Hanna segera membuka lemari pakaian yang berada di kamar Bella dan melihat isinya.
Tidak banyak pilihan dan Hanna memutuskan mengambil sehelai kaos yang ukurannya sangat besar hingga menyerupai daster mini dengan ukuran jumbo.
Setelah membersihkan wajah dan berganti pakaian Hanna memutuskan untuk tidur di bawah tempat tidur Bella. Ia tidak mau dianggap lancang tidur di ranjang balita.
Hanna terlalu lelah dan yakin tidak akan ada orang yang akan berbuat tidak baik sehingga dia menghilangkan kewaspadaan dirinya saat seseorang masuk ke dalam kamar memperhatikan dirinya.
Seseorang yang tidak lain Ken memperhatikan Hanna dengan tatapan berjuta arti. Karena untuk pertama kalinya ia melihat Hanna tertidur sangat pulas.
Tidak ada kesan galak yang kadang tersirat di wajahnya. Entah saat dia bicara atau pun saat dia tertawa. Wajah galak yang kadang membuat kangen hilang saat dia tertidur.
"Kenapa dia tidur di bawah pada di ranjang masih cukup luas," gumam Ken memperhatikan Hanna yang tertidur.
Berusaha bertindak pelan tanpa membangunkan, Ken mengangkat tubuh Hanna yang harus Ken akui cukup lumayan beratnya.
"Tubuhnya langsing, tapi beratnya seperti...wow," komentar Ken setelah ia berhasil membaringkan tubuh Hanna tanpa terbangun.
"Kenapa kau berada di sini Hanna. Apa yang kau cari. Apakah aku bisa percaya kalau kau hanya mencari kerja?" desah Ken.
Cukup lama Ken memperhatikan Hanna sampai akhirnya dia memutuskan meninggalkan kamar Bella untuk kembali ke kamarnya.
Hanna tersenyum, dia tersenyum dalam tidurnya yang nyenyak. Dalam tidurnya ia melihat Bella tertawa menanggapi godaan dari seorang lelaki. Balita itu tertawa dan celotehannya membuat lelaki yang berdiri membelakangi Hanna tertawa.
Suara tawa yang dalam yang membuat wanita tidak mau pergi dan bertahan untuk tetap berada di dekatnya.
Siapa pria itu, mengapa Bella sangat dekat akrab dengannya. Apakah lelaki itu adalah ayahnya? Kalau bukan, kenapa Bella tidak menangis dan justru tertawa gembira.
Tiba-tiba tangan Bella menarik rambutnya hingga Hanna berusaha melepaskan tangan Bella dari rambutnya.
Tapi tangannya semakin kencang hingga Hanna mencoba menjauh dan tiba-tiba Hanna terbangun hanya untuk mendapati tangan Bella yang bermain dengan rambutnya.
"Ya Tuhan...Bella sudah bangun? Dan bagaimana aku bisa ada di atas ranjang? Semalam aku tidur di bawah kan sekarang aku ada di atas. Apa ada yang memindahkan aku? Tapi siapa?" Hanna tidak buru-buru bangun melainkan duduk melamun.
Gerakan Bella yang naik ke atas pangkuannya mengalihkan perhatian Hanna.
Hanna berusaha menghapus penasarannya dengan mengangkat tubuh Bella sambil bertanya-tanya apa yang biasa di lakukan Bella setiap pagi. Apakah langsung mandi atau menunggu dulu?
"Apakah cucuku rewel semalam?"
Hanna menoleh ke samping dan melihat Rossie sudah cantik dan begitu berwibawa. Sementara posisinya masih berbaring sambil mengayunkan kakinya dengan Hanna berada di atasnya.
"Tidak Nyonya."
"Lalu, kenapa kau mengangkatnya seperti itu? Kau tidak lelah?"
"Anggap saja aku latihan angkat beban Nyonya," sahut Hanna tersenyum.
"Nyonya, biasanya Bella mandi jam berapa?" tanya Hanna setelah menurunkan Bella lalu menaruhnya di atas pangkuan.
"Sebentar lagi Laura datang. Dia yang akan memandikan dan menyuapi nya. Kau bersihkan tubuhmu di kamar mandi Bella jadi kau bisa ganti pakaian. Biarkan Bella bersamaku."
Rossie mengangkat Bella sehingga Hanna memiliki kesempatan berganti membersihkan tubuhnya. Dia tidak mungkin kembali ke asrama tanpa mandi lebih dulu.
Rossie menatap Hanna yang baru keluar dari kamar mandi dan sudah berganti pakaian.
"Kau tidak berdandan?" tanya Rossie heran.
Hanna menggeleng. "Aku biasanya hanya memakai bedak tabur saja, tapi sejak aku tinggal di London aku selalu memakai pelembab."
Rossie menatapnya heran. Usia Hanna bukan lagi usia belasan, tetapi sudah melewati usia 20-an tetapi dia belum menganggap perlu untuk merias wajahnya dengan make up lengkap.
"Hanna, selama ini kau tinggal di apartemen atau bersama dengan teman-teman."
"Teman-teman? Maksud Nyonya?" Hanna mengerutkan alisnya.
"Maksudku apakah kau menyewa bersama dengan teman?"
Hanna tersenyum, "Tidak. Aku tinggal di asrama. Dan di asrama ada 2 orang temanku. Kebetulan mereka ada seniorku."
"Kau satu kamar dengan seniormu? Bagaimana bisa?"
"Aku rasa karena saat aku masuk hanya tersisa kamar dengan senior."
"Tinggal bersama senior tidak membuatmu menjadi beban?"
"Tidak. Buat aku sendiri banyak hal positif yang bisa aku ambil. Aku bisa bertanya pada mereka dan mencari tahu yang sebelumnya bahkan tidak pernah terpikirkan."
"Begitu.... "
Rossie sangat kagum pada Hanna. Dalam hatinya dia bertanya, mengapa Ken seperti terkejut ketika mendengar Hanna bekerja di rumah mereka. Kalau dia mengenai Hanna, kenapa tidak boleh mengatakan siapa dirinya?
"Kau tinggal di asrama, apa orang tua mu tidak mengijinkan kau tinggal di apartemen atau ada alasan lain? Misalnya masalah keuangan?" Penasaran Rossie lebih besar dari pada mengikuti pesan Ken agar tidak bertanya atau berbicara macam-macam.
"Orang tuaku tidak mengijinkan. Aku boleh kuliah di sini kalau memang mendapatkan asrama. Kalau tidak aku harus membatalkannya. Soal keuangan, bisa dibilang aku sudah mempersiapkan."
"Lalu kenapa kau memilih kerja paruh waktu sebagai pengasuh, padahal aku yakin kau bisa bekerja di tempat lain dengan hasil yang lebih baik juga?"
"Karena aku orang rumahan. Ada yang pernah bilang padaku, kalau mau mengajakku pergi, mereka harus melewati kakak dan orang tuaku dulu. Berada di sini sendirian aku merindukan mereka. Aku merindukan hidup bersama keluarga. "
Rossie mengangguk ternyata Hanna bukan mahasiswa yang suka tinggal di apartemen tetapi mengikuti perintah orang tuanya.
"Aku salut padamu. Lalu apa kau mempunyai banyak teman selain teman di asrama?"
"Ada beberapa. Aku mempunyai beberapa teman diluar asrama. Biasanya aku selalu memberi kabar pada mereka kalau aku pergi ke Eropa. Tapi sejak aku kuliah di sini malah sekali pun aku belum pernah menelepon mereka," jawab Hanna menyesal.
"Kenapa tidak kau lakukan?"
"Aku juga tidak mengerti. Entah apa yang akan dipikirkan oleh mereka begitu tahu aku sudah lama tinggal di sini." jawab Hanna.
"Kau dekat dengan mereka?"
"Cukup dekat. Karena mereka sudah aku anggap sebagai kakak. Terutama Ken."
"Ken?"
"He eh. Aku tidak begitu dekat dengannya karena aku merasa dia berbahaya."
"Berbahaya? Kenapa?"
Rossie harus bisa mengendalikan diri. Dia belum pernah mendengar putra sulungnya di bilang berbahaya. Kejam, tampan, sinis dan pematah hati para wanita adalah sebutan yang paling sering dia dengar, tetapi orang yang berbahaya?
"Aku tidak tahu. Dia kadang membuatku takut dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Pertama kali aku mendengarnya adalah 5 tahun yang lalu ketika dia menjadi peserta di kejuaraan antar klub di Jakarta. Aku melihat dia marah-marah saat bicara melalui ponsel. Dan masih ada beberapa kesempatan lain saat aku melihatnya melemparkan komentar pedasnya pada seorang wanita."
"Dan kau jadi takut karenanya?"
"Mungkin karena aku terlalu terlindung jadi melihat yang berbeda membuatku merasa takut. Walaupun harus aku akui, dia juga kadang bisa memberikan hiburan dan juga perlindungan yang aman untukku. Berbeda kalau aku berada di ruang sidang."
Rossie memandang Hanna heran. Heran karena hubungan Hanna dengan Ken ternyata mempunyai arti yang berbeda bagi keduanya.
"Semoga kau bisa kembali bertemu dengan temanmu yang kau katakan sebagai kakak."
"Terima kasih. Kalau begitu aku permisi dulu."
Hanna mendekati Bella yang berada di Box bermain lalu mengangkatnya.
"Bella, Hanna pulang dulu ya, besok kita ketemu lagi ya."
Sepertinya tidak rela meninggalkan balita cantik dan menggemaskan itu.
"Biasanya kau pergi kemana kalau hari libur?"
"Hari libur biasanya aku pakai vicall bersama keluarga dan mendengarkan semua pesan mereka."
"Hanya itu?"
"Tentu saja aku pergi keluar sekedar cuci mata, cari pemandangan yang menarik," jawab Hanna tertawa.
"Bercanda kamu ya," tegur Rossie tersenyum.
"Aku minta maaf. Bye bye Bella."
Kemudian Hanna keluar dari kamar Bella masih dengan senyum di bibirnya. Ia tidak tahu dari ruang lain, Ken memperhatikan dirinya dengan pandangan yang sulit diartikan kecuali oleh dirinya sendiri.