangannya sibuk menyentuh kuku jarinya yang bewarna.
"Kamu harus menjalani kuretase, Kayla. Itu akan membuat tubuhmu lebih baik."
Mendengar itu memberikan rasa kesedihan di hatinya. Kayla memejamkan matanya dan menatap wajah Ethan dengan matanya yang penuh air. "Aku bahkan tidak sempat melihat bentuknya..."
Kayla kembali bersedih. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menahan diri agar tidak terisak. Dia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya lagi di hadapan Ethan.
"Dia ada di hatimu, Kayla. Kamu tidak butuh wujud apa pun untuk melihatnya. Dia sekarang sudah kembali ke surga, dan dia pasti melihatmu sekarang. Kamu tidak harusnya menangis, kan? Dia akan sedih."
Kayla melepaskan tangannya, kemudian kembali menatap Ethan yang tersenyum ke arahnya.
"Kalau kamu menangis, kedua anakmu yang ada di surga akan menangis di sana. Apa kamu tega melakukan itu?"
Kayla membungkam bibirnya, mengusap air matanya dan terus menatap Ethan yang masih memberikan tatapan hangatnya. Pria itu kemudian mengusap puncak kepala Kayla, seolah itu akan membuatnya lebih tenang dan Ethan berhasil.
"Semua akan baik-baik saja, Kayla. Ingat, akan ada bahagia untukmu karena ini semua dan aku jaminkan itu untukmu."
"Apa kamu berpikir aku bisa bahagia setelah ini?" tanya Kayla penuh tatapan kepada Ethan.
Pria itu menganggukkan kepalanya dengan sangat yakin. Seolah Kayla akan mendapatkan bahagia yang lebih.
"Aku akan membantumu, Kayla. Aku akan membuatmu bangkit dan menjadikanmu perempuan yang berharga dibandingkan siapapun. Bahkan suamimu, dia akan tersiksa karena kamu. Aku akan mendukungmu, sepenuhnya."
"Ke-kenapa kamu melakukan ini kepadaku? Aku orang asing, Ethan. Dan sudah kukatakan, Ryan berada di tempat tertinggi yang bahkan sulit kucapai dengan menjadi istrinya."
"Karena aku menyukaimu, Kayla..."
Sama seperti saat Ethan menciumnya di elevator, Kayla sama terkejutnya dengan saat itu. Dia bahkan mengerutkan kening karena perkataan Ethan yang mengatakan bahwa dia menyukainya. Apa Ethan sedang mabuk?
"Kamu pikir, kenapa aku harus membantumu sampai sejauh ini? Dan saat di bar hotel, itu bukan kali pertama aku melihatmu. Bahkan saat kamu di Verdon Gorge, itu juga bukan yang pertama kalinya."
Kayla semakin bingung. Jadi di mana dan kapan pertama kalinya Ethan melihat dirinya sampai bisa mendeklarasikan dirinya menyukai Kayla?
Ethan tersenyum, seolah paham dengan pikiran Kayla, dan berkata, "Di kafe, Bandara Orly. Ingat?"
Kayla mencoba untuk mengingatnya. Apakah itu saat dia kabur ke Verdon Gorge karena mendapati Ryan berselingkuh? Tapi itu bahkan tidak lama. Kayla benar-benar tidak paham dengan ini.
"Jadi maksudmu, kamu sudah menyukaiku saat itu? Apa kamu bercanda?"
Ethan menanggapinya dengan sebuah senyuman yang membuat Kayla kesal. "Apa ada alasan kenapa aku harus bercanda tentang itu? Apa kamu tidak pernah merasakan cinta pada pandangan pertama?"
Kayla langsung menggelengkan kepalanya. "Aku tidak pernah, karena kupikir itu sangatlah gila. Bagaimana bisa seseorang mencintai orang yang baru pertama kali dia lihat. Aku saja butuh waktu untuk mencintai Ryan, padahal dia..." Kayla seolah enggan meneruskannya.
Terdengar helaan napas Ethan dan pria itu berkata, "Semua orang berbeda, Kayla. Aku awalnya tidak menganggap serius perasaanku, tapi saat aku melihatmu lagi di Verdon Gorge, di bar, bahkan sampai membantumu, aku pikir ini benar-benar luar biasa."
Kening Kayla berkerut. "Luar biasa? Apa bagimu ini luar biasa?"
Ethan menganggukkan kepalanya. "Bagiku ini sangat luar biasa. Aku melihatmu di kafe, pikiranmu kosong, bahkan saat di Verdon Gorge. Aku sepintas tahu bahwa kamu memiliki masalah terbesar dalam hidupmu dan aku tampak luar biasa karena bisa menjadi seseorang yang bisa membantumu, Kayla."
Kayla mendadak pusing mendengar ini. Dia bahkan memegang kepalanya yang mulai sakit.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Ethan cemas.
Kayla tidak menjawab, tapi dia mulai bertanya, "Lalu apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya kamu sedang bekerja?"
"Aku ada urusan di sini."
"Urusan apa? Aku tidak mengerti kenapa dari sekian banyak orang, aku bertemu denganmu dalam waktu dan tempat seperti ini. Ini sangat kebetulan untukku, Ethan."
"Apa kamu berpikir aku merencakannya?"
"Bukan itu maksudku, hanya saja ini---"
"Terlalu kebetulan. Aku bisa mengerti, tapi aku memang benar ada urusan di sini. Nice bukan kota baru untukku, dan aku berada di sini lebih lama dari Paris. Jika kamu berpikir aku mengikutimu, itu salah besar, Kayla. Aku bahkan tidak tahu informasi pribadimu dan sebagainya, bagaimana aku bisa melakukan itu semua? Yah, kecuali---"
"Oke, aku minta maaf karena menyinggungmu," sela Kayla langsung. Dia juga merasa bersalah karena berkata seperti itu seolah dia menuduhkan hal-hal yang buruk kepada Ethan.
"Aku tidak tersinggung, aku hanya menjelaskan. Baiklah, kamu sebaiknya istriahat, aku akan bicara dengan dokter."
Ethan langsung pergi dan Kayla kembali sendirian dengan pikirannya. Napasnya perlahan berhembus dan Kayla baru menyadari bahwa mengobrol dengan Ethan membuatnya lupa akan apa yang terjadi kepadanya.
Tangannya perlahan bergerak ke atas perut dan Kayla berkata, "Maafkan Ibu, Nak. Karena Ibumu yang lemah, kamu harus pergi sebelum benar-benar melihat dunia. Maafkan Ibu..."
???
Setelah Kuretase, Kayla ditempatkan di kamar kelas satu atas permintaan Ethan. Kayla sudah menolaknya dan sebaiknya di kamar biasa saja, tapi Ethan tidak mengindahkan perkataannya dan malah menempatkannya di bangsal VVIP.
Dan sekarang Kayla tidak tahu pria itu ada di mana. Kayla sendirian di sini, di rumah sakit yang hanya Kayla ketahui sebagai tempat Allisa bekerja.
Kayla sudah mendingan saat ini, tapi Kayla merasa pengap ada di ruangan ini. Dia sangat ingin keluar dan menghirup aroma yang lebih segar daripada aroma obat-obatan di ruangan ini.
Akhirnya, mengabaikan kondisinya yang harus istirahat dengan ekstra, Kayla berusaha turun dari ranjang dan keluar dari kamarnya untuk menghirup udara yang dia inginkan.
Perlahan, dia berjalan di lorong dengan mengenakan pakaian rumah sakitnya menuju atap rumah sakit seraya membawa ponsel yang akan dia gunakan untuk menghubungi Allisa. Setibanya di atap, nanti dia akan memberitahu Allisa bahwa dirinya ada di sini dan menceritakan apa yang terjadi kepadanya.
Saat Kayla tiba di pintu, dia membukanya secara perlahan dan sebuah suara membuatnya menghentikan langkahnya. Dia mengerutkan kening, seolah kenal dengan suara itu. Akhirnya, Kayla memberanikan dirinya untuk melihat siapa itu.
Itu Ryan dan Allisa.
PLAK
Kayla terkejut dan dia langsung saja membungkam mulutnya yang hampir berteriak karena melihat Ryan dipukul oleh Allisa. Apa yang mereka lakukan di sana?
"Putuskan hubunganmu dengannya, Ryan Ganendra!"
"Aku sudah melakukannya!" teriak Ryan kepada Allisa dengan wajahnya yang merah padam.
"Tapi kamu masih dengan gilanya menemuinya dan berpelukan di hadapan Kayla, begitu?!" Allisa balik meneriakinya dan perempuan itu tampak frustrasi. "Aku benar-benar tidak percaya kamu bisa menyakitinya seperti ini."
"Semua sudah berakhir, Kayla akan menceraikanku."
"Dan kamu akan membiarkannya? Dia sedang hamil, Ryan!" Allisa kembali berteriak dan perkataannya itu sontak membuat Ryan terkejut. "Kamu terkejut, kan? Aku juga. Aku bahkan tidak tahu harus mengatakan apa kepadanya. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak ingin menyakitinya lebih."
"Apa kamu sudah yakin kalau Kayla hamil?" tanya Ryan.
Allisa menganggukkan kepalanya. "Aku merasa ada yang aneh saat memeriksanya, jadi aku mengambil darahnya dan memeriksanya. Hasilnya sudah keluar dan benar jika Kayla hamil."
