Pagi yang cerah

1233 Kata
Pagi-pagi sekali sebelum Matahari bersinar, Borya sudah bangun dan mulai berlatih. Dia tidak sendiri melainkan bersama Sam. Kekuatan dan kelincahan Borya mampu diimbangi oleh Sam yang sudah tidak muda lagi. Kagum dan gembira karena Borya bisa berlatih bersama dengan satu-satunya lelaki yang berhasil membawanya kepada jalan yang benar. Duagh… Borya terbatuk keras saat kaki Sam mengenai dadanya dengan keras. Tidak ada penyesalan pada wajah Sam pada saat Borya kesakitan yang ada hanya seringai. “Buktikan kalau kau mampu melindungi putriku!” perintah Sam ketika tendangan kedua kembali mengarah ke tubuh Borya. Bukan tendangan yang menyasar d**a melainkan tendangan yang tertuju pada kaki Borya yang berdiri lemah. “Brengsaek! Kenapa dia masih sekuat dulu,” maki Borya dalam hati. Borya salah perhitungan hingga dia kembali menjengkang ke belakang. Sam menginginkan balasan yang dilakukan dengan serius bukan dengan cara main-main. “Lawan aku Borya. Jangan berpikir kalau aku adalah majikanmu!” perintah Sam kembali terdengar. Tendangan dan pukulan beruntun diberikan pada lawan masing-masing. Tidak ada yang memperhatikan dibalik jendela Zeny memperhatikan kedua-nya tanpa berkedip. “Siapa yang kau lihat? Papi atau Borya?” Bisikan tersebut begitu pelan tetapi efeknya sangat kuat bagi Zeny. Dengan cepat Zeny berbalik hanya untuk berhadapan dengan 2 orang wanita yang berdiri dengan senyum geli. “Kenapa tidak bergabung dengan mereka?” tanya Elza lembut. “Pagi ini adalah hari pertama acara yang diusulkan Abyan. Aku tidak mau terlambat karena aku-lah yang membuka acara tersebut,” jawab Zeny. “Kau tidak boleh pergi sendirian! Semalam papi sudah katakana kalau kau akan pergi bersama Borya,” sergah Elza cepat. “Ya, Mam, Walaupun aku bilang pagi juga tidak mungkin berangkat sekarang. Matahari bahkan masih malu-malu,” kata Zeny tertawa. Suara tawa Zeny yang renyah seperti kerupuk udang menjadi pelan dan berhenti saat dia melihat layar ponselnya yang menyala. “Ada apa Abyan meneleponku sepagi ini,” katanya dalam hati. “Zen, siapa yang menelepon, kenapa tidak kau angkat?” tanya Elza. “Ya Mam, aku akan menjawabnya.” Sambil membawa ponselnya, Zeny menjauh sebelum menjawab panggilan Abyan. “Ada apa? Kenapa kau meneleponku pagi-pagi?” tanya Zeny khawatir. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengingatkan kalau persiapan hari ini sudah sempurna dan kau harus membukanya. Dan ingat, jangan paksakan diri yang kau sendiri tidak yakin,” ucap Abyan membuat Zeny meringis. “Kalau yang kau maksud Emma, dia menolaknya secara tegas. Aku heran dengan cara apa agar dia setuju dengan tawaran kami,” sahut Zeny jengkel. “Lupakanlah. Dia masih sangat muda jadi jangan paksakan dia untuk melakukan yang tidak sesuai dengan keinginannya,” perintah Abyan yang dibalas dengan cibiran. Setidaknya Abyan tidak melihat yang dilakukan oleh Zeny. “Lalu, kapan kau akan kembali?” tanya Zeny. “Minggu depan aku akan kembali.” “Hah? Kau serius. Kata papi kau baru kembali bulan depan, jadi bagaimana bisa kau kembali minggu depan?” tanya Zeny. Zeny tidak sadar kalau dia bertanya dengan suara kencang hingga menarik perhatian Elza dan Tania yang sedang mempersiapkan sarapan. “Kau bicara sama siapa Zen?” tanya Elza. “Abyan, Mi. Katanya dia akan pulang minggu depan,” jawab Zeny sambil berjalan mendekat. “Kau bicara dengan Abyan? Kemarikan ponselmu dan bantu Tania!” “Mami…aku masih bicara dengannya,” rengek Zeny. “Kau bisa bicara lagi nanti!” Tidak ada yang bisa dilakukan saat Sang Ratu sudah memberikan perintahnya dan Zeny hanya bisa memberikan ponselnya. “Abyan telepon ada apa?” tanya Tania sambil memperhatikan Elza yang sedang bicara dengan putra bungsunya. “Mengingatkan tentang acara hari ini dan juga pesan kalau kita tidak perlu memaksa Emma.” “Aku setuju tentang Emma. Usianya masih sangat muda dan aku juga tidak rela karena perbuatan kita, dia tidak bisa melanjutkan kuliahnya,” kata Tania bijak. “Yeah, aku kan hanya berharap Abyan dan Emma bisa menjalin persahabatan dan hubungan dekat yang lebih lama,” jawab Zeny sambil mengedipkan mata. “Sudah, bantu aku menyiapkan sarapan. Aku yakin papi dan Borya sebentar lagi selesai,” kata Tania kembali mengingatkan. “Kak Indra kemana, tidak main bersama mereka?” “Siapa bilang. Kau tidak lihat kalau di sana ada 3 orang?” cibir Tania. “Oh ya, kok aku tidak lihat,” jawab Zeny kembali melihat ke arah halaman belakang. Namun, di halaman belakang sudah tidak ada lagi orang yang sedang berlatih. Entah kapan mereka semuanya pergi. Tidak ada yang perlu dilihat, Zeny memutuskan untuk ke kamarnya. Dia harus bersiap-siap tidak peduli apakah Borya akan pergi bersamanya atau tidak. “Kemana Zeny?” Cukup lama Zeny berada di kamarnya hingga Sam yang sudah siap dan duduk di ruang makan menanyakan keberadaan Zeny pada Elza. “Aku di sini Pi. Memangnya papi sudah gak sabar,” katanya seraya duduk. Mata Zeny melirik sekilas Borya yang berdiri dengan sikap menunggu. “Borya, duduklah!” ucap Sam dan lelaki itu duduk di samping Zeny membuat Zeny meliriknya sekilas. “Aku yakin alasan papi menyuruhnya duduk di sampingku karena dia tidak mungkin duduk di samping kakak,” hibur Zeny dalam hati. Tidak banyak yang diucapkan selama waktu sarapan karena masalah pekerjaan sudah dijelaskan oleh Zeny semalam sementara pembicaraan dengan Abyan, Zeny yakin Elza sudah mengatakannya secara terinci. “Maafkan aku. Aku harus berangkat sekarang,” kata Zeny setelah mereka sudah menyelesaikan sarapan yang lain dari biasanya. “Kenapa? Kau tidak sakit gigi, kan?” tanya Sam. Kalau saja Sam bukan ayahnya, Zeny yakin dia sudah memberikan balasan yang biasa dia ucapkan pada Tania atau Abyan. Tetapi yang dia lakukan saat Sam yang bicara sangat berbeda. “Bukan gigi aku yang sakit, Pi. Tapi jantung aku yang sedang berusaha memenangkan lomba.” Suara tawa geli terdengar dari mulut Sam. Dia sangat mengerti isi hati putri keduanya. Zeny memang tegar pada saat hubungan dengan tunangannya bermasalah, tetapi saat berhadapan dengan Borya, Zeny akan menjadi wanita yang lemah. “Kau pergi bersama dengan Borya karena dia yang akan menjaga dirimu. Tidak ada bantahan apa pun.” Perintah Sam. “Bagaimana dengan Papi? Borya adalah pengawal papi jadi aku tidak akan membiarkan papi pergi tanpa pengawalan Borya,” jawab Zeny berusaha menolak. “Papi sudah tua dan 1 orang tidak cukup untuk menjaga papi,” sahut Sam membuat Zeny mendelik. “Benarkah? Sejak kapan papi merasa tua?” tanya Zeny sambil berjalan keluar. “Sejak Tania dipastikan kalau dirinya hamil,” bisik Sam lirih sementara Tania dan Indra saling pandang. “Memangnya sudah dipastikan? Kapan kakak ke dokter?” tanya Zeny heran. “Baru melalui tes secara mandiri,” jawab Elza pelan. “Oh.” Mata Zeny begitu cepat menyapu perut Tania yang masih rata tetapi dia tahu saat ini putri pertama Samudera merasa sangat bahagia. Kini, mata Zeny kembali melihat Borya yang berdiri dengan sikap sempurna hingga dirinya seperti anak kemarin sore yang tiba-tiba melihat pemuda tampan dan mempesona di depannya. “Aku senang ditemani olehmu,” sapa Zeny. Berpamitan pada Elza dan Sam adalah kegiatan rutin sebelum berangkat kerja dan Zeny kini sudah dalam perjalanan menuju HSP dengan Borya yang bertindak sebagai sopir merangkap pengawalnya. “Kau tidak malu jadi sopir?” tanya Zeny saat kendaraan yang dikemudikan Borya membelah lalu lintas Jakarta. “Untuk apa malu. Menurutmu lebih terhormat mana sebagai Assassin?” kata Borya balik bertanya. “Tergantung.” Jawab Zeny singkat. Borya melirik Zeny yang mulai sibuk dengan ponselnya. Gelengan kepala dia lakukan karena Zeny belum berubah dari terakhir dia bertemu dengan putri kedua Edgar. Tetap cantik, jujur dan selalu ingin tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN