Samudera menatap nanar tempat ditemukannya ponsel Abyan dalam keadaan hancur. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sepeda motor Abyan sampai dia melihat Borya membawa sesuatu di tangannya.
“Apa itu?” tanya Sam tajam.
“Menurut saya sisa bakaran kartu identitas Tuan Benua,” jawab Borya.
Sam mengambilnya dan memperhatikan benda yang dikatakan oleh Borya. Dia tahu kartu identitas tersebut tidak bisa dijadikan bukti tetapi sebuah benda lain yang sudah pasti milik Benua.
Sebuah pin yang tidak bisa terbakar ada di tangan Borya. Siapa pun tidak akan ada yang memperhatikan kartu identitas Abyan yang ditempeli pin pada bagian pelindungnya. Pin yang tidak akan hancur apabila hanya dibakar saja.
Orang lain mungkin menganggap pin tersebut adalah kancing plastic pembungkus, tetapi bagi keluarga Pravitel tidak.
Seandainya saja ada orang yang memancing kemarahan Sam pada saat ini, sudah pasti orang tersebut bernasib apes.
“Tidak ada catatan kecelakaan yang terjadi di tempat ini. Hanya satu laporan yang membuatku curiga. Polisi mencatat ada laporan dari seorang gadis remaja yang mengatakan telah membawa seorang lelaki dengan luka di kepala. Saat ini korban tersebut berada di rumah sakit dan masih menjalani operasi,” beritahu Indra.
“Gadis remaja, operasi?” tanya Sam dengan kening berkerut.
“Benar. Tetapi gadis itu begitu ketakutan dan menyerahkan pada dokter yang menangani korban tersebut untuk menjelaskan,” jawab Indra lagi.
“Apakah polisi memberi keterangan yang jelas?”
“Aku sudah mencatatnya. Rumah sakit ini sebenarnya letaknya cukup jauh. Aku tidak tahu alasan yang sebenarnya mengapa dia tidak ke rumah sakit yang terdekat saja,” jawab Indra.
“Kita kesana. Aku tidak mau membuang waktu lebih lama lagi. Keselamatan Abyan lebih penting daripada hanya menduga-duga saja,” perintah Sam langsung menuju mobilnya.
Mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Abyan menjalani pengobatan sementara Emma masih setia menunggu. Sepertinya dia tidak memiliki keinginan untuk pulang atau meninggalkan Abyan sendirian.
Sudah setengah hari dia berada di rumah sakit menunggu Abyan membuka matanya. Setelah melewati masa kritis setelah operasi, Abyan di tempatkan di ruangan khusus dan Emma hanya bisa melihatnya dari luar tanpa bisa melihatnya langsung.
“Neng, pulang dulu, yak. Neng juga gak bisa terus nunggu di sini,” ucap Dian yang menyadari kalau anak majikannya tidak pernah beranjak dari depan ruangan pasien tersebut.
“Bagaimana kalau nanti dia sadar? Aku ingin memastikan keadaannya baik-baik saja dan aku juga tidak mau ada orang jahat yang sudah membuatnya celaka,” jawab Emma lagi.
“Kenapa neng mikir begitu?”
“Kata dokter dia adalah korban kejahatan dan aku gak tahu apakah orang jahat tersebut masih mengincarnya atau tidak,” sahut Mayang.
Saat itu Mayang memakai masker dan jaket sehingga bagian wajahnya yang terlihat hanya matanya yang terlindung oleh kacamata saja.
Seorang dokter yang tidak dikenal Emma berjalan dengan langkah kaki yang mencurigakan. Emma dan Dian memperhatikan dokter tersebut dan mulai berpikir macam-macam.
Emma sudah terlalu banyak menontot film hingga dia memutuskan menghubungi Dokter Syarif untuk mengatakan kecurigaannya.
“Kau jangan membuat dirimu terlihat memperhatikan dia. Lakukan semuanya dengan wajar seolah kau tidak peduli. Aku tidak tahu siapa yang sudah kau bawa ke sini, tetapi menurutku ada orang yang tidak menyukai dia selamat.”
Perintah Dokter Syarif begitu jelas sehingga Emma hanya bisa berpura-pura sebagai pengunjung biasa yang tidak tertarik untuk memperhatikan dan curiga dengan kedatangan seorang lelaki yang memakai jas putih dengan nama klinik tempat mereka berada.
Emma berjalan meninggalkan tempat dia duduk sejak tadi bersama dengan Dian, sopirnya ke arah yang berbeda dengan kedatangan lelaki yang memakai jas dokter.
Setelah yakin tidak terlihat, Emma segera bersembunyi, menunggu dengan was-was kalau dirinya tidak menarik perhatian.
“Kenapa begini. Aku hanya berusaha menolong dirinya dan tidak ada alasan lain. Kenapa si om itu sampe punya musuh yang ingin melenyapkan dirinya. Apa musuhnya tidak puas setelah membuatnya menderita?”
Pertanyaan di dalam batin Emma terus bermunculan hingga dia melihat polisi mendatangi ruangan yang baru saja dia tinggalkan sementara laki-laki itu hanya berdiri melakukan kegiatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan jenis pakaiannya.
Kedua polisi yang tadi bersama dengan Emma melihat sekeliling dan hanya memberikan tatapan ingin tahu pada lelaki tersebut lalu mendatanginya.
“Selamat Malam. Kalau boleh tahu apa dokter kehilangan sesuatu?” tanya polisi mulai curiga.
“Saya tadi menjatuhkan pulpen dan kini sudah ketemu kembali. Bapak-bapak ada di sini, siapa yang terluka,” tanya lelaki dengan jas dokter itu.
“Salah satu rekan kami. Dia mengalami luka tembak pada saat melakukan pengrebekan,” jawab polisi dengan matanya yang curiga.
“Begitu. Saya turut berduka dan semoga rekan bapak segera pulih kesehatannya,” kata lelaki itu berbalik dan melangkah pergi.
“Ada yang kau curigai?” tanya salah satu polisi pada rekannya.
“Seperti yang dikatakan oleh dokter, ada lelaki yang bertindak mencurigakan dan memang lelaki itu seperti mempunyai niat yang lain,” ujar rekannya.
“Siapa sebenarnya lelaki ini. Mengapa ada orang yang berniat jahat padanya.”
“Entahlah. Semoga Dodi mendapatkan hasil dari penyelidikannya,” sahut rekannya.
Di tempat yang berbeda, Polisi yang bernama Dodi baru saja tiba di agensi tempat Karla menjadi modelnya.
“Selamat Malam. Bisakah saya bertemu dengan Nona Karla?” tanya Dodi pada seorang wanita yang bersiap untuk pulang.
“Selamat malam. Maaf, ada apa bapak mencari Karla, apakah dia melakukan pelanggaran?” tanya wanita itu dengan kening berkerut.
“Sejauh ini tidak. Ada informasi yang kami perlukan dari Nona Karla sehubungan dengan teman prianya,” jawab Dodi.
“Teman pria? Setahu saya dia tidak mempunyai teman pria,” jawab wanita itu lagi.
“Kalau begitu, bisakah kami bertemu dengannya?”
Wanita itu menatap Dodi tajam. Dalam hatinya bertanya mengapa mereka datang ke studio dan tidak mendatangi rumahnya. Apakah mungkin polisi sudah mencari Karla di rumahnya tetapi tidak bisa menemukannya?
Berpikir kalau polisi sudah mendatangi rumah Karla dan dia juga tidak mau polisi terlalu lama berada di studionya membuat wanita itu memutuskan agar memanggil Karla.
“Kalau begitu, silahkan bapak tunggu di ruangan saya sementara karyawan saya akan memanggil Karla,” kata wanita itu ramah.
“Terima kasih.”
Tidak perlu waktu lama menunggu karena Karla langsung datang dan wajahnya terkejut begitu mengetahui siapa yang mencarinya.
“Selamat malam, kalau boleh saya tahu ada apa bapak mencari saya,” tanya Karla.
Dodi melihat Karla yang sudah ada di dalam ruangan masih dengan memakai busana pemotretan pada mala mini.
“Hari ini seorang lelaki ditemukan dengan luka di kepalanya. Dari keterangan gadis yang menemukan dan membawanya ke rumah sakit, sebelumnya dia bersama dengan Anda di sebuah kafe,” beritahu Dodi dengan mata tajam mengawasi Karla.
“Dan siapakah lelaki yang bapak maksud? Sejak siang saya sudah beberapa kali bertemu dengan rekan-rekan di café yang berbeda. Kalau boleh, siapa nama lelaki ini,” ujar Karla setelah berpikir beberapa saat.
“Sayangnya kami tidak menemukan satu-pun identitasnya. Kami berharap nona bisa memberikan informasi siapa sebenarnya lelaki ini,” jawab polisi.
Dengan senyum tidak peduli, Karla mengatakan kalau dia tidak tahu. Cukup banyak lelaki yang hanya berpura-pura mengenalnya hanya untuk mendapatkan popularitas.
Polisi kembali menanyakan Karla dengan nada mendesak dan mengingatkan kalau saksi melihat Karla berdebat di café tersebut. Tapi lagi-lagi di sangkal oleh Karla.
Tanpa menyebut namanya, Karla mengatakan kalau salah satu penggemarnya mengusik waktu pribadinya sehingga dia terpaksa berbicara keras agar penggemarnya mengerti.
“Apakah nona tahu siapa nama fans Anda, itu?”
“Sayangnya tidak. Saya rasa bapak tidak akan menyarankan saya untuk mengingat semua nama tersebut,” jawab Karla mengelak.
Dia tidak mau mengatakan kalau dia bertemu dengan Abyan sebelumnya. Karla khawatir kalau polisi akan membuat namanya tercemar kalau dia mengatakan pernah dekat dengan Abyan sementara mereka bahkan tidak pernah saling terbuka.
“Lalu mengapa ada saksi yang mengatakan kalau Anda bertengkar dengan korban?”
Pertanyaan Dodi sesaat membuat wajah Karla pucat, tetapi pada saat ini dia belum membersihkan wajahnya sehingga Karla yakin perubahan warna wajahnya tidak akan diketahui oleh Dodi.
“Mungkin saja. Terkadang ada fans yang membuat emosi kita meningkat apalagi fans tersebut sama sekali tidak berniat baik,” jawab Karla kembali.
“Maaf, masih berapa banyak lagi pertanyaan yang harus saya jawab. Malam ini saya akan keluar negeri untuk pemotretan jadi, saya tidak bisa menjawab pertanyaan bapak lagi sementara saya sama sekali tidak tahu dan mengenal siapa korban yang bapak maksud,” kata Karla mulai berdiri.
“Baiklah. Terima kasih atas kerja sama Anda. Selamat malam.”
Karla mengikuti kepergian Dodi dengan matanya. Benaknya mulai berkelana mencoba menginat apa saja yang dikatakan oleh polisi tadi. Abyan menjadi korban dan dia berada di rumah sakit. Apakah dia harus memberitahu HSP atau dia hanya perlu diam saja?
Ternyata Karla sama sekali tidak tahu budi. Dia melupakan kebaikan yang sudah pernah diberikan oleh Abyan. Karla merasa tidak ada tanggung jawab maupun kewajiban untuk mengatakan pada HSP bahwa Abyan ada di rumah sakit dan tidak ada identitas yang menyertainya.
“Aku dan Abyan sudah putus hubungan dan aku juga sudah memutuskan bahwa aku tidak peduli lagi. Kalau tidak ada yang mengenali dirinya, anggap saja dia lagi apes,” katanya sambil melangkah menuju toilet.