Sejak dirinya bangun tidur sampai check out dari hotel, Kayla tidak bisa menghentikan pikirannya perihal ciuman yang Ethan berikan semalam. Pasalnya, setelah menciumnya dengan cara paling mendadak, pria itu langsung tersenyum kepadanya dan pergi meninggalkannya sendiri di elevator menuju kamarnya.
Sejak saat itu, Kayla tidak lagi melihatnya, bahkan saat dirinya berada di lobi untuk mengembalikan kunci kamar, dia tidak bisa melihat batang hidung Ethan.
Jika dipikirkan, dia dan Ethan baru berkenalan selama 24 jam dan pria itu sudah menciumnya dalam jangka waktu tersebut seraya meninggalkan kebingungan padanya. Bahkan mereka tidak pernah bertukar nomor telepon sejak perkenalan. Ini jelas merupakan hubungan singkat yang seharusnya tidak ditutup oleh sebuah ciuman.
"Madame, ada yang bisa saya bantu lagi?"
Lamunan Kayla buyar. Dia segera tersenyum kepada pelayan wanita yang menjaga resepsionis dan memberikannya sebuah tas belanjaan. "Bisa berikan ini kepada Ethan?"
Kayla bermaksud untuk mengembalikan mantel yang sudah Ethan belikan untuknya. Dia juga tidak sempat mendapatkan nomor rekening Ethan, sehingga dia harus mengembalikan mantel ini.
"Baik, akan saya kirimkan. Apa ada pesan yang harus saya sampaikan?"
"Tidak ada," jawab Kayla.
"Baiklah, terima kasih sudah menginap di hotel kami, Madame. Semoga perjalanan anda menyenangkan."
"Terima kasih." Kayla kemudian menarik kopernya dan keluar dari hotel seraya memegang ponselnya untuk menghubungi Allisa bahwa dirinya akan ke Nice. Sebenarnya dia masih kesal pada Allisa, tapi karena dia sudah memesan tiket ke sana, akhirnya Kayla memutuskan untuk mengunjunginya.
Saat dia menghubungi Allisa, perempuan itu tak kunjung mengangkat ponselnya. Membuat Kayla yang sudah kesal kepadanya semakin kesal. Kenapa Allisa mendadak tidak bisa dijadikan sandaran seperti ini?
"Madame, mobilnya sudah siap."
"Terima kasih---"
Perkataan Kayla terhenti ketika dia melihat gerombolan pria berpakaian serba hitam masuk melewatinya menuju resepsionis. Dia sontak membalikkan dirinya untuk melihat pria-pria berkacamata itu dan penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
"Madame?"
"Eh, iya..." Karena tidak ingin membuat sopir menunggu, akhirnya Kayla memutuskan untuk tidak peduli dengan itu dan masuk ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan, Kayla memilih untuk tidur karena semalam dia tidak bisa tidur. Lagipula akan aneh jika seandainya dia tidur nyenyak setelah mendapatkan ciuman dari pria lain seperti itu, sedangkan dirinya masih berstatus sebagai istri Ryan.
"Duh, tidur, Kay. Jangan pikirin itu lagi," pintanya pada diri sendiri.
Akhirnya Kayla pun memutuskan untuk tidur sampai akhirnya dia tiba di Nice dalam jangka waktu tiga jam karena tadi ada kemacetan yang menyebabkan terlambat sekitar 30 menit. Setelah mengucapkan terima kasihnya, Kayla langsung saja masuk ke dalam apartemen yang dimiliki Allisa.
Dia mengetahui dengan baik Nice karena dia pernah ke sini beberapa kali untuk sekadar menjenguk Allisa. Setelah menekan bel, Allisa langsung saja muncul dengan wajah terkejutnya.
"Aku tidak butuh wajah terkejutmu itu," ujar Kayla sambil masuk ke dalam apartemen Allisa dengan membawa kopernya. "Aku lelah setelah perjalanan jauh, bangunkan aku saat makan malam saja."
"Kayla..."
Kayla mengembuskan napasnya dan tersenyum kepada Allisa. "Aku akan ada di sini selama dua hari, setelahnya aku akan pulang ke Indonesia. Proses perceraian harus segera kulakukan."
