Chapter 4 - Airplane 2

1847 Kata
Chayra mengambil tiket pesawat yang diberikan pemuda itu, ia membacanya sebentar lalu berjalan menuju kelas ekonomi. Chayra melihat kursi yang rata-rata sudah di duduki oleh penumpang, ia berkali-kali mengecek tiket dan kursi dan berhasil menemukan kursi pemuda itu. Chayra menyiapkan senyum ramah, ia menuju sebuah kursi yang sudah di duduki oleh seorang wanita paruh baya di sampingnya terlihat pria yang sedang bercakap-cakap dengan wanita itu. “Permisi.” Ucap Chayra sopan. Wanita paruh baya itu meliriknya tajam, “Ada apa?” tanyanya ketus. Pria paruh baya itu menegur dan meminta maaf karena istrinya bersikap tidak sopan. “Mohon maaf, Pak, Bu. Bisa saya lihat tiket, ibu?” tanya Chayra dengan nada sopan. Wanita paruh baya itu seketika berdiri dari tempat duduknya, “Untuk apa! Heh, kerja yang bener! Sana ngurusin penumpang yang lain aja, saya bukan penumpang gelap, ya! Saya punya tiket! Ngapain harus di periksa segala, bukannya di Bandara tadi sudah?”   Chaya menghela napas pendek, ibu itu membentaknya di depan penumpang lain membuat suasana tidak kondusif. Chayra melihat jam tangannya, sebentar lagi waktu lepas landas, jika masalah ini belum selesai, maka mereka harus menunda keberangkatan. “Ibu, mohon maaf saya tidak bermasuk menuduh ibu penumpang gelap. Hanya saja saya membutuhkan tiket ibu untuk melihat apakah nomor kursi ibu sudah benar dengan yang ibu duduki sekarang.” Ucap Chara. Wanita paruh baya itu melotot, “Heh! Untuk apa periksa-periksa nomor kursi segala! Saya sudah bayar tiket, jadi terserah saya dong mau duduk dimana! Aturan dari mana harus duduk sesuai nomor kursi!” Chayra mengetatkan rahang, ketika ingin meminta tiket sekali lagi. Sang suami memberikan tiket istrinya dengan sukarela. “Udah, Bu. Tenang dulu, mungkin itu memang peraturan saat naik pesawat.” Terang suaminya berusaha meredakan amarah istrinya tersebut. Chayra melihat tiket itu dengan seksama, lalu melihat kursi yang di duduki wanita paruh baya tersebut. “Ibu, saya mohon maaf, silahkan pindah sesuai tempat duduk yang tertera di tiket anda. Karena kursi ini milik penumpang dibelakang saya yang sempat kebingungan karena tidak mendapatkan kursinya.” Ucap Chayra. Ibu itu mendorong Chayra dengan kuat membuat tubuhnya terhuyung pelan. “Enak saja! Saya yang duluan duduk, berarti itu sudah menjadi tempat saya.” Tolak wanita itu. Chayra menipiskan bibirnya, ia menegakkan tubuh. “Mohon maaf, Ibu. Sekali lagi saya sarankan pindah ke tempat duduk anda!” ucap Chayra tegas. “Ck! Dasar tukang atur! Mana atasan kamu! Saya mau bicara, enak saja mau usir saya dari tempat duduk ini! Saya sudah bayar, kok!” Wanita paruh baya itu berkeras tidak ingin mengganti tempat duduk. Chayra masih mencoba tersenyum, “Saya sendiri orangnya, Ibu.” “Oh, kamu! Kenapa sih harus duduk sesuai nomor ditiket? Siapa yang buat peraturan!” Wanita paruh baya itu berseru emosi. Chayra berbalik, “Apa kamu mau menukar kursi?” tanya Chayra kepada pemuda yang berdiri dibelakangnya. Pemuda itu melihat keadaan, jika ia bersedia menukar tempat duduk maka ia akan duduk bersebelahan dengan pria berisi yang sedang bersusah payah menahan kantuk. Itu mungkin lebih buruk, tempatnya yang seharusnya berada di dekat jendela, itu memungkinkannya untuk melihat pemandangan diluar saat psawat mengudara. Chayra mengangguk pelan, karena pemuda itu tidak ingin bertukar tempat duduk maka ia harus bersikap tegas atau penerbangan akan ditunda karena masalah ini. “Saya tetap nggak mau!” tolak wanita paruh baya itu. Chayra menggeleng menatap wanita itu tajam. Ia harus bersikap tegas kali ini, sikapnya ini bukan karena ia tidak ramah tetapi peraturan tetap peraturan. “Ibu silahkan pindah. Pesawat akan lepas landas sebentar lagi.” Ucap Chayra tegas. Wanita paruh baya itu mengangkat tangan untuk menampar Chayra, tetapi ia dengan sigap menyangkal pukulan itu. “Saya punya saudara di mentri perhubungan! Saya akan melaporkan kamu agar dipecat! Lihat saja, berani memindahkanku maka kau akan menjadi pengangguran!” Chayra tersenyum kecil, “Pindah atau saya turunkan ibu dari pesawat! Tentunya, tanpa uang ganti rugi!” ucapnya dengan suara naik satu oktaf. Tiba-tiba wanita paruh baya itu terdiam, seketika wajahnya pucat. Suaminya berbegas membujuk istrinya agar pindah dari apda diturunkan dari pesawat. Mereka akan rugi jika turun tanpa penggantian uang tiket. Setelah bedebat beberapa menit, wanita paruh baya itu akhirnya mengalah. Chayra dengan senang hati mempersilahkan pemuda itu duduk di kursinya. Chayra tersenyum kepada penumpang lain dan menyuruh mereka duduk di tempat masing-masing. “Dasar gundik!” Chayra yang sedang berjalan keluar dari kelas ekonomi berhenti. Ia memejamkan matanya mencoba tidak tersulut emosi. Wajahnya memerah karena menahan amarah. Chayra menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, ia melanjutkan langkahnya. Pekerjaannya masih banyak dari pada mengurus wanita paruh baya itu.  Inilah salah satu cobaan bekerja sebagai pramugari, harus menahan emosi dan bekerja sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mengambil kursi penumpang lain di dalam pesawat merupakan tindakan yang tidak sopan. Walaupun membeli tiket di kelas yang sama, tempat duduk merupakan hak penumpang dan tidak dapat berubah jika tidak ada kesepakatan antar penumpang. “Eh, mbak Ay. Kenapa lama di kelas ekonomi? Wajah Mbak juga jadi merah begitu.” Tegur Dara. Chayra duduk di kursi dapur, “Minta air dong. Aku baru berantem sama emak-emak, belum terbang tenagaku sudah habis.” “Silahkan, Mbak.” Chayra meminum air hingga tidak bersisa. Ia meletakkan gelas di atas meja lalu menghela napas panjang. “Mbak, nggak mau diturunin aja ibu-ibu itu? Penerbangan hampir tertunda dan ibu itu juga memanggil mbak dengan sebutan yang tidak pantas.” Ucap salah satu pramugari lain. Chayra menggeleng, “Biarkanlah, mungkin ini pertama kali dia naik pesawat. Aku tidak mau membuat masalah ini semakin panjang, jika mengeluarkannya dari pesawat penerbangan pasti akan tertunda dan aku akan repot menulis laporan kepada atasan.” Mereka mengangguk pelan, setuju dengan keputusan Chayra. Jika mereka yang mengalami kejadian tadi mungkin sekarang akan menangis. Di panggil denan sebutan tidak pantas di depan penumpang pasti sangat malu. Mereka harus banyak belajar tentang pengendalian emosi dari Chayra. Dara juga kagum kepada rekan kerjanya itu, selain karena prestasinya yang luar biasa dan tidak pernah membuat satu kesalahanpun sejak pertama kali bertugas. Chayra menjadi panutan karena keuletan dan kecerdasannya saat sedang bertugas. “Nah, sekarang kita harus mengerjakan tugas kita selanjutnya yaitu Melakukan demo tata cara penggunaan alat keselamatan penerbangan, yakni cara menggunakan pelampung, masker oksigen, sabuk pengaman, dan menyuruh penumpan agar menonaktifkan peralatan elektroniknya khususnya ponsel selama penerbangan berlangsung.” Ucap Chayra lalu berdiri dari tempat duduknya. Chayra bediri menuju kelas bisnis. Ia dan Dara bertugas untuk memperagakan alat keselamatan di sana. Kelas bisnis adalah kelas yang hanya di tempati beberapa orang saja. Ketika masuk, Chayra membungkuk pelan lalu setelah itu menyapukan pandangannya ke sekliling ruang bisnis. Tempat itu hanya terisi separuh, terdiri dari seorang empat orang pria, satu orang wanita hamil dan satu orang gadis muda. Keika selesai melakukan tugasnya, Chayra kembali ke kabin. Ia menutup pintu pesawat dan mengabari ruang pilot jika semua prosedur keberangkatan telah selesai dilakukan. … Abimanyu duduk dengan tenang di kelas bisnis. Ia bersiap untuk memejamkan mata ketika pesawat lepas landas. Terjadi guncangan kecil pada saat proses lepas landas tetapi ia hanya menghiraukannya karena itu hal yang wajar terjadi. Sebelum berangkat, Abimanyu sempat melihat ramalan cuaca dan ketika melihat tidak ada tanda-tanda cuaca buruk ia lega dan tidak merasa khawatir saat naik pesawat. Abimanyu memiliki trauma dengan pesawat, walaupun bukan ia yang mengalaminya. Ia mengusap keringat di keningnya, pesawat telah terbang dan sekarang guncangan itu telah hilang.  “Pak, apakah anda baik-baik saja?” Seorang pramugari menghampirinya, Abimanyu menjawab dengan menganggukkan kepala. Ia membaca tanda pengenal yang tertempel di bagian d**a pramugari itu, Chayra Nadifa. “Silahkan,” Pramugari itu memberinya air mineral. “…guncangan saat lepas landas wajar, Pak. Tidak perlu tegang, insyallah kita akan sampai di tempat tujuan beberapa jam lagi.” “Terimakasih.” Ucap Abimanyu lalu tersenyum. Pramugari itu membalas senyumnya, kembali berjalan untuk memberikan air mineral untuk penumpang yang lain. Abimanyu meminum air itu sedikit demi sedikit. Diam-diam ia melirik seorang wanita yang tengah hamil besar yang duduk tidak jauh darinya. Tiba-tiba bayangan mendiang istrinya kembali hadir dibenaknya. Abimanyu mengusap wajahnya kasar, mencoba mengusir pikiran itu dari kepalanya. “Astagfirullah.” ucap Abimanyu beristigfar. Abimanyu terlelap di dalam tidurnya ketika merasakan pesawat terguncang keras. Di dalam keadaan setengah sadar, Abimanyu memasang sabuk pengamannya. Ia melihat keadaan sekitar, barang-barang sudah berhamburan akibat guncangan keras. Satu orang pramugari yang memberikan air mineral tadi masuk dengan langkah panik. Ia memberitahu agar tetap duduk di tempat masing-masing dan memakai sabuk pengaman. “Ada apa?” tanya Abimanyu setengah berteriak dari tempat duduknya. Wanita bernama Chayra itu menoleh ke arahnya, “Ada turbulensi, tiba-tiba ada awan tebal yang tidak diperkirakan sebelumnya.” “Apakah ini keadaan serius?” tanya Abimanyu untuk kedua kalinya. Chayra menggeleng tegas, “Turbulensi biasa terjadi di dalam penerbangan. Saya mohon agar tenang, kita sama-sama berdoa agar cepat melewati awan tebal dan turbulensi akan segera berakhir.” Setelah mengucapkan itu, tiba-tiba Abimanyu merasakan jika pesawat oleng ke kanan. Seketika semua barang-barang meluncur ke kanan termasuk Chayra yang sedang berdiri untuk menenangkan penumpang. Chayra hampir saja terbentur di dinding pesawat jika Abimanyu tidak menangkap tangannya. Pramugari itu jatuh terdudukt epat di depan Abimanyu. Ia membantu pramugari itu untuk berdiri dengan tetap memakai sabuk pengaman.  Setelah itu, keadaan kembali normal. Tetapi, Abimanyu masih pusing karena kejadian barusan. Ia merasakan pesawat kembali terbang stabil. Abimanyu mengambil napas panjang lalu menghembuskannya perlahan hingga ia tenang. Lima menit kemudian, tidak ada turbulensi yang terjadi. Ketika ia ingin merilekskan tubunya, tiba-tiba ia mendengar jeritan yang berasal dari wanita hamil yang duduk tidak jauh darinya. Seorang pria sontak membuka sabuk pengamannya dan berlari ke arah wanita itu. Ia terlihat sangat panik, sementara wanita itu tidak berhenti berteriak kesakitan. Chayra melangkah ke arah penumpang itu.   “Permisi, Ibu, Pak! Ada yang bisa saya bantu?” tanya Chayra. Abimanyu memperhatikan mereka. Ikut tegang karena teriakan wanita itu. Ia menegapkan punggung lalu berusaha bernapas dengan normal. “Perut saya keram, mbak. Sakit sekali!” wanita itu merintih kesakitan. Chayra bergegas memeriksa nadi wanita hamil itu dan mendapatkan hasil yang tidak normal. “Umur kandungan ibu berapa bulan?” tanya Chayra pelan, ia berusaha bertanya dengan pelan-pelana gar tidak menambah kepanikan. Ibu itu bernapas pundek-pendek. “Empat bulan.” Chayra mengerutkan kening, tetapi dari perutnya terlihat kehamilan sudah berusia enam atau tujuh bulan. “Istriku sedang mengandung kembar tiga, Mbak. Itu yang membuat perut istri saya lebih besar dari ukuran normal empat bulan.” Terang pria yang meruapakan suami dari wanita itu. Chayra mengangguk pelan. “Pak, bisa kembali ke kursi anda. Saya takut ada turbulensi susulan.” Pria itu ingin membantah untuk menemani istrinya tetapi wanita itu menggeleng pelan. Menyuruh suaminya untuk kembali ke tempat duduk, setelah urusan itu selesai Chayra lega karena tugasnya tidak bertambah. “Ibu, bisa dengarkan saya.” Ucap Chayra. Wanita itu menangguk lemah, masih merintih. Chaya kembali memeriksa denyut nadi wanita itu tetapi masih berdetak jauh dari normal. “Tarik napas panjang lalu hembuskan perlahan. Oke? Saya ulangi, tarik napas panjang lalu hembuskan perlahan.” Chayra melakukan hal yang sama. Itu salah satu caya yang capat ia gunakan saat menemukan ibu hamil jika mengalami keran perut saat berada di dalam penerbangan. Jika hanya perut keram itu tejadi karena guncangan hebat saat turbulensi tadi yang mengakibatkan syaraf wanita itu tegang. Mereka melakukannya selama sepuluh menit, Abimanyu masih memperhatikan mereka tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Ia terkesan dengan cara Chayra menenangkan wanita hamil itu. Gerakan dan kata-kata Chayra dapat mempengaruhi orang lain, ia juga perlahan menjadi rileks setelah menarik dan menghembuskan napas berkali-kali. “Apakah anda punya murotal Al-Qur’an atau lagu-lagu yang menenangkan?” tanya Chayra. Wanita itu mengangguk pelan lalu merogoh tas tangan yang berada di samping tempat duduknya. Chayra melihat wanita itu mengeluarkan MP3 kecil lengkap dengan headset yang tergulung. “Nah, ibu coba dengar ini. Insyallah, perasaan ibu akan tenang. Saya permisi kebelakang dulu.” Ucap Chayra. Chayra melangkah ke kabin untuk menghubungi pilot yang berada dikokpit pesawat. Ekspresi Chayra yang awalnya pergi dengan tersenyum berubah serius. Chayra memutuskan sambungan lalu menghubungi rekannya yang lain untuk mencari tempat duduk yang aman lalu memakai sabuk pengaman.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN