“Bagaimana keadaan Mami, apa tekanan darahnya naik, ada cedera akibat jatuh tadi dok?” todong Tara yang langsung berdiri dari duduk di lantai dengan perasaan gusar. Di ikuti Tyas juga suaminya terus menenangkan dengan merengkuh bahunya.
Semua orang cemas dan takut dapati Mami tadi tak sadarkan diri, tubuh tumbang ke lantai dan bisa saja kepala Mami terbentur marmer yang keras, itu terlalu berisiko untuk ukuran wanita paruh baya yang punya riwayat penyakit hipertensi.
Dokter Dani—dokter keluarga—segera di panggil, baru selesai memeriksa Mami, hanya Papi yang tunggu di dalam sementara anggota keluarga lainnya cemas-cemas menanti di depan pintu kamar.
“Tidak ada benturan bahaya di kepala seperti yang kalian khawatirkan." Dokter bisa membaca pikiran mereka "Hipotensi, tekanan darahnya rendah, beberapa hari ini sepertinya Nyonya Rashid kurang istirahat dan pengaruh lainnya bisa jadi karena beban pikiran.” Beritahu dokter, lalu beri resep tambahan dari obat-obatan rutin yang di konsumsi Mami.
"Kok bisa dok? Darah rendah terjadi pada penderita Hipertensi?" Suara adik Tara kemudian menambahi.
Dokter tersenyum hangat, "Bisa, banyak kejadian. Beberapa penderita hipertensi yang melakukan pola penurunan darah kalau tak sembari kontrol rutin sering kelewatan sampai darahnya rendah. Kalau di kasus Mami kalian, penyebabnya seperti yang tadi saya jelaskan, pikiran dan kurang tidur."
Kalimat dokter mengundang tatapan Tyas langsung pada Tara.
"Kenapa lihatnya ke aku?" Kata Tara tak sadar kalau kesehatan Mami menurun jelas-jelas karena memikirkan kehidupan putra sulungnya. Perdebatan adik dan kakak itu berlanjut, sampai Dhito yang turun tangan tak enak pada dokter Dani dan mengantar sampai ke depan rumah.
"Terima kasih, dok. Mari saya antar." Ujar Dhito, untung dokter Dani maklum.
Tak lama Papi muncul di depan pintu hanya mampu menghela napas, di usia senja saat ini selain penurunan kesehatan terjadi pada pasangan, Adam Rashid juga harus hadapi perubahan Artara Rashid. Papi memang tak menggebu seperti tindakan istrinya, tapi dalam diam dia terus merenungi nasib putra serta cucu pertamanya, Clarie yang di usia sangat kecil sudah tak dapatkan kasih sayang seorang ibu ditambah Tara yang masih berkubang dengan sesal di masa lalu.
Sebagai orang tua, Adam sadar sejauh apa pencapaian dan segala ada yang harusnya tinggal di nikmati dengan pasangan ketika usianya ini, terasa tak ada gunanya dan tak bisa tenang sebelum dia pastikan anak-anaknya hidup benar, baik dan bahagia.
Adam yakin bahwa semua orang tua sampai akhir hayatnya yang akan di pikirkan bagaimana anaknya menjalani hidup setelah mereka tiada. Tak salah jika sang istri sampai stress dan terbebani pikirannya.
"Tyas lebih baik kamu lihat anak-anak dan istirahat juga." Tegur Papi hentikan perdebatan mereka.
Tyas memberi tatapan sengit pada Tara sebelum mengangguk kecil, "Mami tidur, Pi?"
"Iya, biarkan istirahat. Ini juga sudah malam."
"Biarkan aku masuk, Pi." Kata Tara meminta, dia tak akan tenang sebelum lihat Mami. Tapi, Papi tak bergeser sedikit pun dari palang pintu.
Gerakkan kepalanya sudah cukup jadi pertanda tegas bahwa dia tak memberi akses "Kamu nggak dengar apa yang Papi katakan, Artara Rashid?" Intonasi suara Papi tegas dan dalam bahkan sebut nama lengkap Tara, jelas tak ingin dapat bantahan dari siapa pun.
Tyas tersenyum kecil, "Benar kata Papi, biarkan Mami istirahat lagian kalau Mami sampai lihat muka kamu yang ada makin stres."
Adiknya tak segan-segan tunjukkan kesalnya pada Tara. Tara mengerti semua keluarga memikirkan dirinya dan sang putri, mereka ingin Tara maju dan mengubur, tinggalkan semua luka di masa lalu. Sayang, tak semudah itu karena terlalu banyak kenangan manis bersama istrinya dan ketika takdir merengut dari hidupnya, jelas Tara atau manusia di dunia ini tak akan pernah siap hadapi perpisahan selama-lamanya secara mendadak.
Papi berbalik masuk ke kamar, menutup pintu lalu tatapan mata Tara juga mengikuti punggung Tyas, berpapasan dengan suaminya tepat di ujung tangga, suami adiknya itu menoleh pada Tara sebentar lalu dengan senyum tipis mengisyaratkan untuk ikut istrinya naik ke lantai dua dan istirahat, meninggalkan keheningan yang makin mencengkeram hatinya.
Huft!
Tara mengusap wajahnya, sebagai anak dia tak ingin jadi sumber beban pikiran untuk orang tuanya. Dia sendiri pun tak sangka jalan hidup yang dulu tampak sempurna, berjalan di jalan yang di harapkan, dalam hitungan detik tak pernah diperhitungkan bagai sebuah petir dahsyat menyambar di siang bolong, berhasil meluluhlantakkan alur hidupnya.
Bagaimana dia bisa lupa? Jika rasa sesaknya begitu kentara saat ingat lagi dan lagi seperti malam ini.
"Arrgh!" Tara kembali mengusap wajah kali ini lebih kasar lalu Tara pilih melangkah gontai menuju dapur mencari si kafein, selalu jadi pilihan teman yang tepat kala menunggu pagi saat rasa gelisah justru datang tak tepat jelang tengah malam seperti sekarang ini.
Sad boy?
Sebutan cocok untuk dirinya beberapa tahun belakangan ini atau seterusnya. Entahlah, kehilangan Clarisa seperti hilangnya cahaya hingga gelap pekat buat dirinya sulit menentukan arah.
***
Next Morning...
Tara merasa kepalanya begitu pening, kelopak mata berkedip demi sesuaikan dengan cahaya masuk dari tirai-tirai kamar telah terbuka. Dia baru bisa tidur jam empat pagi, sekarang bangun jam tujuh pagi.
Tiga jam.
Astaga! Siapa pun akan merasa bukan segar malah tersiksa dengan waktu tidur seperti dirinya.
Tubuhnya bergerak, dengan tangan otomatis temukan remote mesin pendingin ruangan dan non aktif-kan. Dia bersandar pada kepala ranjang sembari beri pijatan kecil di pangkal hidung, untung ini Sabtu hingga dia tak perlu ke mana-mana, atau bisa lanjutkan tidur jika saja seseorang mengetuk pintu dan suara anaknya tak terdengar.
Tok... tok... tok...
"Masuk!" Saut Tara meski yakin suaranya tak akan jelas terdengar.
Pintu terbuka, wajah cantik adiknya sudah segar terlihat bersama putrinya yang juga sudah cantik dan wangi langsung berlari, dengan semangat memanjat ranjang.
"Papa!" Teriak Clarie memanggilnya penuh semangat dan ceria.
Tara tersenyum, "Morning, bunny." Bunny, panggilan sayang Tara untuk putrinya.
"Molning, Papa!"
"Papa belum mandi, Sayang." Tegur Tyas, berharap ponakannya tak mencium wajah Papanya. Sayang, Clarie terlalu senang dan rindu seharian kemarin ketika ulang tahun Tara tak ada di sampingnya. Memang dasar anak-anak, kemarin Clarie merajuk pada Tara, tapi pagi ini seakan lupa.
Tara menatap adiknya dengan seringai menyebalkan. "Biar belum mandi, Papa tetap handsome ya Bunny?" Tara minta persetujuan Clarie.
Anak perempuan pasti akan cinta dengan sosok laki-laki berpangkat Papa. Jangankan Clarie, anaknya aja akan bilang Dhito ganteng dalam keadaan apa pun, mau belum atau tak mandi sekali pun. Yah... Walau memang ganteng sih. Pikir Tyas.
"Yeess! My Papa velly vellly handcome!" Saut Clarie sudah bergelung nyaman di pangkuan Tara.
"Jangan puji Papamu berlebihan, Cla. Dia bisa besar kepala!" Tyas berdecak.
"Jangan dengarkan Ibu Tyas, Bunny. Dia nggak pernah mau akui kalau suaminya kalah tampan dari Papa." Clarie ikuti putri Tyas memanggilnya Ibu sementara pada Dhito, ayah.
"Cuamyi?" Clarie mengerjap lucu, Tara lupa bahwa anak seusia Clarie yang baru genap tiga tahun kemarin tentu tak banyak paham kosa kata yang terdengar beragam dan asing tersebut. Tyas tertawa.
"Hm, maksud Papa, Ayah Dhito." Tara mengusap pipi putrinya, dengan tatapan dalam. Dari semua yang telah terjadi, punya Clarie di hidupnya tak pernah dia sesali. Tara tak bisa bayangkan jika Clarie pun tak selamat di hari itu.
"Cla, biarkan Papa kamu mandi. Kita sebaiknya temui Oma. Cla nggak mau kasih ciuman untuk Oma, biar cepat sembuh?" Bujuk Tyas membuyarkan lamunan Tara.
Clarie terlihat berat berpisah sebentar dengan Tara. Diam-diam dalam hatinya pun Tara meringis pedih, sadar dirinya terlalu menyibukkan diri hingga melewati waktu berharga bersama putrinya, kenangan terlalu indah paling berharga yang di tinggalkan istrinya, Clarisa.
"Papa?" Usapan tangan kecil Clarie di pipi Tara, seperti mengalirkan rasa hangat berhasil sedikit usir dingin dari hatinya yang beku.
Tara menangkup wajah kecil Clarie, mencium puncak kepala, aroma sampo stroberi menguar kuat.
"Papa akan sarapan dengan kamu pagi ini, Bunny ikut Ibu dulu." Janji Tara, tak menuruti ingin tidur lagi. Lagi pula pening di kepala mulai tak terasa setelah lihat senyum manis putrinya.
Andai senyum itu juga ampuh obati luka hati sepenuhnya.
"Maain? Juja?" Tatapan mata bening Clarie penuh harap, sangat mengemaskan tentu Tara tak bisa menolak.
Lelaki itu menganggukkan kepala.
"Plomice? Papa nda kelja?" Biasanya Papanya sibuk kerja, Clarie minta Tara berjanji. Sesuatu hal yang biasa saja di inginkan anak-anak tapi makna berubah jadi dalam karena Tara temukan pancaran indah mata berwarna biru itu penuh harap, menjadikan permintaan yang tak biasa.
"Promise." Tara mencium kening Clarie.
"Yipii Yeayy!" Clarie memekik riang, sementara Tyas sejak tadi perhatikan interaksi mereka ikut tersenyum sambil berdoa bisa lihat keceriaan Clarie untuk selamanya.
[to be continued]
JUDUL : BUKAN CINTA PERTAMA
PENULIS : UNAARTIKA