"Kamu akan bercerai?" tanya Allisa terkejut.
Kayla menganggukkan kepalanya. "Aku tidur dulu." Lalu dia mulai menarik kopernya ke kamar tamu yang biasa dia gunakan.
Setelah masuk ke kamar itu, Kayla meletakkan koper dan tasnya, kemudian berbaring di ranjang dengan mata yang terpejam. Dia harus tidur, karena kemungkinan besar, dia butuh tenaga untuk bercerita kepada Allisa nantinya.
Setelah berjam lamanya tidur, Allisa benar membangunkannya saat makan malam. Kayla pun bangun dan langsung membersihkan dirinya agar tubuhnya menjadi kian segar.
Saat dia keluar dari kamar, Allisa sedang sibuk menyiapkan makanan untuknya dan Kayla langsung saja duduk seraya menyantap makanan itu perlahan.
"Kamu serius mau cerai?" Itu pertanyaan yang Allisa ajukan ketika perempuan itu duduk di hadapannya.
Kayla hanya menganggukkan kepalanya seraya mengisi perutnya yang kosong. "Ryan udah ngaku kalau dia selingkuh."
"s**t!" teriak Allisa seketika.
Kayla yang mendengar teriakan Allisa hanya bisa tersenyum dan melanjutkan makannya.
"Kayla, kamu nggak apa-apa?"
Gerakan Kayla mengambil nasinya terhenti. Dia kemudian menolehkan kepalanya untuk menatap Allisa. "Apa aku terlihat buruk?"
Allisa langsung menggelengkan kepalanya. "Tubuhmu tidak kurus dan matamu tidak memerah, kamu masih baik-baik saja dalam hal penampilan. Tapi apakah hatimu baik-baik saja dengan ini semua?"
Kayla tersenyum. "Tidak ada hati yang baik-baik saja setelah mengetahui perselingkuhan suaminya, Allisa." Lalu dia berlanjut menyantap makanannya lagi.
"Lalu kenapa kamu masih di sini dan tidak membunuh b******n itu?"
"Jika aku membunuhnya, maka aku hanya akan menghancurkan kehidupanku dan keluargaku."
"Kayla..."
Kayla masih tersenyum dan meletakkan tangannya di atas tangan Allisa. "Menceraikannya mungkin akan membuatnya menang, tapi itu lebih baik daripada aku harus kalah karena dihancurkan sehancur-hancurnya."
"Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan untukmu. Jika kamu ingin aku membunuhnya, aku bisa saja menyuntikkan sesuatu ke tubuhnya yang akan membuatnya kesakitan sebelum kematian mendatanginya."
Kayla tersenyum lebar dan dia berusaha untuk mengingatkan Allisa bahwa itu hanya akan merugikan mereka berdua.
"Tinggallah di apartemenku sementara kamu mengurus dokumen perceraian kalian."
Kayla langsung menolaknya dan berkata, "Aku harus tinggal di rumah dan mengabdi sebagai menantu sebelum aku keluar. Aku tidak ingin membuat keluarganya dan keluargaku tahu terlebih dulu. Biarkan saja mereka tahu setelah proses persidangan dimulai."
Mendengarkan rencananya yang sudah diatur itu, Allisa mengembuskan napasnya dan berkata, "Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini semua?"
Kayla menganggukkan kepalanya. "Selama itu, aku akan mencari pekerjaan dengan ijazahku. Aku tidak ingin hanya bergantung pada tunjangan yang akan Ryan berikan."
"Yeah, itu rencana yang baik. Aku akan membantumu, akan kuhubungi Papa---"
"Tidak perlu, Allisa. Aku akan melakukannya dengan usahaku sendiri," potong Kayla.
"Kamu serius?" tanya Allisa.
Kayla sekali lagi menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, Kayla Anastasia adalah perempuan yang kuat. Aku percaya kamu bisa melalui ini."
Kayla hanya tersenyum. Dia berdoa supaya ini semua bisa terselesaikan dengan baik. Meskipun ada sedikit keraguan di hatinya, tapi Kayla akan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.
???
Setelah makan malam dan menghabiskan waktu untuk bercakap dengan Allisa, Kayla memutuskan untuk kembali ke kamar dan mengecek ponselnya yang dia tinggalkan tadi untuk diisi dayanya.
Hal pertama yang dilihatnya adalah pesan yang dikirimkan Ryan. Enggan untuk membacanya, dia memilih untuk mengabaikan pesan itu dan berjalan ke lemari untuk mengambil mantel cokelatnya.
Dia akan berjalan-jalan sebentar ke supermarket yang letaknya tidak jauh dari apartemen Allisa. Di apartemen Allisa, camilannya sudah habis dan dia membutuhkannya untuk mengatasai kebosanannya nanti. Dia juga berencana untuk membeli sebotol wine.
Setibanya di sana, Kayla langsung mengambil troli dan mulai mengambil apa saja yang dibutuhkannya. Setelah membayar di kasir, dia membawa belanjaannya seraya membuka permen yang dia beli di depan kasir. Sambil menikmati pepohonan yang sudah gugur, Kayla berjalan dengan earphone di telinganya dan menghirup udara segar Nice yang tidak kalah dingin dari cuaca di Verdon Gorge.
Seraya menikmati momen yang sedikit bisa menenangkan perasaannya, Kayla tidak sengaja melihat sebuah performa penyanyi jalanan. Dia pun tersenyum, melepaskan earphone yang digunakannya dan berlari ke arah pemuda itu. Pemuda perancis itu dengan berbakatnya mulai menampilkan lagu dari Lewis Capaldi yang ditemani dengan petikan gitarnya.
Kayla mendengarkan suara merdunya dengan saksama dan entah mengapa itu malah membuatnya mengingat Ryan. Dia baru menyadari bahwa lagu cinta seperti ini tidak baik untuk perasaannya yang kacau.
"Permainan gitarnya tidak sebaik permainanku, tapi suaranya lumayan."
Lamunan Kayla buyar. Dia buru-buru menolehkan kepalanya ke sumber suara dan melihat Ryan sudah berdiri di belakangnya, lengkap dengan mantel bewarna cokelat. Kayla mengerutkan keningnya dan heran mengapa Ryan bisa berada di sini.
"Jangan melihatku seperti itu, aku baru saja tiba di Nice dan langsung mencarimu di sekitar sini."
Sialan, ini kesalahannya karena tidak menonaktifkan ponselnya. Dia akhirnya memutuskan untuk pergi dan tidak akan berbicara dengan Ryan. Keputusannya untuk bercerai sudah bulat dan dia tidak akan membiarkan Ryan mengubah keputusannya itu.
"Aku sudah memesan tiket ke Indonesia besok malam. Tiketnya sudah kuberikan kepada Allisa tadi."
Kayla terus berjalan dan mengabaikan Ryan. Dia bahkan tidak peduli dengan tiket itu. Dia akan pulang kapanpun dia ingin. Sekarang, dirinya tidak akan bisa diatur lagi oleh Ryan.
"Kayla..." Ryan berlari dan berhenti di hadapan Kayla, sampai membuat perempuan itu menghentikan langkahnya.
Kayla memalingkan wajahnya ke jalanan Kota Nice yang indah, berusaha untuk mengabaikan Ryan. Melihat wajah suaminya itu hanya akan membuat emosinya memuncak.
"Bisakah kita membicarakan ini baik-baik. Minggu depan adalah perayaan ulang tahun Mama dan aku tidak ingin memperlihatkan masalah ini kepadanya. Aku mohon, Kayla."
Kayla menggigit bibirnya dan menatap Ryan tajam. "Apa kamu pernah sekali saja memikirkan perasaanku?"
Kayla heran. Disaat dirinya membutuhkan Ryan paham akan perasaannya, pria di hadapannya ini lebih mementingkan perasaan orangtuanya. Oke, Kayla tahu Ryan adalah anak yang berbakti, tapi tidak bisakah Ryan sedikit saja memperlihatkan kepeduliannya terhadap perasaan Kayla yang sudah hancur?
"Kamu bahkan tidak pernah peduli dengan itu. Yang kamu khawatirkan bukanlah hancurnya pernikahan ini, melainkan orangtuamu."
"Kayla, bukan itu maksudku---"
"Kalau kamu tidak punya keberanian untuk memberitahukannya kepada orangtuamu, biarkan aku yang akan melakukannya."
Kayla langsung berjalan melewati Ryan dari sisi kanannya. Kali ini dia berjalan cepat, dengan maksud supaya dia segera tiba di apartemen Allisa. Namun, tiba-tiba saja hujan mulai turun. Meski tidak sederas saat di Verdon Gorge, hujan ini tetap mampu membuatnya basah. Musim gugur memang harus siap dengan hujan yang terus turun.
Tidak ingin kebasahan, Kayla langsung berlari menuju terminal untuk berteduh. Setibanya di sana, dia langsung duduk dan mengelap pakaiannya yang basah dengan tisue yang dia beli tadi.
Beruntung hujan malam ini tidak terlalu deras dan sepertinya juga tidak akan bertahan lama. Kayla melihat jam di ponselnya dan berharap hujannya akan berhenti sebelum pukul sebelas malam.
Seraya menunggu hujan reda, Kayla mengeluarkan ponselnya dan langsung dihadapkan oleh panggilan Ryan. Kayla hanya melihatnya, tidak berniat untuk mengangkat panggilan itu.
Setelah cukup lama berdering, Ryan menyerah untuk memanggilnya kembali dan Kayla lega akan hal itu. Dia pun memasukkan ponselnya ke dalam saku dan melihat rintik hujan yang turun membasahi kota ini. Hujan yang turun ini perlahan memberikan rasa dingin yang teramat pada tubuh Kayla. Dia menyesal rasanya tidak menggunakan dua lapis pakaian. Pakaian yang dia gunakan saat ini hanyalah kaos panjang yang dilapisi mantel saja.
Karena merasakan tangannya yang dingin, dia pun memasukkannya ke dalam saku mantel dan merapatkan kedua kakinya supaya tidak kedinginan. Saat Kayla melakukan itu semua, kedua matanya langsung berhadapan dengan mata Ryan yang saat ini berada di mobil bersama dengan pengawal pribadinya.
Cukup lama mereka berdua saling berpandangan, sampai akhirnya Kayla memalingkan wajahnya dan Ryan pergi meninggalkannya sendirian. Menyadari bahwa Ryan benar-benar tidak peduli dengannya membuat perasaan Kayla semakin tertusuk. Dia terus bertahan untuk tidak menangis di terminal ini dan menundukkan kepalanya supaya tidak dianggap gila oleh beberapa orang yang juga sedang menunggu hujan reda.
Satu jam telah berlalu. Kayla menunggu selama itu dan saat itu juga hujan sudah mulai reda. Karena berpikir hujan tidak akan membasahi tubuhnya, Kayla memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya.
Setibanya di apartemen Allisa, dia langsung menemukan sebuah memo di depan pintunya yang tertulis bahwa Allisa harus ke suatu tempat. Kayla tidak peduli dengan itu dan langsung masuk ke dalam kamarnya.
Dia melepaskan mantel dan mengganti pakaiannya, kemudian naik ke ranjang dan mulai membuka wine yang dibelinya. Sambil menonton televisi yang menyiarkan acara Perancis, dia juga membuka camilannya dan menonton dengan nyaman.
Hal yang dilakukannya itu berlangsung selama beberapa menit dan Kayla mulai bosan. Acara di televisi tidak ada yang menarik. Kayla pun turun dari ranjangnya dengan gelas wine yang entah sudah ke berapa, lalu keluar dari kamar dan berjalan menuju balkon apartemen.
Cuaca dingin langsung menusuk tubuh Kayla, apalagi sisa-sisa dingin dari hujan masih tersisa. Seraya memandangi pemandangan Kota Nice yang menenangkan, dia terus meminum wine-nya sampai wajahnya memerah.
Ketika pikirannya sudah kosong, Kayla mulai menunjukkan kelemahannya lagi. Satu tetes air matanya langsung turun. Wajahnya yang merah akibat alkohol kini dipadukan dengan mata yang juga memerah karena menahan sakit.
Dia akhirnya mengembuskan napas dan menenggak habis wine-nya. Lalu dia meletakkan gelasnya di meja bundar yang ada di sana dan kini kedua tangannya bebas mencengkeram besi balkon yang super dingin.
Kayla jadi teringat perkataan Ethan. Matilah jika dia menginginkannya. Apakah Kayla harus mati dulu untuk menghentikan rasa sakitnya ini? Mau bagaimanapun dia bertingkah dalam menghentikan sakit yang dirasakannya, itu tidak dapat terjadi. Seolah sakit yang diberikan Ryan adalah sakit permanen dan satu-satunya cara untuk menghilangkan sakit itu adalah dengan kematian.
Tapi untuk saat ini Kayla tidak ingin mati. Jauh di dalam hatinya dia masih ingin mengetahui siapa jalang yang sudah merebut hati suaminya itu. Tangannya gatal ingin mendaratkan tamparan di wajahnya. Tapi ini semua penuh teka-teki, seolah Kayla diminta untuk mencaritahu siapa perempuan itu.
Perempuan itu terlihat lebih tinggi dibandingkan dirinya. Saat Kayla berhadapan dengan Ryan, tingginya hanya sebatas d**a Ryan, sedangkan perempuan di foto itu tingginya di atas bahu Ryan. Tapi tidak dapat dipastikan apakah itu tinggi aslinya. Tidak terlihat apakah ada high heel yang digunakannya. Kayla harus berusaha memastikannya lebih jauh.
Lalu untuk fisik lainnya, perempuan itu langsing dan rambutnya panjang bergelombang. Untuk warnanya, jelas itu bukan warna hitam.
Setelah memikirkan kemungkinan fisik perempuan itu, Kayla harus bertemu dengan perempuan-perempuan yang ada di sisi Ryan. Dia harus memastikan itu semua.
Akhirnya Kayla pergi dari balkon apartemen dan masuk ke dalam kamarnya. Dia harus menemui seseorang yang mungkin berada dekat di sini. Dia mencari nomor telepon Erica dan menghubunginya.
"Halo, Bu Kayla..."
"Erica, apa kamu ada di Nice juga?"
"Benar, Bu, saya akan terus mendampingi Tuan untuk membahas proyek besar yang sekarang ditangani."
"Kalau begitu bisakah kita bertemu? Akan kukirimkan lokasinya setiba aku di sana."
"Sekarang, Bu?"
"Iya sekarang."
"Baik, Bu."
Setelah itu Kayla kembali mengganti pakaiannya dan mengambil mantel beserta dompetnya. Dia keluar dari kamar dan apartemen, kemudian mencari taksi sekitar apartemen. Setelah menemukannya, dia langsung diantarkan ke sebuah kafe yang pernah dia datangi bersama Allisa.
Setibanya di sana, dia langsung memesan segelas air putih. Dia sudah minum beberapa gelas wine tadi di apartemen, dan dia tidak ingin semakin membuatnya mabuk. Dia takut kehilangan kendali jika berbincang dengan Erica nanti.
Tidak butuh waktu lama menunggu Erica datang. Perempuan itu muncul dengan kaos putih yang dipadukan jeans dan dilapisi dengan mantel cokelat yang panjang. Tubuh Erica langsing, Kayla selalu tahu itu. Dan rambutnya ... Kayla memperhatikan rambut Erica yang bewarna pirang, hanya saja dia tidak tahu apakah rambut itu bergelombang atau tidak karena dia mengikatnya menjadi satu yang memperlihatkan tengkuknya dengan bebas. Dan juga, Kayla mulai menyadari jika Erica tipe yang suka gonta-ganti model rambut.
"Maaf membuat anda menunggu, Bu."
Kayla tersenyum. "Tidak apa-apa. Kamu ingin pesan apa?"
"Tidak, Bu. Saya harus lembur malam ini."
"Bahkan saat kamu di negara orang pun, Ryan masih menyulitkanmu," ujar Kayla seraya meminum air putihnya.
"Itu sudah pekerjaan saya, Bu. Lagipula Pak Ryan berjanji akan memberikan cuti untuk saya setelah proyek ini selesai."
"Cuti?" Kening Kayla berkerut, bertanya cuti seperti apa yang Erica lakukan.
"Iya, Bu."
"Cuti berlibur?" tanya Kayla untuk memastikan.
Erica hanya tersenyum dan berkata, "Tidak, Bu. Saya akan segera menikah dan bisa dipastikan acaranya berlangsung setelah saya menyelesaikan proyek ini."
Kayla cukup terkejut. Erica akan menikah dan dia malah berpikir bahwa perempuan di hadapannya ini adalah selingkuhan Ryan. Kayla tersenyum. "Aku benar-benar tidak tahu, Ryan tidak membicarakannya kepadsku sama sekali."
"Anda tahu bagaimana beliau, Bu. Pak Ryan sangat profesional. Mungkin pernikahan saya tidak sepenting itu sampai harus diceritakan kepada anda."
"Jangan seperti itu," ralat Erica sambil meminum kembali minumannya. "Kamu sudah menjadi sekretaris Ryan selama tiga tahun. Dia harus memperlakukanmu dengan baik. Begini saja, jangan lupa berikan undangan pernikahanmu, akan kupastikan kamu mendapatkan hadiah pernikahan terbaik."
"Terima kasih, Bu. Saya sangat menghargainya."
"Itu memang yang harus kulakukan."
Jika sudah seperti ini, apakah berarti Kayla harus pergi menemui Renata? Dia mendadak curiga pada Renata. Jika dibandingkan Erica, perempuan itu lebih memiliki kemungkinan besar untuk menjadi selingkuhan Ryan. Tapi sama dengan Erica, Renata juga akan segera menikah meskipun dia hanya akan melangsungkan pertunangan terlebih dulu.
"Ngomong-ngomong, ada apa sampai Bu Kayla memanggil saya ke sini?"
Kayla hampir saja melupakan Erica. Dia tersenyum dan berkata, "Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Apa yang kamu lakukan saat tanggal 17 Desember kemarin?"
"Tanggal 17?"
"Iya."
Kayla melihat Erica dengan saksama. Dia memperhatikan wajah perempuan itu dengan saksama.
"Saya mendapatkan telepon dari Pak Ryan tanggal 16 dan siangnya saya langsung berangkat ke Bandara untuk ke Paris. Lalu saya tiba tepat di tanggal 17, Bu."
"Lalu?"
"Saya langsung ke hotel dan mulai mengurus dokumen yang akan di---"
"Sudah, kamu tidak perlu menjelaskannya lagi."
"Apa ada masalah, Bu?"
Kayla tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, maaf karena sudah menghabiskan waktumu seperti ini."
"Tidak apa, Bu. Saya adalah bawahan Pak Ryan dan anda adalah istri tersayangnya. Saya harus memperlakukan anda layaknya perlakuan saya kepada Pak Ryan."
Kayla tersenyum mengejek. Istri tersayang yang diselingkuhi. "Aku menghargai itu, Erica."
Perbincangan berlangsung dalam hitungan menit. Erica yang harus lembur memgerjakan pekerjaannya, memutuskan untuk kembali ke hotelnya. Sedangkan Kayla, dia memutuskan untuk tetap diam di kafe seraya menenggak habis minuman air putihnya.
Air putih yang diminumnya tidak terlalu menghilangkan rasa mabuknya. Kayla yang wajahnya memerah akhirnya beranjak dari tempatnya diam dan pergi keluar seraya mencari taksi.
Setelah menemukannya, dia langsung masuk dan diminta untuk diantarkan ke apartemen Allisa.
Akan tetapi, saat dirinya sedang berada dalam perjalanan, dia melihat mobil yang mirip milik Ryan berhenti di pinggir jalan. Bukan hanya itu, dia juga melihat seorang pria yang dia kenali sebagai Ryan sedang berdiri di hadapan mobilnya dengan seorang perempuan.
"Pak, berhenti!" seru Kayla cepat.
Sopir taksi itu langsung memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang jaraknya beberapa langkah dari tempat Ryan dan perempuan itu berdiri.
Buru-buru Kayla membayar sopir itu dan keluar dari sana dengan jantung yang terus berdetak dengan kencang. Perlahan dia berjalan ke arah Ryan dengan kedua tangan yang terkepal.
Langkah kakinya menjadi semakin pelan ketika penglihatannya sudah menampakkan Ryan dengan jelas. Dia terus berjalan dan terus memperhatikan penampilan perempuan yang ada di hadapan Ryan.
Akan tetapi, gerakannya berhenti ketika dia melihat Ryan memeluk perempuan itu dengan tiba-tiba. Kayla yang menahan hatinya karena melihat itu, malah membalikkan tubuhnya dan membiarkan punggungnya saja terlihat.
Dia bodoh. Seharusnya Kayla tidak diam saja di sini dan merasakan sakit karena pelukan suaminya itu. Seharusnya Kayla mendatangi mereka, menjambak rambut perempuan itu dan membunuh mereka berdua secara bersamaan. Seharusnya Kayla memberanikan diri untuk melakukan itu semua dan melihat siapa jalang yang sudah mengambil hati suaminya.
Namun, Kayla tidak memiliki kuasa untuk itu. Hatinya menolak untuk melakukan itu. Kayla takut bahwa jika dia melakukan itu semua, maka hatinya akan semakin hancur. Dia sudah menahan dirinya sampai sekarang dan dia tidak bisa mendapatkan sakit yang lebih parah malam ini.
Pada akhirnya Kayla sudah membiarkan dirinya kalah. Dengan pelan dia melangkahkan kakinya kembali menuju taksi yang tadi ditumpanginya. Di sela isak tangis yang ditahannya, ada tangan yang terkepal erat. Dia terus melangkahkan dirinya menjauhi Ryan dan perempuan itu, tapi kakinya yang lemah dan dirinya yang mabuk membuat tubuhnya sempoyongan. Kayla menahan dirinya pada sebuah mobil dan hampir saja jatuh karena itu.
Seseorang yang sedang berdiam di dalam mobil itu perlahan membuka pintunya dan langsung membantunya berdiri tegak. Kayla melihat perempuan paruh baya itu dengan mata yang buram karena air matanya.
"Are you okay?" tanyanya dalam bahasa Inggris.
Kayla memejamkan matanya, lalu dia menggelengkan kepala seraya berkata, "Apa aku terlihat baik-baik saja?" Dia tidak sengaja merespon perkataannya dalam bahasa Indonesia.
"Kamu bisa bahasa Indonesia?" tanya wanita itu lagi.
Kayla tidak menjawab. Dia hanya diam saja dan berusaha untuk menegakkan tubuhnya sendiri. Dia tidak mau terus meratapi sakit yang dia derita di sini. Dia harus ke apartemen Allisa dan menangis di dalam kamar semalaman.
"Nona..."
Wanita itu terus memanggil, tapi Kayla tidak meresponnya. Dia terus berjalan dengan kakinya yang lemah, sampai akhirnya dia merasakan tubuhnya akan ambruk.
Kayla tidak bisa menahannya lagi. Dia berhenti melangkahkan kakinya dan sekali lagi bertumpu pada mobil yang terparkir di sisi trotoar.
"Nona, kamu baik-baik saja?"
Wanita yang tadi membantunya itu terdengar berteriak dan berlari kepada Kayla. Bukan hanya wanita itu saja yang berlari, melainkan beberapa pria berpakaian hitam yang tampak melindungi wanita itu.
"Di mana alamatmu? Akan saya antarkan," tawar wanita itu.
Kayla yang masih sadar sedikit memilih untuk menolak tawaran bantuan itu dan tersenyum kepada wanita itu. "Aku tidak bisa merepotkan seseorang lagi. Terakhir kali aku dibantu seseorang, pada akhirnya aku akan sendirian lagi. Sendiri menghadapi ini lebih baik dibandingkan aku harus merasakan kesendirian lagi..."
"Nona, dengan kondisimu seperti ini, saya tidak yakin kamu harus sendirian. Mari, saya antarkan kamu ke---"
"Tidak perlu, Bu. Terima kasih, saya---"
"Katakan di mana kamu tinggal, Nona? Akan saya antarkan. Ini sudah tugas saya untuk menolong seseorang, apalagi saudara sebangsa saya. Anda pasti orang Indonesia asli."
Pada akhirnya, Kayla tidak bisa menolak bantuan yang ditawarkan wanita cantik itu karena kondisinya yang sebentar lagi akan tidak sadarkan diri karena kelelahan jiwa dan fisiknya.