PART. 6 HENING

1401 Kata
Darsa membaca tulisan di kertas. "Aku Hening, aku bisu, tapi tidak tuli. Aku bertemu orang di jalanan desa, Orang itu mengatakan, Paman butuh orang untuk membantu di sini? Aku perlu pekerjaan, untuk membeli beras. Aku bisa membantu pekerjaan apa saja. Di kebun, atau di dalam rumah." Darsa membaca dengan suara nyaring. Darsa, sang Pangeran dari Negeri Halimun, yang kena kutuk, tentu saja membutuhkan seorang manusia, untuk membantunya hidup di dunia manusia. Tapi, wanita di hadapannya, teramat sangat tidak menarik hatinya, namun ia sangat butuh bantuan, agar bisa bertahan hidup dalam masa hukumannya. "Siapa yang memberitahumu, apa orang kampung sini juga? Apa pemilik warung besar di bawah sana?" Tanya Darsa penasaran, karena orang yang ia kenal saat ini hanya suami istri pemilik warung. Wanita itu kembali menulis dikertas. Diserahkan pada Darsa kertas kecil itu. "Bukan, aku tidak kenal, dan belum pernah melihat orang itu sebelumnya. Tolong terima aku bekerja, Paman. Aku mohon." Darsa kembali membaca dengan suara nyaring. "Saat ini aku tidak punya uang untuk membayarmu," ucap Darsa. Gadis itu menulis lagi. Lalu menyerahkan kertas yang ia sobek pada Darsa. "Tidak masalah, tak apa aku dibayar setelah panen. Asal aku diberi makan pagi, dan siang hari." Darsa kembali membaca tulisan dengan suara nyaring. "Baiklah, aku setuju." Kepala Darsa mengangguk. "Terima kasih, Paman. Aku akan kembali besok pagi." Wanita itu kembali menyodorkan kertas di tangannya. Darsa membaca dengan nyaring seperti tadi. "Baiklah! Eh tunggu, berapa usiamu?" Tanya Darsa sebelum wanita itu beranjak dari hadapannya. Gadis itu memperlihatkan satu jari telunjuk, lalu sembilan jari pada Darsa. "Sembilan belas tahun?" Tanya Darsa. Kepala wanita itu mengangguk. "Sudah menikah?" Kepala gadis bernama Hening itu menggeleng. "Baiklah, kamu bisa pergi, dan kembali besok pagi," ucap Darsa. Gadis itu membungkukkan tubuh sedikit, mulutnya bergerak mengucapkan terima kasih, lalu ia berbalik, dan berlari pergi. Darsa menatap gadis itu sampai menghilang dari pandangan. Sesaat kemudian tubuhnya bergidik, teringat wajah gadis itu yang terlihat kusam, dan pakaiannya yang lusuh. Darsa yakin, kehidupan Hening sangatlah miskin, sehingga penampilannya seperti itu. "Huh, kenapa tadi aku setuju saja. Masa aku harus bersama gadis kumal itu sepanjang hari. Arghh! Tapi aku memerlukan bantuannya. Jaga jarak dengan dia, Darsa. Jaga jarak!" seru Darsa pada dirinya sendiri. Darsa kembali bergidik, ini pertama kali ia melihat seorang wanita sejelek Hening. Tak ada satu hal yang menarik dari Hening. 'Sudah jelek, bisu pula. Apa dengan badan kecilnya dia bisa bekerja dengan baik? Bagaimana kalau mengangkat satu ember air saja dia tidak sanggup? Huh, mungkin orang dari pengadilan negeri Halimun yang bertemu dengannya. Karena hanya mereka yang tahu aku butuh seseorang untuk membantuku. Kenapa gadis itu yang mereka kirimkan. Huh, kalau aku protes, pasti hukumanku akan mereka tambah nanti.' Darsa terus menggerutu di dalam hati. Ia terkejut ketika tiba-tiba suara dari pengadilan negeri Halimun menghardiknya. "Jangan menggerutu, Darsa. Kami sudah berbaik hati dengan mengirimkan gadis bisu itu untuk membantumu!" "Iya, maaf. Terima kasih," sahut Darsa. Darsa menatap langit yang mulai menghitam. Ia harus mandi sekarang. Darsa masuk ke dalam rumah. Ia menanggalkan pakaian, lalu melilitkan handuk di pinggang. Kemudian ia ke luar rumah dari pintu belakang, menuju sungai untuk berendam, dan membersihkan diri. Saat berendam, ia membersihkan miliknya. Ia yakin, gadis itu sudah melihat apa yang tadi ia lakukan. Namun wajah gadis itu tanpa ekspresi terkejut, atau bagaimana. Tatapannya datar saja, tidak terlihat rasa takut juga. Justru menawarkan diri untuk bekerja padanya. 'Huh! Apa dia tidak takut aku perkosa? Atau dia sudah terbiasa melihat milik pria dewasa yang sedang mencari kepuasan. Tapi dia terlihat sangat polos, aku tidak yakin dia paham tentang hal itu. Lagipula dengan penampilannya seperti itu. Pria mana yang bisa tertarik pada dia. Jelek, buluk. Argh, yang jelas dengan adanya dia, aku bisa menikmati hukuman ini. Aku bisa santai, dan dia yang bekerja.' "Apa yang ingin kau nikmati, Darsa! Jika kau bermalasan, dan hanya mengandalkan gadis itu untuk mengerjakan tugasmu, maka masa hukumanku akan di tambah!" Tiba-tiba suara dari pengadilan negeri Halimun terdengar lagi. "Hey, kenapa kau selalu ingin menambah hukumanku!?" Protes Darsa marah. "Hukuman ini untuk merubahmu menjadi lebih baik. Atau kau juga ingin dihukum mati seperti saudaramu!?" Ancam suara itu. "Tidak, tidak, tidak! Baiklah, aku terima hukuman ini. Akan aku patuhi semua keinginanmu!" Cepat Darsa bicara seraya menggoyangkan telapak tangannya. "Bagus, selamat bekerja keras, Darsa!" Nada puas terdengar dari suara itu. Darsa menghembuskan kuat napasnya. Ia menyudahi mandi, lalu menaiki undakan untuk kembali ke rumah. Setelah tiba di rumah, Darsa masuk ke dalam kamarnya. Ia berpakaian, kemudian ke luar kamar untuk menuju dapur. Darsa memeriksa tungku, apakah sudah bisa digunakan untuk menyalakan api. Darsa merasa beruntung karena tungku sudah bisa dinyalakan lagi. Ia memasak mie instan yang tadi dibeli, dicampur satu biji telur ayam. Makanan yang teramat sangat sederhana, sangat berbeda dengan yang biasa ia santap di istana, namun Darsa merasakan nikmatnya luar biasa, setelah seharian hanya makan bubur gosong saja. Malam ini, Darsa bisa tidur dengan sangat lelap, karena perut yang sudah kenyang, dan napsu syahwat yang sudah terpuaskan, meski hanya dengan telapak tangannya sendiri. *** Darsa tersentak bangun, karena suara gedoran di pintu. Jantungnya berdegup lebih kencang, perasaannya cemas kalau itu adalah preman yang kemarin kembali datang. Mungkin saja para preman itu tahu ia sudah menjual telur, dan ingin mengambil uang sisa yang tak seberapa. Suara gedoran di pintu bertambah nyaring. Darsa turun dari atas dipan, lalu menyeret langkah ke luar kamar, dan menuju pintu depan. Ia takut pintu akan didobrak. Kalau pintu rusak, bagaimana ia bisa membetulkan. Darsa membuka pintu dengan perlahan. Dilihat Hening, gadis yang kemarin berdiri di depan pintu. Ia tersenyum, menampilkan giginya yang putih, dan rapi. Sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang belang. Darsa melebarkan pintu. Hening masuk ke dalam. Ia mengeluarkan buku, dan pensil, lalu menulis sesuatu. Diberikan pada Darsa kertas itu. "Aku lapar, belum sarapan. Bisa Paman memberiku makan?" Darsa membaca dengan suara nyaring. "Aku belum memasak, apa kau bisa memasak?" Tanya Darsa. Kepala Hening mengangguk, senyum tersungging di bibirnya. Darsa sekarang tahu, ada hal yang menarik dari Hening. Giginya yang putih, dan rapi, juga senyumnya yang manis. "Di dapur ada beras, mie instan, dan telur, kamu bisa masak itu. Aku mau mandi ke sungai dulu." Kepala Hening kembali mengangguk, ia juga kembali tersenyum. Darsa mengambil handuk di dalam kamar, lalu ke luar dari pintu dapur menuju sungai. Ia ingin mandi, karena tadi malam ia bermimpi, bercinta dengan wanita secantik bidadari. "Wanita cantik hanya ada di dalam mimpi. Yang muncul di hadapanku hanya gadis lusuh yang menjijikkan." Darsa meludah, terbayang wajah Hening. Tubuhnya bergidik, membayangkan yang ada di balik pakaian lusuh gadis bisu itu. "Pasti tidak ada yang menarik dari tubuhnya," gumam Darsa. Darsa segera mandi, karena perutnya sudah berbunyi. Darsa tidak mengerti, kenapa di dunia manusia ia lebih cepat lapar, padahal yang ia makan hanya begitu saja. Selesai mandi, Darsa kembali ke rumah, dengan hanya melilitkan handuk di pinggangnya saja. Ia masuk lewat pintu belakang. Tampak Hening sedang menyeduh teh, di dua cangkir seng. Hening acuh saja dengan kedatangan Darsa. Dia tak menoleh untuk menatap Darsa. Darsa masuk ke dalam kamar untuk berpakaian. Setelah meletakkan pakaian kotor di keranjang bambu yang ada dekat pintu kamar mandi. Setelah Darsa berpakaian. Ia ke luar kamar. Teh, dan pisang rebus terhidang di atas meja. Hening menatapnya, lalu menuliskan di kertas. Diserahkan pada Darsa kertas itu. "Nasi belum masak, makan pisang rebus dulu, Paman. Maaf aku tidak minta ijin dulu merebus pisang." Darsa membaca dengan suara nyaring. Ia duduk di kursi, menikmati teh hangat, dan pisang rebus. Hening duduk di dingklik, kursi kecil yang terbuat dari kayu. Ia juga minum teh, dan makan pisang rebus. Sesaat kemudian Hening berdiri, saat mencium aroma nasi. Hening memindahkan nasi ke dandang yang ada di sebelah panci. Untuk mengukus nasi yang baru setengah matang. Panci bekas nasi ia pindahkan ke tempat mencuci piring. Lalu ia letakkan panci kecil berisi air di atas api. Setelah air mendidih. Hening memasak sebungkus mie kuah, dan diberi telur yang ia pecah di dalam panci berisi mie. Nasi matang, mie juga matang. Darsa memperhatikan Hening yang memindah nasi ke dalam bakul kecil. Dan memindah mie ke dalam mangkok seng. Nasi dalam bakul, dan mie dalam mangkok seng sudah terhidang di atas meja. Kemudian Hening mengambil piring, dan sendok, diletakkan di hadapan Darsa. Dijawil lengan Darsa dengan ujung jarinya. Darsa menatap wajah Hening. Hening memberi isyarat agar Darsa makan. "Kamu tidak boleh dekat-dekat, nanti aku tidak selera makan melihat wajahmu yang jelek ini!" Bentak Darsa sambil menunjuk wajah Hening. Hening mundur selangkah, ia terkejut mendengar bentakan Darsa. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN