Sebulan sudah berlalu, Hanna sudah melupakan kejuaran menembak yang sudah membuatnya mendapat pelajaran dan pengalaman yang sangat berarti. Ia harus berusaha lebih baik lagi agar setiap cita-cita dan tujuannya berhasil dengan nilai yang jauh lebih baik. Ia sudah bisa menerima kegagalannya. Seperti yang dikatakan sebagaian orang yang mendukungnya, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
Menjelang ujian akhir sekolah, Hanna sudah tidak mempunyai waktu lebih lagi untuk melakukan kegiatan di luar pelajaran sekolah seperti kejuaraan. Waktunya lebih banyak digunakan untuk belajar dan belajar. Ibunya tidak melarang Hanna untuk Refresing bersama dengan teman-teman sekolahnya karena Nara tidak mau juga putri satu-satunya stress karena menghadapi ujian akhir sekolah yang sebenarnya bisa dilakukan dengan baik kalau pikiran lebih santai.
“Han, pulang sekolah mau mampir ke Bimbel Alamanda ga, mereka akan mengadakan try out,” tegur Syafa salah satu teman Hanna.
“Aku sudah daftar,” jawab Hanna mulai merapikan tasnya sementara bel pulang sekolah sudah setengah jam yang lalu berbunyi.
“Sudah daftar? Kenapa ga ngajak aku. Kamu pergi bersama siapa?” tanya Syafa berdiri di samping Hanna yang mulai bangun dari tempat duduknya.
“Sama Kak Angga. Aku juga baru tahu juga kalau Alamanda membuka try out untuk umum. Kamu tahu kalau aku tidak ikut bimbel di sana, kan?”
“Karena aku tahu kamu tidak ikut bimbel di sana makanya aku tanya kamu. Siapa yang duga ternyata kamu sudah daftar duluan,” gerutu Syafa membuat Hanna mencibir.
“Ga usah ngegerutu seperti itu. Heh, kau itu bimbel di sana. Tanpa aku temani, kau juga pasti datang ke sana juga. Manja.”
“Yeaah siapa tahu kamu berbaik hati mau nganterin,” sahut Syafa yang hanya dibalas cibiran Hanna.
“Han!” terdengar suara nyaring dari belakang mereka yang sedang menuruni tangga.
Mereke berbalik dan melihat seorang pemuda berlari menghampiri mereka. Tubuhnya yang gempal membuatnya terengah-engah dengan napas memburu.
“Ada apaan Boom?” tanya Hanna geli.
Temannya yang bernama Boomke adalah seorang pemuda yang memiliki tubuh tinggi. Karena badannya yang gemuk menjadikannya dirinya terlihat sangat besar. Sebagian teman-teman mereka memanggilnya Giant. Tapi untuk Hanna dan teman-teman terdekatnya memanggilnya Boomke, padahal nama sebenarnya adalah Baron. Sangat jauh dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan namanya. Hanya karena perkiraan bila Baron jatuh akan menimbulkan kerusakan, akhirnya mereka sepakat memanggilnya Boomke.
“Hari ini aku bertemu dengan Diaz, katanya dia mau ketemu dengan anak sekolah sebelah. Aku ga tau ada apa, tapi mereka sepertinya sedang merencanakan serangan. Kau tahu, Diaz menaruh dendam dengan Geery setelah pacarnya selingkuh sama anak sekolah sebelah,” beritahu Boomke hingga Hanna mengernyit.
Ia mengenal Diaz maupun Geery dengan baik. Baginya tidak ada masalah antara mereka berdua yang bisa membuat keduanya berkelahi dengan melibatkan siswa yang lainnya. Apa mungkin ada yang tidak diketahui dengan persahabatan para pria? Tapi…bukannya pria itu lebih setia kawan dari pada perempuan?
“Kau yakin Boom? Yang kau katakan ga zonk, kan?”
“Astaga Han. Aku ga mungkin bikin zonk sama kamu. Kau itu temanku yang paling baik. Tidak mungkin aku merugikan diriku sendiri dengan mengejarmu yang berjalan seperti tentara mau perang,” keluh Boomke dengan wajah memelas.
Ia memandang Syafa dengan mata meminta dukungan, tetapi Syafa lebih memilih untuk menghindari pandangan Boomke.
“Kenapa kamu lihat Syafa? Katakan pada Diaz dan Geery, kalau mau mereka disebut lelaki, suruh bertarung satu lawan satu. Nanti aku yang jadi wasitnya. Ayo Fa,” Hanna menarik lengan Syafa lalu meninggalkan Boomke yang memandangnya dengan wajah memelas.
“Gila tuh cewek. Gue pikir dia khawatir sama temennya. Ternyata sama gilanya dengan Diaz,” gumam Boomke lemas. Terbayang sudah berapa lembar uang sepuluh ribuan yang akan terkumpul di atas meja.
Boomke dan teman-temannya bertaruh dengan menjadikan perhatian Hanna sebagai taruhan mereka isinya sangat konyol, siapa yang akan dibela oleh Hanna ketika kedua temannya berkelahi. Dan hasilnya mereka justru di suruh duel dengan Hanna sebagai wasitnya. Sepertinya menjadi pertunjukan yang seru sebelum mereka mengikuti berbagai macam try out yang di adakan oleh bimbel sebelum ujian akhir sekolah tiba.
“Gimana, siapa yang dipilih Hanna. Gue atau Geery?” sebuah tepukan keras di bahu Boomke membuat pemuda itu terkejut.
“Gila luh Yaz bikin kaget aja. Ga ada! Ga ada yang dipilih sama Hanna. Kalian berdua di suruh duel saja kalau mau disebut lelaki. Nanti dia yang jadi wasitnya,” sahut Boomke jengkel.
Suara tawa terdengar dari beberapa teman mereka dan di antara mereka terlihat juga Geery membuat Diaz nyengir. Sepertinya sangat susah membuat Hanna memilih siapa yang lebih special antara dia dan Geery.
Setiap siswa di sekolah mereka semuanya sudah mengetahui kedekatan Diaz dengan Hanna begitu juga antara Hanna dan Geery sehingga timbul berita yang mengatakan Hanna menduakan dan mempermainkan perasaan mereka sebagai dua orang pemuda ganteng yang berasal dari 2 sekolah yang berbeda.
“Jadi?” tanya Geery menaikkan kedua alisnya.
“Tentu saja jadi. Kami yang menjadi pemenang dari taruhan kalian,” sahut Boomke buru-buru.
Teriakan dan sorakan dari teman-teman yang lain pada akhirnya membawa mereka pergi untuk makan-makan dengan uang taruhan yang ada. Sesuai dengan kesepakatan antara Diaz dan Geery, kekurangan p********n dari makan siang mereka akan ditanggung oleh mereka berdua.
“Menurutmu kenapa Hanna tidak berusaha mencegah kita?” tanya Diaz masih tidak percaya dengan reaksi Hanna yang tidak menganggapnya penting.
“Loe lelaki bukan? Kalau iya berarti ga usah bertindak kaya spesies lain yang bisanya main keroyokan untuk nyeleseikan masalah,” jawab Geery tertawa.
“b******k! Gue serius.”
“Sama, gue juga serius. Coba loe pikir udah berapa lama Hanna kenal sama kita? Apa pernah dia dengar kita salah paham? Terus Hanna emangnya ga tau kalau kita berdua itu masih jomblo, apalagi rebutin cewek yang ga jelas,” Geery menyampaikan pendapatnya.
“Bener juga sih pendapat loe Ger. Temen cewek yang menjadi teman dekat kita berdua itu ya si Hanna. Setiap kali kita mau deketin cewek, pasti kita minta pendapat dia. Salah sasaran kita,” sahut Diaz tertawa.
“Jadi?” tanya Geery memperhatikan teman-teman mereka yang sedang asik memesan makanan sementara mereka berdua berdiri menunggu akhir dari jumlah pesanan sebelum membayarnya.
Semua teman-teman mereka sudah sibuk dengan makanan yang sudah berada di meja mereka sementara Diaz dan Geery masih berada di depan meja kasir mulai memesan makanan untuk mereka sendiri.
“Tambah satu porsi besar ice cream strowbery yougurt dan panekuk.”
Suara perempuan yang sudah sangat mereka kenal terdengar dari balik punggung mereka hingga mereka berbalik karena suara tersebut sudah membuat telinga mereka berdengung.
“Kenapa hanya mereka yang kalian traktir sementara uang tersebut harusnya buat aku?” tanya Hanna tanpa merasa bersalah dengan senyumnya yang membuat kedua pemuda itu tidak berkedip.
“Bagaimana kau tahu kami ada di sini? Dan dimana Syafa?” tanya Diaz memandang sekelilingnya. Ia tahu Hanna tadi pulang bersama dengan Syafa, tetapi cewek itu kini sudah tidak ada bersama dengannya.
:Syafa langsung pulang karena mau ikut bimbel. Sedangkan aku, aku sedang menunggu jemputan,” jawab Hanna tertawa.
Mengapa Hanna selalu membuat hati pemuda berdebar dan tidak tahan untuk menyentuhnya, bukan untuk menyentuh tubuhnya melainkan menyentuh perasaannya.