"Jadi..."
"Ambil kembali hati Kayla yang sudah kamu hancurkan dan segera putuskan hubunganmu dengannya. Jika Kayla tahu dengan siapa kamu berselingkuh, dia akan lebih tersakiti, apalagi ketika dia tahu aku mencoba untuk menyembunyikan hubungan kalian selama ini."
Sekali lagi Kayla dibuat terkejut. Dia bahkan tidak melepaskan tangannya yang membungkam mulutnya dan terus saja bergetar dengan apa yang baru saja dia ketahui. Allisa tahu bahwa Ryan selingkuh dan dia bahkan berusaha menyembunyikan itu darinya. Tapi kenapa? Kenapa Allisa melakukannya setelah apa yang dia katakan sebelumnya? Allisa tampak ingin membunuh Ryan dan selingkuhannya, tapi kenapa dia berusaha melindungi mereka? Sebenarnya siapa perempuan itu?!
Kayla benar-benar tidak mengerti. Dia pun membalikkan tubuhnya dan pergi setelah membuat suara yang bisa membuat mereka berdua tahu jika ada seseorang di sini. Dan Kayla tidak peduli. Dia terus saja berlari turun ke lantai kamarnya sampai akhirnya dia bertemu dengan Ethan yang sepertinya sedang panik mencari keberadaannya.
"Kamu dari mana saja?" tanya Ethan khawatir.
Kayla tidak menjawabnya. Dia langsung menarik tangan Ethan ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Itu sukses membuat Ethan bingung.
"Kayla, ada apa?"
Kayla menggigit bibirnya, dan kepalanya masih tertunduk lemas memikirkan apa yang baru saja dia ketahui. Ternyata Allisa tidak bisa dia andalkan. Dari apa yang Kayla dengar, Allisa lebih memilih membohonginya dan membiarkannya berpikir siapa selingkuhan Ryan. Ini menandakan bahwa dia hampir kehilangan kepercayaannya kepada Allisa.
Sejak awal Allisa sudah tahu dan dia berlagak seolah tidak tahu, serta berusaha melindunginya. Bahkan dengan membohongi Kayla seperti ini, Allisa harusnya sadar jika itu hanya akan menyakiti Kayla.
"Kayla, kamu baik-baik saja?"
Kini Kayla tidak memiliki sandaran lain lagi, kecuali satu orang yang sepertinya sangat peduli dengannya. Dia mengangkat kepalanya, menatap Ethan dengan air mata yang turun dan membuat pria itu khawatir.
"Apa kamu bisa membantuku? Apa kamu bisa membuatku menghilangkan semua rasa sakit ini, Ethan?"
Ethan diam saja, tapi wajah pria itu masih menunjukkan rasa kasihan dan pedulinya. Kayla pun cukup terbuai akan hal itu sampai akhirnya dia terisak.
"Aku ingin menghilangkan sakit ini. Aku ingin membuat mereka menderita karena sudah membunuh anakku, tapi aku tidak mampu, Ethan. Aku tidak mampu, mereka terlalu kuat. Baik Ryan maupun Allisa, mereka adalah seseorang yang tidak bisa kulawan. Aku berada sangat jauh dari mereka..."
Isakan Kayla semakin keras, dia bahkan menutup wajahnya dengan tangan dan terus-menerus menangis.
"Sudah kukatakan aku bisa membantumu, Kayla..."
Mendengarkan itu, Kayla melepaskan tangannya dari wajah dan menatap Ethan sekalu lagi dengan wajah yang penuh air mata.
Melihat bagaimana kacaunya Kayla, Ethan mengambil tisue yang ada dan mengusap air mata yang memenuhi wajah Kayla tersebut. Dia bahkan tidak lupa untuk membersihkan rambut Kayla yang sedikit berantakan.
"Jika kamu ingin menghancurkan mereka, aku bisa melakukannya untukmu."
"Tapi dengan apa?" Kayla mulai bertanya.
"Kamu akan tahu setelah kamu setuju untuk melakukannya. Jadi, apa kamu mau membiarkanku membantumu?"
Kayla tidak langsung menjawab, dia memikirkan itu terlebih dulu. Dia tidak tahu dengan cara apa Ethan akan melawan Ryan, tapi jika dilihat bagaimana yakinnya Ethan, Kayla bisa berpikiran bahwa di kepalanya terdapat rencana yang pasti akan membuat rasa sakitnya menghilang.
"Apa kamu yakin bisa membuatku menghilangkan rasa sakit ini?"
"Aku sangat yakin, Kayla."
Kayla akhirnya mengembuskan napasnya, kemudian dia berkata, "Aku mau."