Tersebar rumor kalau Doni dan Andin berpacaran di seantero sekolah, tapi yang lebih santer terdengar gosipnya adalah kalau Andin sedang mendekati Andin. Semua itu karena kejadian Doni membantu Andin membawakan bola voli dan bahkan menyindir teman sekelas Andin seolah tengah marah karena ‘pacarnya dibegitukan’ oleh mereka. Tapi ada juga yang membuat kabar kalau Andin yang meminta Doni—bahkan mungkin memaksa—membawakan jaring bola voli, makanya Doni jadi julid waktu sampai di lapangan.
Mungkin karena Doni sudah masuk ke jajaran siswa terkenal, cowok ini tentu tidak akan bisa terhinddar dari gosip.
Andin yang mendengarnya jadi tidak enak. Dia tidak masalah kalau siswa lain menggosipkannya, toh sudah sering dia mendapatkan gosip yang kadang tidak sesuai fakta, namun itu akan hilang sendiri juga karena dia tidak pernah memberikan tanggapan apa pun. Tapi karena menyeret orang lain, Andin pun sepertinya harus meminta maaf pada Doni.
Jadi dia bertekad akan melakukan itu ketika nanti bertemu lagi dengan Doni. Kalau mereka bertemu di rumah cowok ini malah lebih bagus, orang lain jadi tidak tahu pembicaraan mereka.
“Lo udah siapin materi rapat hari ini?” Bagus muncul di sebelah Andin membawa peralatan lukis yang baru saja dibeli oleh anggota eskul lainnya. Dia menegur Andin yang tampak sedang melamun di sudut ruangan.
Andin segera tersadar lalu menganggukkan kepalanya. “Iya... tapi nanti kalau ada bantahan dari pembimbing lagi, tolong bantu ya untuk jelaskan. Agak ribet juga kalau tiap rapat bakal dikasi kritik terus dan alhasil harus ubah rencana yang udah rapih di rapat sebelumnya,” pinta Andin pada Bagus yang bisa dibilang jago berbicara untuk membujuk orang lain.
“Sip, sip. Nanti gue sampein ke temen lain juga buat kompak,” kata Bagus mengiyakan.
Senyum Andin langsung muncul karena senang dia tidak akan berpikir keras lagi menghadapi kritik yang sebenarnya bisa saja membangun, tapi kritik dari pembimbing eskul mereka ini malah merusak rencana yang sudah ada. Sangat merepotkan kalau begitu terus.
Rapat pun di mulai dalam waktu 11 menit kemudian. Salah satu ruang kelas yang dipakai untuk rapat tampak ramai oleh diskusi eskul lukis. Dari 46 anggota yang terdaftar, ada 26 siswa yang aktif mengikuti setiap kegiatan di eskul ini. Yang aktif berbicara bisa dibilang tida lebih dari 10 orang tapi rapat kali ini tetap kelihatan sangat berjalan lancar.
Seperti yang direncanakan sebelumnya, Andin mendapatkan bantuan Bagus dan teman-temannya ketika pembimbing mereka, Pak Wayan kembali mengusulkan rencana baru karena merasa tidak puas dengan rencana yang sudah disusun. Sebab beliau memang cukup perfeksionis, tapi untung saja teman-teman lainnya bisa meyakinkan Pak Wayan kalau tidak perlu lagi ada perubahan untuk rencana hajat eskul ini yang sebentar lagi akan berlangsung.
***
“Fyuh... Pak Wayan akhirnya ngalah juga untuk kali ini dan setuju sama run-down acaranya,” celetuk Rhea, siswa cewek dari kelas lain yang mengikuti eskul lukis. Dia tengah bersama Andin membawa berkas-berkas setelah rapat untuk kembali ke tempat ‘kantor’ eskul mereka berada.
Yang karena kecil, mereka harus mengadakan rapat atau kegiatan yang melibatkan orang banyak dengan meminjam ruang kelas atau ruangan besar di sekolah.
“Iya, Rhe... nggak kebayang sih kalau akan ada perubahan lain lagi. Bakal ada pembengkakan biaya dari yang udah tertera nantinya. Kalau udah gitu bakal ribut lagi sama bendahara,” sahut Tami, teman eskul Andin yang lain. Sedangkan Andin hanya ikut manggut-manggut menyetujui.
Mereka berjalan bersisian bertiga melewati lapangan basket yang ramai karena ada sparing dengan sekolah lain. Makanya dari tadi ada bersliweran siswa sekolah dengan seragam identitas yang berbeda di sekolah ini. Karena hari ini hari Kamis, maka bisa terlihat perbedaan yang ada, bukan memakai putih abu-abu atau pramuka.
“Eh abis berberes lihat sparing, yuk?” ajak Rhea ketika mereka sudah sampai di kantor eskul lukis.
“Boleh, mau cuci mata juga lihat sekolah lain. Jarang-jarang gue bisa punya niatan masih di sekolah,” sahut Tami yang punya jiwa sekolah-pulang, sekolah-pulang. Kalau dia tidak ikut eskul demi bisa menambah nilai masuk fakultas seni saat lulus sekolah nanti, dijamin dia akan selalu langsung pulang begitu jam sekolah berakhir.
“Lo gimana, Ndin? Ikut? Atau mau pergi ke mana lagi?” tanya Rhea yang tahu Andin masih harus melakukan pekerjaan lain karena keadaan ekonomi keluarganya.
Andin sejenak melirik ke jam dinding yang ada di ruangan, dia melihat kalau masih ada waktu setidaknya setengah jam lagi untuk bisa menikmati waktunya sebagai siswa sekolah biasa.
“Aku bisa ikut sebentar, tapi nanti bakal pulang duluan sih,” jawabnya kemudian.
Rhea dan Tami langsung mengangguk mennyetujuinya. Mereka bertiga kemudian berjalan keluar ruang eskul lukis lalu menguncinya. Kunci itu dibawa Rhea yang besok akan masuk lebih dulu ke ruang ini nantinya.
Dalam perjalanan menuju lapangan basket, Andin tiba-tiba ingin sekali ke toilet karena ingin pipis. Dia pun bepisah dari dua temannya yang dia minta untuk duluan saja dan tidak usah menunggunya. Andin dengan tergesa menuju toilet yang ada di ujung ruangan. Saking tergesanya dia, Andin pun tidak bisa menghindari tabrakan dengan seseorang yang baru saja keluar dari toilet laki-laki.
Terdengar suara bedebum kala Andin jatuh ke lantai karena tubuh mungilnya menabrak siswa laki-laki yang berbadan lebih besar darinya. Dan siswa itu adalah Doni, lagi-lagi dia menabrak cowok ini.
“Lo nggak papa?” tanya Doni yang terkejut juga kalau dia sekali lagi bertubrukan dengan Andin, tapi kali ini Andin sampai jatuh karena dia juga dalah posisi lari dari dalam toilet.
Doni mengulurkan tangannya pada Andin yang disambut oleh cewek ini karena butuh bantuan untuk berdiri. Setelah Andin berhasil berdiri sempurna, mereka sempat canggung karena tangan mereka yang masih bertaut. Dengan jantung yang tiba-tiba berdebar, mereka melepaskan sentuhan tangan mereka itu.
“Makasih,” ucap Andin. Dan kemudian dia ingat untuk meminta maaf pada Doni soal gosip yang beredar di sekoalh, tapi belum dia menyelesaikan kalimatnya dan menyampaikan maksudnya, cowok ini sudah memotongnya. “Soal gos—“
“Sorry, gue harus balik ke lapangan. Kalau ada sesuatu tolong sampein nanti aja, Ndin,” kata Doni yang kemudian berlari ke arah lapangan basket meninggalkan Andin yang sedikit terkejut akan sikap Doni.
Dia tidak mau ambil pusing soal itu tapi memang bisa dibilang sempat ada rasa kecewa melihat Doni baru saja ‘mengabaikannya’. Segera saja Andin menggelengkan kepalanya karena pemikirannya yang sangat tidak bijak barusan.