Nata terus memeluk tubuh Shevia, gadisnya itu benar-benar sudah ketakutan. Sebenarnya dia sedikit bingung, kenapa dari tadi dia tidak melihat siswa-siswi yang berjalan menuju pos enam sama sekali? Harusnya mereka melihat juniornya berjalan menuju pos enam yang ada di lorong penghubung.
"Itu Adit kan, Nat?" Shevia menunjuk ada Adit, Lify, Tiara, dan Dama yang jaga di pos enam.
Terlihat jelas mereka sedang memberi pertanyaan, hukuman dan sedikit materi kepada juniornya. Nata dan Shevia bisa sedikit bernafas lega karena menemukan temannya.
"Ke sana yuk, samperin mereka." ajak Shevia, gadis itu sudah tidak terlalu ketakutan.
Satu regu yang tadi diberi pertanyaan, hukuman dan materi itu kini sudah berjalan menuju pos selanjutnya.
"Kalian regu berapa?" tanya Shevia kepada juniornya.
"Regu tiga, Kak." jawab gadis manis yang berdiri di jajaran nomor tiga.
"Ya sudah, lanjut ke pos selanjutnya ya. Kalian hati-hati, jalanan licin di sana medannya semak-semak."
"Iya, Kak." sahut mereka serempak.
Nata dan Shevia melanjutkan perjalanan menuju pos enam. Tampak di antara Adit dan yang lainnya sedang bercanda ria. Shevia karena terlalu senang bisa bertemu dengan teman-temannya, dia meninggalkan Nata yang berjalan santai.
"Woy! Kalian seru amat, lagi cerita apa sih?" gema suara Shevia hampir mengagetkan mereka.
"Weh... Ibu waketos datang saja ini dari arah sana sama Bapak waketos. Habis ngapain hayo di tempat gelap berduaan?" goda Lify diikuti oleh Tiara.
Nata sudah berdiri di dekat Shevia, merangkul bahu gadisnya itu kuat-kuat. Shevia sampai bingung, tumben Nata berlaku posesif begini padanya. Biasanya juga tidak pernah.
"Ngapain? Orang gue sama Nata tidak ngapa-ngapain kok. Yang ada nih ya, gue ketakutan jalan ke sini." cerita Shevia membuat mereka semua penasaran.
"Takut kenapa memang? Ada s-e-t-a-n?" sambung Dama.
"Ish... Lo kalau ngomong asal jeplak saja."
"Ya terus apa dong?" Adit juga ikut penasaran.
"Tadi itu ya, pas gue sama Nata on the way jalan ke sini itu tiba-tiba ada dahan pohon jatuh di depan gue dadakan begitu. Padahal tidak ada angin atau apa, dahannya juga tidak lapuk kok. Tapi kenapa bisa patah terus jatuh ya?" dalam otak Shevia masih saja bertanya-tanya tanpa menemukan jawaban sampai sekarang.
"Alah... Itu mah sudah biasa di sini, tidak ada angin juga bisa patah. Bukan hal aneh." komentar Lify menganggap remeh yang tadi dialami Shevia.
"Ish lo mah, Lif. Takut banget gue sumpah. Kalau tahu begini ya, tidak bakal mau gue ditugaskan buat mengecek per pos sama si es kutub ini." Shevia menyikut perut kotak-kotak milik Nata.
"Oh iya, kalian tadi mau ke pos mana?" Tiara mengganti topik pembahasan.
"Nata sih tadi mengajak gue buat datang ke pos lima dulu." cengir Shevia.
"Mending kalian berdua diam di sini dulu, sambil menunggu regu datang. Lumayan kan, entar tidak usah mengecek lagi." saran Adit yang disetujui oleh Nata.
Nata menatap Adit tajam, pandangannya seolah tak bersahabat. Tidak biasanya Nata berbuat seperti itu. Nata sendiri tak tahu kenapa ini sedikit berbeda. Tapi untuk membuat Shevia tidak takut, Nata mengikuti saja suasana seperti ini.
"Woy! Santai dong lihatnya, gue tidak bakal pergi meninggalkan lo kali." Adit sadar dilihat begitu tajam oleh Nata.
Adit hanya terkekeh hingga membuat Nata sedikit mengangkat bibirnya ke atas. Hanya sedikit, bahkan jauh dikatakan senyum.
"Eh... Tadi gue sempat beli makanan tahu di kantin yang dekat gudang sana. Gue kasihan sama nenek-neneknya terus gue beli saja." Tiara mengeluarkan jajanan pasar seperti kue lapis, bugis, klepon, onde-onde, gethuk dan beberapa gorengan.
"Kantin yang dekat makam keluarga yang di pinggir sungai itu?" Shevia menatap Tiara tak menyangka.
***
Next...