PART. 5 TAK BISA MENAHAN NAFSU

1410 Kata
Darsa melangkah, mengikuti jalan setapak di depannya. Jalan yang sedikit menurun. Ternyata tak terlalu jauh untuk menuju jalan besar yang sudah beraspal. Darsa berdiri di ujung jalan setapak, ia bingung harus mengambil arah ke mana, ke kiri, atau ke kanan. Ia melihat orang berlalu lalang, ada yang memakai sepeda motor, ada yang memakai sepeda, ada juga yang berjalan kaki. "Permisi, Pak!" Darsa memanggil seorang pria yang lewat dengan berjalan kaki. "Ya." Si pria berhenti di depannya. "Saya penduduk baru di sini. Rumah saya di atas sana. Saya ingin menjual telur ini. Dimana bisa saya jual, Pak?" Tanya Darsa sambil menunjuk keranjang berisi telur yang ia bawa. "Oh, Akang ini yang membeli rumah, dan tanah Si Min ya?" Si Bapak balik bertanya. Ditatap lekat wajah Darsa. Suaranya ramah, tatapannya juga hangat, ada senyum di bibirnya. Darsa merasa lega melihatnya. "Rumah yang di atas, Pak." Darsa menunjuk ke arah tempat tinggalnya. "Iya itu rumah Si Min. Kalau mau jual telur, ayo bareng saya saja. Si Min biasanya menjual telur di warung istri saya," ujar Si Bapak. "Oh, terima kasih, Pak." Darsa menarik napas lega, karena ia tak perlu bersusah payah mencari lagi dimana harus menjual telur. "Mari, Kang." Bapak itu melangkah. "Iya, Pak." Darsa mengikuti langkah bapak itu. Mereka berjalan beriringan. Darsa bersyukur, bisa bertemu orang yang tepat, di waktu yang tepat. "Tadinya tinggal di mana, Kang?" Tanya si bapak. "Di negeri ... engh, tidak jauh dari sini, Pak." Darsa hampir saja menjawab Negeri Halimun. "Oh ... tanah Si Min itu subur sekali. Panen sayurnya selalu lumayan. Si Min itu orangnya sangat rajin, dan gigih. Anaknya sudah sukses, makanya dijemput anaknya untuk tinggal di kota," cerita si bapak tentang pemilik rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal Darsa. "Iya, Pak." Kepala Darsa mengangguk, mengiyakan cerita Si bapak, padahal ia sendiri tidak tahu apa-apa tentang Si Min yang diceritakan si bapak. "Sudah berkeluarga, Kang?" Si bapak menoleh untuk menatap Darsa. "Belum, Pak." Kepala Darsa menggeleng. "Gadis yang cantik-cantik di desa ini, semakin lama, semakin berkurang. Banyak yang pergi ke kota untuk bekerja." Cerita si bapak. "Oh begitu, Pak." "Iya, Kang. Anak jaman sekarang begitu, tidak mau susah payah bertani, atau berkebun. Mereka ingin kerja ringan, duitnya banyak." Si bapak menghela napas pelan. "Iya, Pak." "Entah siapa nanti yang akan mewarisi sawah-sawah, dan kebun-kebun di desa ini, kalau semua anak mudanya pergi ke kota," ucap bapak itu dengan nada sedih. "Saya rasa pasti masih ada yang mau melanjutkan, Pak," hibur Darsa. "Itu juga harapan saya, Kang. Nah itu warung istri saya." Si bapak menunjuk warung yang cukup besar. Mereka memasuki teras warung. Darsa memperhatikan apa saja yang dijual, ternyata berbagai macam keperluan ada di situ. Dari makanan ringan, bahan pokok, sampai barang plastik, dan pecah belah juga ada. Bahkan ada alat pertanian, dan pakaian juga. Si Bapak memberitahu istrinya, kalau Darsa ingin menjual telur. Si istri menghitung jumlah telur, dan berapa uang yang bisa diterima Darsa. Darsa membeli korek api, minyak goreng, dan mie instan dengan uang tersebut. Juga beberapa bungkus biskuit, dan ikan asin. "Maaf, kalau ingin menjual sayur hasil kebun di mana ya, Bu?" Tanya Darsa pada ibu warung. "Bawa ke pasar, Kang. Sekitar tiga kilometer dari sini." Si ibu warung menunjuk ke arah kanan. "Terima kasih, Bu." "Sudah mau panen, Kang?" Tanya Si Ibu. "Belum, Bu." Kepala Darsa menggeleng. "Oh ... kalau mau jual sayur, harus subuh, Kang. Karena nanti ada yang beli, dan dibagikan ke pasar di kota," ujar Si Ibu memberitahu. "Oh, begitu, Bu." "Iya, Kang. Ini apa lagi belanjanya, Kang?" Si Ibu menunjuk belanjaan Darsa. "Cukup itu saja, Bu." "Ini uangnya masih lebih." Si Ibu memberikan sisa uang dari hasil barter telur, dan belanjaan Darsa. "Terima kasih, Bu, Pak, saya permisi dulu," pamit Darsa. "Iya, Kang, silakan." Suami istri yang ramah itu menjawab bersamaan. Darsa ingin ke luar dari teras warung, ia berpapasan dengan dua orang gadis. Kedua gadis itu menatapnya. Darsa melanjutkan langkah, namun ia sempat mendengar ucapan dua gadis itu. "Orang baru ya, Bi?" Salah satu gadis terdengar bertanya pada ibu pemilik warung. "Iya, itu yang beli tanah Si Min," jawab Si Ibu. "Wajahnya jelek sekali." Terlontar hinaan dari mulut gadis itu. "Hist! Tidak boleh menghina begitu!" Darsa meninggalkan warung itu, ia kembali menyusuri jalan arah kembali ke rumah. Masih terngiang ucapan si gadis yang menyebutnya jelek sekali. Darsa sesungguhnya ingin sekali marah, tapi ia sadar, begitulah kenyataannya. Wajahnya memang jelek sekali, sangat jauh dengan wajahnya saat masih menjadi pangeran di negeri Halimun. *** Hari beranjak sore. Darsa duduk di kursi yang ada di teras pondok, tatapannya pada kebun di sekitar rumah. Darsa sedang berpikir, apa yang harus ia lakukan pada kebun itu. Bagaimana cara merawatnya, ia tak mengerti sama sekali. Darsa tahu, tidak mungkin kebun sayur bisa tumbuh bagus tanpa dirawat. Tapi, ia tidak tahu bagaimana cara merawatnya. Tidak pernah melihat orang merawat kebun, apa lagi punya pengalaman tentang hal itu. "Apa yang harus aku lakukan dengan kebun ini? Menunggu tumbuh semakin besar tanpa aku harus melakukan apa-apa, itu hasilnya pasti tidak akan bagus. Tapi bagaimana caranya? Huh! Harusnya ada seseorang yang bisa mengajari aku. Ini benar-benar tidak adil. Hhhh ...." Darsa mendongakkan wajah ke atas, menatap langit yang berwarna jingga, karena matahari yang mulai beranjak pergi. Darsa memejamkan mata, menikmati semilir angin sore yang menerpa, terasa menyentuh lembut wajahnya, memberikan rasa berbeda di dalam hatinya. Rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Selama ini, ia hidup dalam hiruk pikuk banyaknya suara wanita, para wanita yang siap melayaninya kapan saja. Satu ranjang dengan beberapa wanita sekaligus. Para wanita yang memanjakan tubuhnya dengan sentuhan mereka. Memanjakan telinganya dengan desahan mereka. Sekarang, hanya semilir angin yang menyentuh tubuhnya. Hanya suara kicau burung, dan gemericik air sungai yang terdengar oleh telinganya. Bayangan percintaan panas dengan banyak wanita, membuat miliknya bereaksi. Banyak hal dari dirinya berubah, tapi ternyata napsunya akan satu hal itu tak berubah. Darsa membuka mata, wajahnya meringis. Tanpa sadar, telapak tangannya menempel di antara kedua paha. Darsa kembali meringis, diusap pelan miliknya. Darsa lupa, sudah berapa lama ia tak bercinta, karena harus mendekam di dalam penjara. Darsa memejamkan mata, tangannya masih bergerak untuk mengatasi miliknya yang sedang menuntut untuk dipuaskan. Darsa menyandarkan punggungnya, dibuka kedua kakinya. Telapak tangannya menyusup ke dalam celana. Tak ada cara lain untuk memuaskan hasratnya, selain hanya dengan telapak tangannya sendiri. Darsa mengeluarkan miliknya dari atas karet celana. Ia tak takut ada orang yang melihatnya, karena ia yakin tak akan ada orang yang datang ke tempatnya saat senja mulai turun. Darsa berimajinasi, jika telapak tangannya adalah mulut seorang wanita, yang tengah memuaskan dirinya. Darsa membayangkan, jika seorang wanita tengah berlutut di hadapannya. Seorang wanita tengah menciumi bibirnya. Darsa mengerang, dan mendesah untuk mengekspresikan apa yang ia rasa dari hasil permainan telapak tangannya di miliknya. Tangannya terus bergerak untuk menggapai kepuasan bagi miliknya. Terasa sedikit sakit baginya, tapi cukup bisa membuatnya menuntaskan hasrat napsu syahwatnya. Sehingga ia bisa merasakan nikmat. Darsa menggeram, ia berada diujung pelepasan. Mata Darsa masih terpejam, mulutnya terbuka, wajahnya mendongak, tubuhnya menegang. Telapak kakinya menekuk, menahan rasa yang akan meledak, dan menunggu saat yang paling memuaskan baginya. Darsa mengerang tertahan, saat semua sudah tuntas, celana Darsa jadi basah oleh semburan miliknya, napas Darsa tersengal, namun ia masih enggan membuka mata, Darsa masih ingin menikmati sisa pelepasnnya. Diusap miliknya dengan perlahan. Setelah rasa yang membuncah menghilang, deru napasnya memudar, berganti dengan tarikan napas yang teratur. Darsa tersenyum puas. Matanya terbuka. Ia terpana menatap apa yang ada di hadapannya. Mata Darsa melebar, lalu ia terlompat bangkit dari duduknya. Demi melihat sesosok wanita berdiri di hadapannya. Menatap ke arah miliknya yang masih berada di luar celana. Darsa segera merapikan celananya. Tatapan wanita itu beralih ke wajah Darsa. Darsa berusaha mengatasi rasa malunya. "Kamu siapa? Kenapa ada di sini?" Bentak Darsa, mata Darsa melotot ke arah wanita di hadapannya. Darsa mengamati wanita bertubuh kecil itu. Darsa tak pasti akan usianya. Wajah wanita itu dipenuhi flek coklat. Bajunya daster kain lusuh, dan kumal. Rambutnya di kepang dua. Sendalnya jepit yang tampak kebesaran. Tak ada sesuatu yang menarik hati dari penampilannya. Dimata Darsa, wanita di hadapannya ini seperti gembel. Darsa merasa jijik melihatnya. Wanita itu mengambil sesuatu dari kantong dasternya. Ternyata buku kecil, dan pensil yang diujung atasnya ada lilitan gelang karet. Wanita muda itu berjongkok, lalu menulis sesuatu di buku kecil yang diletakkan di atas salah satu pahanya. Kemudian dia berdiri, dan menyerahkan kertas yang ia sobek dari buku kecil itu pada Darsa. Darsa membaca kata demi kata yang tertulis di kertas, tulisan yang jelek sekali menurut Darsa, namun masih bisa ia baca. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN