Berjalan mondar-mandir sepertinya mulai menjadi kebiasaan Emma. Sejak bangun tidur tadi, dia bingung apakah harus datang ke rumah sakit atau tidak. Hatinya belum juga tenang juga ingin tahu apa yang terjadi dengan si Om ganteng.
Hari ini dia berencana untuk melihat si om ganteng tapi dia takut kalau kedatangannya membuat keamanan pasien tersebut dalam bahaya. Emma ingin tahu apakah keluarga korban sudah bisa dihubungi atau tidak mengingat tidak ada identitas yang menyertainya.
Emma bermaksud mengajak Baina untuk bertemu dengan Karla. Dia yakin Karla tahu siapa Si Om ganteng karena dia terlihat begitu dekat. Menurut Emma tidak mungkin seorang kekasih tidak tahu siapa nama dan keluarga dari kekasihnya sendiri. Emma tidak tahu kalau keluarga pasien sudah mengetahui karena Abyan bukan berasal dari keluarga yang biasa.
Pada saat dia berpikir mana yang harus dia lakukan antara datang ke rumah sakit dan mengajak Baina bertemu dengan Karla, Emma mendengar pesawat telepon di meja yang berada di ruang keluarga berbunyi nyaring membuatnya nyaris melompat saking terkejutnya.
Masih dengan daeda berdebar karena terkejut, Emma berjalan ke ruang keluarga lalu menganggat gagang teleponnya.
“Halo, Assalamualaikum. Aku telepon kamu ke ponsel kok gak diangkat,” suara Baina yang mengomel terdengar nyaring di telinganya membuat Emma menjauhkan gagang teleponnya.
“Waalaiakum salam. Gila, ya. Kuping sakit, nih!” omel Mayang.
“Aku pikir kamu gak denger. Udah berkali-kali aku telepon gak juga dijawab. Hari ini ada acara gak?” kata Baina tidak sabar.
“Ada, tapi tergantung kamu mau bantu in aku apa enggak.”
“Lah kok? Emang apa urusannya sama aku?” tanya Baina balik bertanya.
“Masalahnya aku harus jadi anak manis selama orang tuaku gak ada di rumah,” jawab Emma dengan manis.
“Harus kok gak rela begitu. Tapi memang mau ngapain kamu sampe tergantung sama aku?” tanya Baina lagi.
“Aku mau ngajak kamu ketemu sama Karla. Ada yang mau aku tanya-in sama dia,” jawab Emma.
“Soal apa-an? Tapi aku mau minta tolong sama kamu juga. Temenin aku ke rumah sakit ya,” kata Baina.
“Ke rumah sakit, mau ngapain? Emangnya kamu sakit?” kata Emma.
Baina tidak perlu tahu kalau wajah Emma begitu berseri mendengar kata rumah sakit walaupun dia sendiri belum tahu Baina mau ke rumah sakit mana. Bodoh.
“Bentaran aja. Kak Maya, hari ini akan melahirkan dan suaminya dalam perjalanan dari luar kota, jadi aku ditugaskan untuk temani dia sampai suaminya datang,” kata Baina berusaha menjelaskan.
“Di rumah sakit mana, lama gak?” tanya Emma
“Di klinik Bunda Hasfiya. Gak lama kok, bisa, kan?”
Baina berusaha membujuk Emma. Dia adalah orang yang paling segan pergi ke rumah sakit untuk alasan apa pun sementara Emma, Emma adalah orang yang selalu bersedia diminta-in tolong mau kemana pun.
“Dari rumah sakit aku pasti temenin kamu ketemu Karla, gimana? Nanti aku jemput kamu di rumahmu? Mau, ya,” bujuk Baina.
“Jam berapa? Aku belum sarapan apalagi makan,” sahut Emma dengan maksud tertentu.
“Aku tahu ibu kamu gak ada di rumah. Nanti aku yang traktir, tapi kamu mau temani aku, kan?” bujuk Baina kembali.
“Baiklah. Jam berapa kamu datang ke rumahku.”
“Setengah jam lagi aku ke rumah kamu. Pokoknya kamu siap-siap aja, jadi aku gak perlu nunggu lama,” pesan Baina yang langsung disetujui oleh Emma.
Emma bersyukur karena Allah sudah memberikan jalan padanya sehingga bisa ke rumah sakit tanpa menarik perhatian orang lain.
Dengan wajah berseri karena Baina sudah membuatnya tidak pusing dan sakit kepala lagi, Emma segera bersiap-siap, bagimana pun dia harus minta ijin pada ibunya dulu sebelum ke luar rumah. Dan Emma beruntung karena, sekali lagi selama pergi bersama dengan Baina, Ibunya akan percaya.
Satu jum sudah berlalu, seharusnya Baina sudah tiba di depan rumahnya karena jarak rumahnya dengan rumah Baina lumayan cukup jauh, apalagi bila Baina ke rumahnya dengan berjalan kaki.
Suara klakson mobil dari luar pintu pagar membuat Hendra, penjaga rumah yang diberikan kepercayaan oleh Ardan segera berlari keluar. Dan dia langsung membuka pintu pagar setelah melihat siapa yang ada di dalam mobil.
“Selamat siang Mang Hendra. Emma ada?” tanya Baina basa-basi begitu dia keluar dari dalam mobil.
“Ada Neng, tadi udah berdiri di teras, kok,” jawab Hendra sambil menutup pintu pagar kembali.
“Oh, saya ke dalam dulu, ya, Mang,” kata Baina.
Namun, langkah kakinya tidak sampai ke pintu teras karena Emma sudah keluar dari dalam rumah dan dia sudah siap dengan tas yang selalu dia bawa.
“Eh, cepet banget,” kata Baina yang terkejut karena Emma langsung menarik tangannya.
“Kalau gak cepet, aku harus sarapan dulu. Kau mau menunggu Bik Siti selesai masak?” tanya Emma.
“Enggak-lah. Ibu aku udah telepon terus, minta aku supaya cepet sampe,” tolak Baina yang ditanggapi dengan cengiran Emma.
“Mang, Emma nemenin Baina ke rumah sakit dulu ya. Emma tadi udah telepon ibu dan di kasih ijin,” beritahu Emma pada Hendra.
“Hati-hati. Terus pulangnya gimana? Dianterin lagi, kan?” kata Hendra. Pertanyannya terakhir dia tujukan pada Baina yang langsung menjawabnya.
“Iya, Mang. Pokoknya Mang Hendra gak perlu khawatir. Emma pulang dalam keadaan selamat dan tidak kurang suatu apa pun. Dijamin!”
Suara tawa Baina membuat Hendra tersenyum. Dia tidak mungkin melarang Emma pergi sementara Lailla sendiri sangat percaya pada temannya Emma yang bernama Baina.
Setelah berpamitan, Baina mulai cerita kalau kemarin dia melihat Karla yang didatangi polisi. Tidak ada yang melihat kehadiran dirinya karena dia pun tidak tahu apa yang sedang dibicarakan dan kepentingan polisi menemui Karla.
“Bagaimana bisa kamu lihat Karla didatangi polisi?” tanya Emma dengan kening berkerut.
Pertanyaan apakah Polisi menindaklanjuti laporannya membuat Emma berpikir kalau keluarga om ganteng sudah mengetahui keadaannya. Setidaknya sudah ada identitas yang diberikan pada om ganteng.
“Eh, kok bengong? Mikir apa-an, sih?” senggol Baina begitu dia melihat Emma seperti bingung dan bukannya berpikir.
“Gak apa-apa, terus hari ini dia ada di studio kan?” tanya Emma memastikan karena dia juga mempunyai maksud untuk menemui Karla.
“Entahlah. Tapi dari gossip yang beredar, saat ini Karla tidak boleh meninggalkan dalam kota. Terus tujuan kamu mau ketemu Karla, untuk apa?” tanya Baina.
“Aku mau tanya siapa nama Om Ganteng itu dan dimana alamatnya,” tanya Emma.
“Mau ngapain? Minta kiss lagi?” tanya Baina mulai tertawa.
Wajah Emma sangat merah membayangkan perbuatan Abyan yang telah mencuri ciuman pertamanya. Ciuman yang dilakukan dengan kasar, singkat dan dipenuhi oleh kemarahan.
“Astaga…Emma, kamu serius mau cari tahu soal om ganteng karena alasan tersebut?” goda Baina karena Emma hanya diam.
“Sembarangan. Ada yang mau aku cari tahu, tapi aku gak bisa kasih tahu kamu saat ini. Bagaimana pun ini adalah rahasia,” jawab Emma dengan suara dan wajah yang selalu membuat lawan bicaranya jengkel karena penasaran.