Episode 3 : Cincin yang Lepas

1192 Kata
“Menikah nggak hanya modal cinta, tetapi juga kesiapan termasuk finansial yang bisa menunjang kehidupan kita jadi lebih baik, Kean.” Episode 3 : Cincin yang Lepas Keandra masih menatap bingung Sunny. Wanita berwajah oriental itu masih membisu. Hanya kelopak matannya saja yang bergerak-gerak dan sesekali membuat bulu mata lentiknya menyentuh sekitar lingkaran mata. Selebihnya, Sunny mendiamkan Keandra. Kalaupun tatapan mereka bertemu, wanita itu langsung menepis. Di mana, kesedihan dan sesal seolah membuat Sunny amat tidak nyaman. Mereka baru saja turun dari bus. Dan Keandra menjelma menjadi satelit untuk Sunny. Keandra melangkah tak bersemangat dengan jaket yang tersampir di sebelah tangannya. Pria itu tak kalah sakit dan masih bungkam. Hanya saja, Keandra terlihat jauh lebih tenang, dengan pandangan yang terus tertuju pada Sunny. Kenyataan tersebut membuat Keandra bisa melihat segala perubahan yang terjadi pada wanita yang ia tegaskan masih menjadi kekasihnya. Keandra sangat mencintai Sunny. Ia selalu melakukan dan sebisa mungkin memberikan yang terbaik untuk Sunny. Namun jika ada pria lain yang memperhatikan Sunny berlebihan apalagi si pria terlihat jelas tertarik pada Sunny layaknya kini, Keandra tak segan melakukan hal yang mencolok. Keandra langsung meraih sebelah lengan Sunny, menarik wanita itu ke dalam rangkulannya. Sunny sendiri lebih memilih menurut apalagi pria yang menghampirinya terlihat cukup nakal dari cara menatapnya. “Mau kenalan sama adiknya, jangan ditarik-tarik begitu!” ujar si pria berkemeja biru muda itu. Pria bertubuh tambun yang usianya mungkin di akhir kepala tiga. Serta, pria yang terlihat dikuasai nafsu ketika pandangannya berhenti pada Sunny. “Adik dari Medan! Ini istri gue!” Keandra tak segan membentak. Pun dengan tatapan tajamnya yang begitu menegaskan pengakuannya. Si pria terlihat dongkol atas balasan Keandra yang tergolong kurang sopan. Bahkan Sunny merasa jika suasana menjadi tegang, menyeramkan. Sunny menarik kaus oblong bagian d**a Keandra, menuntunnya pergi meninggalkan si pria. Sunny takut sesuatu yang buruk sampai terjadi. Apalagi, si pria tampak tersulut emosi dengan tanggapan Keandra. Tak lama setelah meninggalkan si pria, setelah mereka melewati pertigaan hingga pria itu tak terlihat lagi, Keandra membentangkan jaketnya kemudian menahan bahu Sunny. Hal tersebut membuat Sunny refleks berhenti. Keandra berlutut untuk mengenakan jaketnya pada pinggang Sunny. Sunny bergeming seiring hatinya yang menjadi berdesir. Ada kehangatan yang menjalar menguasai kehidupannya akibat desir itu sendiri. Di tengah pelepasan sore yang tak disertai senja karena langit masih dikuasai awan hitam, pria itu membiarkan kedua lututnya menyentuh aspal yang masih basah akibat sisa hujan. Di mana, selain aroma tanah basah yang begitu khas, Sunny juga masih mencium aroma cinta Keandra yang begitu kuat. Kali ini Sunny memang mengenakan gaun persis di atas lutut yang akan membuat sebagian paha wanita itu terlihat dikarenakan Sunny berikut pakaian yang dikenakan, kuyup. Sunny memperhatikan kinerja Keandra yang memastikan jika jaket yang dipasang mampu menutupi pahanya. Tak lama berselang, pria itu menengadah hingga tatapan mereka bertemu. “Lain kali nggak usah pakai yang nggak nutup lutut, kecuali kalau kamu hanya sama aku dan itu pun di rumah.” Keandra berangsur beranjak. Bersamaan dengan itu, kedua tangan Sunny terulur padanya. Seperti biasa, wanita itu nyatanya masih peduli padanya. Keandra mengulas senyum sambil menatap wanita cantik di hadapannya. “Jangankan melihatmu dengan sedikit terbuka, melihat wajah cantikmu yang polos saja sudah bikin semua laki-laki terpesona.” Ia mencubit gemas hidung Sunny yang mancung. Sunny menyeringai dengan ekspresi kesal yang justru membuatnya terlihat semakin menggemaskan bagi Keandra. Namun tak lama berselang, wanita itu menjadi kebingungan lantaran Keandra justru memeluknya. Karena meski tak lagi di jalan raya, mereka masih di tempat umum. Di jalan kompleks menuju rumah mereka. Pun meski suasana terbilang sepi. Sunny memiliki aturan tak tertulis untuk hubungannya dengan Keandra yang intinya tidak boleh mengumbar kemesraan di depan umum. “Jangan peluk-peluk di tempat umum, ih. Malu kalau ada yang lihat. Nggak enak juga, kesannya gimana!” Sunny melepaskan diri dari Keandra sambil mendengus dan menatap sebal. Keandra mencebik dan merasa serba salah. “Kenapa kamu nggak mau nikah sama aku? Enam tahun pacaran belum cukup? Padahal di luar sana banyak pasangan yang pacaran setelah nikah.” Keandra bertutur lembut. Selembut tatapan juga setiap caranya memperlakukan Sunny. Sunny tak langsung menjawab. Wanita itu tampak gelisah. Ketika Keandra meraih dan menggenggam kedua tangan Sunny, wanita itu berangsur menengadah dan tatapan mereka bertemu. Begitu banyak keseriusan yang Keandra tanamkan melalui tatapannya. “Aku cinta kamu dan akan selalu membahagiakan kamu. Kita nikah, ya?” “Aku selalu butuh kamu. Dulu, sekarang, nanti, bahkan selamanya. Jadi, menikah adalah satu-satunya cara agar kita bisa bersama. Agar aku bisa memilikimu seutuhnya ....” Keandra menatap Sunny dengan begitu dalam. “Iya. Tapi kalau kita sudah lebih baik. Menikah hanya modal cinta nggak menjamin ke depannya. Nggak mungkin, kan, aku sama anak-anak kita cukup diyakinin dengan cinta terus kebutuhan kita terpenuhi?” “Menikah nggak hanya modal cinta, tetapi juga kesiapan termasuk finansial yang bisa menunjang kehidupan kita jadi lebih baik, Kean.” Sunny menatap Keandra penuh keyakinan di antara luka yang tak dapat ia sembunyikan. Meski apa yang Sunny katakan berkemungkinan besar melukai Keandra, tetapi demi masa depan hubungan mereka, demi kebahagiaan bersama, ia harus menyadarkan dan membuat Keandra lebih peka. Tidak hanya melulu memikirkan cinta, tetapi juga modalnya. Bukan bermaksud matre, tetapi uang dan materi juga penting dan bisa menjamin kebahagiaan mereka. Hati Keandra terbesit. Ia memang belum memiliki pekerjaan mapan selain menjadi penyanyi dan DJ paruh waktu. Pun itu harus sembunyi-sembunyi dari Sunny, sebab wanitanya itu tidak suka bila ia berada di tengah dunia malam apalagi dikelilingi banyak wanita. Keandra mulai gelisah. “Aku bakal sambil cari kerja.” “Ya sudah, kita sama-sama kerja dulu,” timpal Sunny. Keandra semakin gelisah dan buru-buru menggeleng. “Nggak. Kamu nggak usah kerja. Kamu di rumah saja!” “Kamu melarang aku kerja, berani gaji aku berapa? Kamu saja belum kerja.” Sunny menatap Keandra tak habis pikir. Keandra mulai dongkol. “Tapi kalau nanti banyak yang naksir kamu, gimana?” “Kalau cara pikir kamu masih gitu nggak usah ngajak anak orang nikah!” omel Sunny. Keandra langsung diam. “Tapi kamu nggak usah kerja. Biar aku saja yang kerja.” Sunny mendengkus sambil menepis tatapan Keandra. “Seenggaknya sebelum nikah, aku harus bantu orang tua dulu, buat balas budi.” “Nah ... bener! Kamu bantu beres-beres di rumah saja. Belajar masak juga bagus buat persiapan nikah!” Keandra begitu antusias. Sunny memelotot, menatap Keandra dengan wajah dikuasai emosi. Kenyataan tersebut membuat Keandra diam. Terlahir dari keluarga kelas menengah membuat Sunny menginginkan kehidupan lebih baik. Ayahnya seorang dosen di sebuah universitas, sementara ibunya seorang guru di salah satu SMA negeri. Jadi, Sunny bertekad memiliki posisi lebih tinggi dari orang tuanya. Ia menginginkan kehidupan lebih layak tanpa buru-buru memikirkan pernikahan. Pun meski Keandra terus membujuknya untuk menerima cincin sebagai pengikat. “Jangan sekarang, Kean. Yang namanya pengikat selalu sakral, jangan sembarangan.” Sunny terus berjalan meninggalkan Keandra. Keandra masih berusaha membujuk Sunny sambil melangkah tergesa mengikutinya dikarenakan wanita itu melangkah dengan sangat cepat. “Kalau gitu, aku langsung ke orang tuamu, begitu?” Satu lagi yang membuat Sunny belum yakin pada Keandra; pria itu masih kekanak-kanakan. Tak hanya cara pikir, tapi juga cara bersikapnya. Sunny refleks balik badan dan membuat Keandra yang kebetulan sedang memandangi cincin, menjadi menabrak Sunny. Cincin yang awalnya Keandra pegang menggunakan jemari kanan, lepas begitu. Sialnya, setelah diikuti, cincin itu justru masuk drainase berisi air penuh dan berarus kencang karena menuju pembuangan. “Yah ....” Keandra kalang kabut mencoba mendapatkan cincinnya. Ketika Keandra sibuk mencoba mendapatkan kembali cincinnya bahkan rela tiarap dan merogoh drainase melalui sela-sela yang ada, Sunny justru bergeming dengan d**a yang tiba-tiba saja terasa kebas. Kenapa firasatnya menjadi tidak enak atas jatuhnya cincin pengikat dari Keandra? Mata bergetar Sunny terus menatap Keandra. “Bukan ... bukan! Ini bukan bertanda buruk! Aku dan Kean baik-baik saja, karena kami saling mencintai!” batin Sunny. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN