Part 6 Calon Istri Mantan Pacar

1553 Kata
Kembali disibukkan dengan rutinitas kantor, membuat Rara hampir dapat melupakan Tama. Apalagi ditambah Agni yang semangat menjodohkan Rara dengan kakaknya. Walau sudah ditolak dengan halus, Agni malah semakin memaksa, setidaknya berteman terlebih dulu katanya. Dan Rara pun hanya bisa pasrah menerima paksaan Agni. Setidaknya kehebohan Agni dan kehadiran Banyu bisa mengalihkan pikirannya akan Tama. Drrrt drrrt Rara melirik ponselnya, ada notifikasi w******p. Beberapa dari Agni dan Banyu - yang sengaja belum direspon dari tadi - tapi yang menarik perhatian adalah ada pesan dari Tama. Mas Tama "Assalamualaikum Ra. Bagaimana kabarmu? Kalau tidak begitu sibuk tolong jawab telponku ya. Ada hal penting yang ingin kusampaikan." Sejenak Rara terdiam, menimbang apakah perlu menerima telponnya atau tidak. Akalnya bilang tidak, tapi hatinya bilang terima. Dan karena kaum hawa lebih sering menggunakan hatinya daripada akalnya, maka Rara memutuskan untuk menerima telpon dari Tama. Lagipula dia merasa kangen pada suaranya. Tapi lebih kangen orangnya siih. Me "Waalaikumusalam. Iya mas, mumpung lagi senggang juga kok." Mas Tama Face time Aduuh kenapa mesti face time sih? Ketahuan wajah kangenku nantinya. Tapi akhirnya Rara menerima juga ajakan face time Tama. "Hallo Assalamualaikum." Sapa Rara berusaha bersikap normal walau jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat wajah tampan Tama di layar ponselnya. "Waalaikumusalam." Rara melihat ada keterkejutan di wajah Tama, mungkin karena melihatnya yang memakai hijab. "Alhamdulilah kamu sudah berhijab Ra. Membuatmu semakin cantik saja." Seketika pipi Rara memerah. Rasanya seperti terbang ke langit mendengar pujian tulus dari pria yang dicintai. "Ehm.. ada apa nelpon mas? Tumben. Sudah lama banget ya kita gak komunikasi." "Ra, pulang kantor aku jemput ya. Ada yang ingin kusampaikan. Dan aku ingin menyampaikan padamu secara langsung, tidak via telepon." "Ya mas, kutunggu." Jeda. Hanya terlihat manik mata coklat yang memandang Rara sendu. Mata yang penuh berisi kerinduan. Ya Tuhan.. jangan sampai menetes air mata ini. Tahan tahan tahan. Kuulas senyum terbaikku dan mengucapkan salam. Kuputuskan panggilan telepon itu dan langsung menyibukkan diri pada pekerjaanku lagi. Ya Allah hati ini nyesek sekali. ~~~ Sore hari yang ditunggu, setelah menyapukan sedikit bedak dan lipgloss, Rara menemui Tama. Sepanjang perjalanan lebih sering hening. Hanya terlihat Tama yang seringkali melirik gadis di sebelahnya dan tersenyum. Beberapa kali terucap pujian tulus kalau Rara jadi semakin ayu setelah berhijab. Hijab Rara bukan karena Tama. Bukan karena kepergian Tama. Tapi murni keinginan hatinya. Toh lagipula selama ini Rara tidak pernah memakai baju yang tidak pantas. Pakaiannya selalu longgar, bawahan pasti hampir mencapai mata kaki. Ayah dan umi selalu mengajarkannya untuk bersikap sopan bahkan dalam hal berpakaian. Dan seperti saat ini, Tama tampak sungkan untuk menyentuhnya. Biasanya tangan kirinya sering menggenggam tangan Rara kalau dia sedang mengemudi. Tapi melihat Rara sekarang kentara sekali rasa sungkannya. Sesampainya di tempat makan langganan mereka, Tama menghela nafas panjang. Matanya kembali menatap gadis di sebelahnya, tajam dan lama. Membuat Rara canggung. "Ra.., aku menerima permintaan mama ." Kata Tama membuka percakapan. "Mmm.. yaitu?" Katakanlah Rara bodoh. Padahal dia sudah tahu apa maksudnya tapi tetap berpura-pura tidak tahu. "Namanya Nuraini Latifa, panggilannya Ifa. Anak teman arisan mama. Masih kuliah semester akhir." Seperti ada petir di hati Rara mendengar kalimat yang diucapkan Tama lirih. "Alhamdulilah. Pasti orangnya cantik ya mas. Namanya saja cantik. Mas sudah ketemu mbak Ifa?" Rara bicara dengan nada riang, untuk menutupi kesedihannya. Bohong, Rara bohong kalau hatinya tidak sakit. Tapi mau bagaimana lagi? "Ya. Aku sudah ketemu. Ifa memang cantik. Tapi bagiku lebih cantik kamu, apalagi sekarang kamu berhijab." "Ra.. sekali lagi kumohon, menikahlah denganku. Kalau mama tidak merestui kita kawin lari saja Ra. Aku tidak bisa hidup tanpamu Ra. Pleaseee Ra!" Mohon Tama. Rara mengusap air mata yang menetes di sudut mata Tama. "Yang benar adalah, Mas Tama tidak akan ada di dunia ini tanpa mama. Mama yang lebih berhak akan Mas Tama. Kita sudahi saja ya mas sebelum kita semakin terluka. Kalau kita tetap nekat, akan ada banyak yang terluka. Tapi kalau begini hanya Mas Tama dan aku saja yang terluka." Jawab Rara. Tanpa ragu Tama segera menggenggam tangan Rara dan dikecupnya punggung tangan gadis itu, perlahan. "I love you Ra.." "Love you more mas." Sebisa mungkin Rara menahan air mata ini agar tidak mengalir. Aah tapi nyatanya dia sudah tak sanggup lagi menahannya. Mereka berdua pun terisak, menangisi kenyataan bahwa kami tidak bisa bersama walau saling mencintai. ~~~ Beberapa hari kemudian "Mbak Rara, ada yang nyari nih. Tapi katanya belum bikin janji ketemu." Kata resepsionis. "Eeh siapa mbak?" Tanya Rara sambil melirik agenda things to do today di mejanya. Tidak ada janji ketemu atau rapat apapun hari ini. Karena ada beberapa proposal yang harus segera direview sebelum disubmit ke marketing. "Katanya namanya Latifa mbak." Rara mencoba mengingat temannya atau kliennyang bernama Latifa. Nihil. Akhirnya dia bilang ke resepsionis agar tamunya diantar ke ruangannya saja. Yaa, semenjak naik jabatan Rara punya ruangan sendiri. Banyak file penting dan rahasia. "Selamat siang.." sebuah salam dengan suara lembut mengiringi ketukan di pintu ruangan Rara yang memang sengaja dibuka lebar. Rara mendungakkan kepala dari pc dan seketika mengernyitkan alis, melihat ada seorang gadis cantik berdiri di depannya. Mmm siapa ya? Aku kok gak ingat sama gadis ini sama sekali. "Siang.. silakan masuk mbak." Rara berdiri dan keluar dari meja kerjanya. Menyodorkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Rara mempersilahkan gadis ini duduk. Mungkin umurnya sekitar 22 tahun. Tidak begitu beda jauh dari Rara. Yang membedakan, gadis ini sungguh tampak dewasa dan anggun. Menelisik pakaian dan tas yang dibawanya, Rara yakin dia dari kalangan berada. "Maaf anda mbak Latifa? Saya lupa apakah saya ada janji dengan mbak, karena di agenda saya tidak tercantum jadwal apapun hari ini." Rara membuka percakapan dengannya setelah mempersilakan untuk duduk dan memberikan sebotol air mineral. "Iya saya Latifa mbak. Nuraini Latifa. Panggil saja saya Ifa. Saya mmm... calon istrinya Mas Tama." Dan perkenalan dari gadis cantik ini segera menyadarkan Rara. Seketika dadanya perih, rasanya seperti luka yang diberi air jeruk nipis. Sakiiiit. "Ooo.. saya Larasati. Maaf, ada perlu apa ya mbak Ifa mencari saya?" Ketika menyebut nama inginnya Rara berteriak bahwa dialah gadis yang dicintai Tama. Tapi.. untunglah akalnya masih bekerja normal. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan mbak Larasati. Tapi mungkin lebih santai kalau kita sambil makan?" Kata gadis di depannya dengan gelisah. Sepertinya dia tidak nyaman jika harus ngobrol di ruangan kerja Rara. Rara melirik jam di tangannya, masih sejam lagi menuju jam makan siang. Tapi mau bagaimana lagi? "Sebentar ya.. saya ijin ke atasan dulu." Rara pun segera menuju ke ruangan Mbak Gri meminta ijin makan siang lebih cepat. Untungnya Mbak Gri maklum dan memberi ijin, setelah sekilat info yang dijelaskan kepadanya kenapa harus early lunch. "Yuk mbak Ifa.. saya sudah ijin ke atasan. Kita makan di kafe di lantai 1 saja ya. Sambil ngopi. Eeh Mbak Ifa suka minum kopi?" "Tidak mbak. Saya bukan penikmat kopi. Tapi kalau sesekali gak masalah." Sahutnya. Sementara Rara tersenyum kecut. Sejak 3 tahun lalu dia jadi penggila kopi. Bukan kopi instant atau kopi kekinian macam cappuccino atau caffee latte. Dia penggemar espresso, menu saat sedang di coffee shop. Tapi kalau lagi di rumah atau di kantor, Rara lebih suka kopi tubruk. Bude di kampung di Lampung punya kebun kopi dan selalu menyangrai sendiri biji kopinya. Giling sendiri tanpa campuran apapun. Hasilnya jauh lebih nikmat dibanding kopi yang dijual bebas. Padahal sebelumnya Rara bukan peminum kopi hitam. Kopi hitam selalu menemaninya kala malam hari, saat takut untuk tidur. Jadi Rara tidak akan bermimpi buruk mengulang kejadian terkutuk itu. "Mbak Larasati.. mbak..." Suara lembut itu kembali menyadarkan Rara. "Eeh iyaa maaf saya sedang memikirkan menu apa buat kita makan siang ini." Kelit Rara. "Panggil saja saya Rara." "Maaf mbak, saya ganggu waktu mbak Rara. Mungkin mbak Rara sudah tahu bahwa saya dan Mas Tama dijodohkan." Rara mencoba mencari makna dari ucapannya. Jikalau untuk menyakiti hatinya dengan kalimat itu, sepertinya dia tidak melihat niatan itu di matanya. Ucapannya tulus. Sepertinya dia gadis yang baik. Beruntunglah Tama jika menikah dengannya. "Ya, saya tahu. Mas Tama sudah memberi tahu saya beberapa hari yang lalu." Sahut Rara sambil tersenyum. Selain itu juga Tama mengucapkan selamat tinggal - batinku. "Mas Tama masih sering bertemu dengan Mbak Rara?" Selidiknya. Rara menggeleng lemah. "Tidak. Terakhir kami ketemu minggu lalu." Saat Tama menceritakan tentang dirimu, calon istrinya. "Ada apa? Bukan maksud saya ikut campur. Tapi jika Mbak Ifa mencurigai saya atau Mas Tama, mbak Ifa salah. Apapun yang ada di antara kami sebelumnya, semua sudah berakhir. Jangan khawatir." Nada suara Rara menegas. "Bukan begitu mbak. Mmm... saya bingung dengan Mas Tama. Kami memang baru beberapa kali bertemu. Tapi mama dan mama Wina sudah menjodohkan kami sedari lama." Aah bahkan dia pun sudah memanggil mama ke mama Mas Tama. Hati ini semakin perih mendengarnya. "Tapi tiap kali kami bertemu Mas Tama selalu cuek, asik dengan dunianya sendiri. Kalau memang tidak mau menerima perjodohan ini kenapa tidak sedari awal ditolak saja? Jika hanya menggantungkan perasaan saya, lebih baik tidak usah berlanjut." Gadis itu menarik nafas panjang. Mencoba mengatur emosinya. Rara pun masih diam mencoba mendengar ceritanya. "Saya berusaha cari info kenapa sikap Mas Tama begitu. Tapi mama Wina tidak mau berkata jujur. Hanya bilang bahwa Mas Tama memang cuek. Sampai akhirnya Tante Weni menceritkan tentang Mbak Rara." Rara masih diam. Melihat ke mata gadis itu yang tampak sendu. Sepertinya dia sudah jatuh hati pada Tama. Rara merasa harus memperjelas situasi ini. Menjelaskan ke gadis cantik yang duduk di hadapannya. Yang adalah calon istri mantan pacar, yang masih dia cintai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN