Emma dan Dokter Syarif masih bercakap-cakap ketika terdengar suara seperti alarm dari pergelangan tangan Dokter Syarif yang memakai semacam gelang.
“Ada apa? Dan suara darimana?” tanya Emma ingin tahu.
Tanpa memberikan jawaban pada Emma, Dokter Syarif bergegas kembali ke ruang perawatan yang baru saja dia tinggalkan. Kemana lagi kalau bukan ke ruangan tempat Abyan di rawat.
Seperti Dokter Syarif yang melangkah dengan cepat, Emma juga mengikutinya dan dokter sepertinya lupa melarangnya masuk.
Di dalam ruangan, Emma menatap tidak percaya. Sebelumnya dia sudah melihat keadaan Abyan melalui layar cctv yang terhubung ke ponselnya tetapi kini melihatnya secara langsung bagaimana tubuh Abyan yang terpasang bermacam-macam kabel yang tidak diketahui fungsinya membuat Emma tidak bisa berpikir.
“Apa yang terjadi dengannya, apakah dia mulai sadar?” tanya Emma, entah pada siapa karena dokter dan para perawat semua sibuk memeriksa keadaan Abyan.
Cukup lama Emma memperhatikan keadaan Abyan sementara dokter terus melakukan tugasnya hingga suara helaan nafas lega terdengar dari beberap aorang yang ada di dalam ruangan tentu saja tidak termasuk Emma karena dia sama sekali tidak mengerti.
“Syukurlah keadaannya mulai mengalami perubahan. Aku salut dengan ketahanan tubuhnya yang luar biasa. Tidak banyak pasien yang bisa melalui semuanya begitu cepat dan dia adalah sebuah pengecualian,” gumam dokter.
Emma masih berdiri dan dia mendengar ucapan dokter hingga kini dia ikut menarik nafas dengan lega, tidak sadar kalau dia sudah menahan nafas setelah beberapa saat.
“Bagaimana keadaannya, Dok? Apakah semakin membaik?” tanya Emma kembali.
“Emma?”
Suara dokter yang memanggil namanya seolah dia baru sadar kalau Emma ikut masuk ke ruangan yang sama tanpa memakai pakaian medis. Kesalahan sudah dia lakukan dan dia terlalu ceroboh hingga tidak menyadari Emma mengikutinya.
“Maaf, Dok. Emma penasaran ketika dokter berlari hingga Emma mengikuti,” gumam Emma pelan.
“Sudahlah. Keadaannya memang semakin membaik. Berharap hari ini dia bisa melewatinya dengan lebih baik,” jawab dokter.
“Tapi…dia mulai sadar, kan?” tanya Emma penasaran.
“Kita semua mengharapkan dia cepat sadar, tapi tidak secepat itu. Kemajuan dari aktifitas otaknya cukup menggembirakan setelah beberapa waktu sama sekali tidak mengalami kemajuan setelah semalam,” kata Dokter Syarif.
“Tidak ada kemajuan? Maksud dokter yang semalam itu adalah gerakan pertama dia sejak operasi?”
Emma tidak percaya kalau pasien belum sadar sama sekali sejak keluar dari kamar operasi. Sebelumnya Emma mengira pada saat pasien dipindahkan oleh dokter, dia sudah sempat sadar, ternyata kejadiannya tidak seperti itu.
Tanpa sadar Emma menarik nafas panjang hingga menarik perhatian Dokter Syarif yang sudah selesai mengecek keadaan Abyan.
“Sekarang kita keluar. Aku yakin sebentar lagi pihak keluarganya akan datang untuk menanyakan informasi tentang Abyan,” beritahu Dokter Syarif.
“Keluarga? Maksud dokter dia sudah ditemukan oleh keluarganya? Jadi namanya Abyan, tapi kenapa keluarganya belum juga datang? Menurut dokter kenapa dia tidak dikunjungi oleh keluarganya?”
Pertanyaan yang lebih mirip dengan serangan mendadak membuat Dokter Syarif tersenyum. Dia sudah terlalu biasa mendengar segala macam pertanyaan yang berasal dari Emma. Baginya Emma lebih seperti cucu-nya daripada seorang anak remaja yang serba ingin tahu.
“Benar. Keluarganya sudah datang untuk memastikan apakah Abyan bagian keluarganya atau bukan. Dan sebutan yang kau berikan menjadi tanda bahwa dia adalah keluarga mereka. Apalagi mereka menyimpan gambar yang kau buat tentang om ganteng itu,” jawab dokter.
“Aku tidak menyangka dia begitu cepat ditemukan,” gumam Emma pelan dan nyaris tidak terdengar.
“Apa yang kau harapkan kalau dia tidak buru-buru ditemukan oleh keluarganya? Menjadi bagian terpenting dalam hidup Abyan?”
Pertanyaa dari dokter hanya bisa membuat Emma nyengir. Bagaimana dia bisa setuju dengan ungkapan dari dokter kalau dia ingin menjadikan lelaki yang ternyata bernama Abyan menjadi bagian hidupnya. Apa dia kekurangan teman atau dia gadis remaja yang sangat menyedihkan hingga harus berharap pada seeorang lelaki yang lebih pantas dia panggil Om?
“Eh, kenapa diam? Kau memikirkan Abyan seperti apa?” tanya dokter membuat Emma memberikan perhatian lebih padanya.
“Entahlah. Aku tidak terlalu mengenalnya dan seperti yang dokter tahu, aku bahkan tidak tahu siapa namanya, jadi, mana mungkin aku memikirkan dia seperti apa dan siapa,” jawab Emma.
Dokter Syarif memandang Emma penuh selidik. Matanya tidak bisa dibohongi bahwa Emma memiliki perhatian pada Abyan dan entah sadar atau tidak, Emma mulai menyukainya.
Perhatian Dokter Syarif pada wajah Emma mendapat gangguan saat ponsel yang dia simpan di saku jas-nya terngar pelan, lebih pelan daripada suara alarm yang sudah berhasil memberikan mereka kejutan.
Dokter melihat nama Samudera dilayar ponselnya hingga dia langsung menjawabnya.
“Selamat siang, Pak Sam. Apakah Baoak akan datang ke sini?” sapa dokter begitu sudah terhubung dengan penelepon.
“Tidak. Maksudku…sebelumnya aku akan datang, tetapi di depan rumah sakit aku melihat beberapa orang asing seperti menunggu seseorang, jadi aku membatalkan niatku. Bagaimana dengan Abyan, apakah mengalami kemajuan?”
Setiap kata dan kalimat yang diucapkan Sam membuat dokter berusaha memahaminya. Lebih mudah bicara dengan Sam apabila memakai Bahasa Inggris daripada dengan bahasa mereka masing-masing.
“Perubahan yang sangat cepat dialami oleh Abyan. Sejak tanda vitalnya mulai bergerak, siang ini adalah kemajuan yang sangat luar biasa bagi pasien seperti Abyan,” ujar dokter menjelaskan.
“Syukurlah. Sayang sekali aku tidak bisa datang. Kalau boleh aku tahu, bagaimana Emma bisa berada di ruangan Abyan? Apakah tidak menimbulkan kecurigaan?” tanya Sam.
Pertanyaan biasa, tetapi bila diucapkan dengan nada yang berbeda sudah sangat jelas artinya sehingga dokter menyatakan permintaan maafnya. Dia terlalu terburu-buru untuk mengetahui perkembangan Abyan hingga tidak sadar Emma mengikutinya.
“Aku yakin sebagai dokter, Anda sangat mengerti dengan resikonya tetapi bagaimana Emma bisa masuk ke rumah sakit? Apakah tidak menimbulkan kecurigaan?”
“Saya rasa tidak. Emma datang bersama dengan temannya. Mereka menemui dan menemani pasien yang akan melahirkan,” beritahu dokter.
“Begitu. Kalau boleh, aku ingin bicara dengan Emma, apakah dia ada bersama dengan Anda?” tanya Sam setelah beberapa saat.
“Emma sudah masuk ke ruang pasien kakak temannya. Apakah perlu dipanggil?” tanya Dokter Syarif.
“Tidak perlu. Aku akan menghubunginya langsung saja. Terima kasih atas kesigapan dan semua yang sudah dokter lakukan. Aku tidak akan melupakan semua kerja keras dokter yang telam membantu Abyan. Apabila ada yang dokter perlukan untuk klinik tempat Anda bekerja, sampaikan saja padaku.”
Dokter Syarif sudah mencari tahu siapa Samudera Edgar Pravitel dan dia juga tahu siapa Abyan yang lebih dikenal dengan nama Benua melalui browsing setelah Sam mengenalkan dirinya.
Tidak banyak nama Pravitel dikota Jakarta dan Dokter Syarif menemukan hanya ada satu, dan dia langsung bisa menebak siapa dia walaupun tidak ada foto atau gambar yang menyertainya.
“Terima kasih atas tawaran Anda, tetapi saat ini kami hanya bisa berusaha agar kesadaran Abyan terus bertambah sehingga tidak akan lama lagi akan segera sadar,” jawab dokter.
“Aku menunggu saat Anda mengatakan Abyan sudah cukup aman untuk meninggalkan rumah sakit,” jawab Sam.
Senyum dokter terlihat dibibirnya. Dia sangat mengetahui apa yang akan terjadi dan dilakukan oleh Sam begitu keadaan Abyan dinyatakan tidak kritis lagi. Tidak mungkin keluarga Pravitel membiarkan putra bungsunya, calon penerusnya menerima perawatan di rumah sakit local.
Tidak, bukan rumah sakit melainkan hanya sebuah klinik yang secara kebetulan memiliki fasilitas yang cukup lengkap, tidak kalau dengan rumah sakit swasta lainnya.