"Kelak kau akan tahu, menjaga rindu tak semudah menenggak kopi paling pahit."
-Unknown-
.
Setelah melihat kalau putrinya rela untuk dia tinggal di rumah sementara dirinya harus ke kantor, Faris menoleh pada Kinan yang ada di dekatnya.
“Boleh saya menitipkan Dinda pada kamu sebentar?” tanya Faris dengan perasaan tidak enak.
Namun Kinan tampak santai ketika menganggukkan kepalanya. “Boleh, biar saya menjaganya sementara kamu pergi,” jawabnya.
“Apakah itu tidak menganggu pekerjaanmu nanti? Kamu tidak kembali ke rumah sakit?” tanya Faris lagi, ingin memastikan.
Kali ini Kinan menggelengkan kepalanya. “Baru sore nanti saya ada praktik, mungkin pukul 2 saya sudah harus kembali ke rumah sakit,” katanya.
Faris langsung menarik napas lega mendengar itu. Dia setidaknya bisa tahu kalau Dinda dititipkan pada seseorang yang tepat. "Kalau begitu aku titipkan putriku padamu, Dokter Kinan. Terima kasih karena sudah membantu saya," ucap Faris. Ia pun beralu dari hadapan Kinan dan Dinda yang masih berbaring di kasurnya, lalu ia keluar dari kamar itu dan menutup kembali pintunya.
Usai Faris pergi, Dinda segera mendekat pada Kinan seperti tidak ada kecanggungan lagi di antara mereka. Kinan menyunggingkan senyum manisnya lalu duduk di tepian ranjang milik Dinda. Memperhatikan raut wajah gadis cantik ini yang sudah lebih cerah dibandingkan sebelumnya.
"Sudah merasa baikan?" tanya Kinan tanpa menghilangkan senyum manisnya itu. Hal yang membuat Dinda semakin nyaman saja di dekatnya, melihat sang dokter idamannya ini saja sudah menghilangkan rasa sakitnya.
Alangkah senangnya jika dokter Kinan benar-benar menjadi mamanya. Pikir Dinda penuh harap.
"Ya, Dokter. Aku sudah merasa lebih baik... kramnya udah nggak terlalu kerasa, walau aku takut bocor dan bikin kasurnya merah kena darah haid," jawab Dinda tadinya cerah menjadi mendung dengan bibir mengerucut memikirkan betapa repotnya saat masa haid ketika beraktifitas.
Kinan terkekeh kecil setelah mendengar ungkapan kekhawatiran Dinda. Dia tidak punya putri jadi belum tahu rasanya melihat sang anak menghadapi hal ini. Rasanya mungkin menyenangkan jika dia bsia menemani putrinya sendiri ketika haid, sebab sebagai sesame perempuan pasti lebih bisa tahu rasanya.
Tapi dia merasa takjub dan memberikan apresiasi pada Faris yang begitu perhatian pada putrinya. Dan tidak menganggap sakit yang dirasakan Dinda itu hanya bualan saja.
“Nggak papa, kalau sakitnya di hari pertama sampai ke 3 itu masih normal kok… ini disebabkan karena lepasnya dinding rahim akibat peningkatan prostaglandin. Nanti beli saja alas tidur plastik kalau takut bocor darahnya,” jelas Kinan. Tangannya kini membantu memijat pinggul Dinda ditambah menempelkan kompres hangat juga.
Dinda mengangguk mengerti dan mulai merasa nyaman lagi karena tadi sempat merasa kembali sakit bagian pinggulnya.
Kinan kini memandang kearah lain. Ada sebuah pigura kecil yang terletak di atas nakas dekat ranjang Dinda dan itu begitu menarik baginya. Di dalam figura itu terdapat sebuah foto dengan 3 orang yang terjepret di dalamnya. Seorang pria yang berdiri di belakang kursi, ia sangat tahu, itu ayah Dinda, Faris. Lalu anak kecil yang posisinya dipangku seorang wanita, ia juga tuhu itu adalah Dinda. Namun seorang wanita yang memangku Dinda tadi, ia tak benar-benar tahu. Mungkin itu adalah ibu Dinda?
"Itu ibu kamu, Dinda?" tanya Kinan seraya menunjuk pigura tadi.
Mata Dinda langsung menyendu ketika ditanyai demikian. Ia lantas mendudukkan tubuhnya, lalu tangannya meraih sesuatu yang dimaksud oleh Kinan. "Iya... Ini mamaku, Dokter."
Kinan langsung mengerti kenapa Dinda merasa sedih. Dia inggat kalau ibu Dinda sudah tiada. "Maaf jika membuat mu sedih, Sayang...," ucap Kinan pelan meminta maaf.
"Nggak papa kok, Dokter. Saya senang karena ada orang lain yang tahu soal mama juga," balas Dinda dengan senyum yang menenangkan.
Dengan lembut Kinan mengusap puncak rambut Dinda, memberikan dukungan. "Kamu pasti merindukannya kan?" tanya Kinan.
Dinda mengangguk mengiyakan. "Bahkan serasa baru kemarin mama pergi meniggalkan kami. Aku dan Papa akan selalu merindukannya," jawab Dinda, matanya mulai berkaca-kaca.
"Kamu gadis yang hebat, Dinda," ucap Kinan dengan hati yang terenyuh melihat ungkapan kerinduan seorang anak terhadap orang tuanya. Mungkin ini juga yang dirasakan oleh putranya ketika merindukan papanya, Adrian.
Senyum di bibir Dinda terbit, dia segera menghapus air matanya dan menatap Kinan dengan lebih bersemangat. "Kak Azha juga hebat," cetus Dinda. Dia tahu kalau Kinan dan Azha juga sama-sama kehilangan seseorang yang mereka sayangi, sama sepertinya.
Namun Kinan tampaknya belum mengerti maksud Dinda. "Hah? Maksudnya apa Dinda?"
"Kak Azha itu selalu terlihat bak-baik saja dan selalu ceria di sekolah, Dokter. Dan aku pikir hanya beberapa orang saja yang tahu tentang papa kak Azha yang sudah meninggal dunia," jelas Dinda.
Tak bisa dimungkiri jika Kinan sebenarnya juga bisa tetap bertahan sampai 4 tahun ini berkat putranya, Azha yang selalu mendukungnya. Anak laki-lakinya itu yang menjadi tujuan hidupnya kini, ia ingin tetap hidup untuk Azha dan membuatnya bahagia. Menjaganya sesuai pesan suaminya, saat Adrian dulu masih hidup.
Namun jika saja dulu dirinya tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir ia bertemu dengan Adrian. Sungguh, ia tak akan melepas pria yang menjadi suaminya itu dari dekapannya. Tapi sekali lagi, semuanya sudah terlambat dan kini sudah berlalu 4 tahun berlalu. Semua soal Adrian sekarang telah menjadi memory yang akan tersimpan baik di dalam hatinya. Mengukir indah dalam benaknya yang terisi penuh oleh kenangan manis bersama pria itu.
Aku mencintaimu dan juga merindukanmu Adrian.... Batin Kinan dengan rasa rindu yang menggebu.
.
/// Takdir Kedua | Gorjesso ///
.
Seorang murid laki-laki memasuki sebuah bagunan dengan aroma obat dan desinfektan di mana-mana. Tas sekolahnya tampak berat tapi langkahnya terlihat senang karena sekolah mengizinkan muridnya pulang lebih awal karena ada rapat guru. Murid ini adalah Azha yang kini tengah berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang terlihat ramai.
Sepertinya ada yang masuk ICU. Pikirnya yang sudah sangat familiar dengan keadaan di rumah sakit. Hampir setiap pegawai juga mengenalnya sebagai putra dari dokter Kinan.
CKLEKK
Begitu sampai di tujuaannya, Azha membuka pintu ruang kerja mamanya. Tapi tak ia temukan sosok wanita yang sudah merawatnya selama 17 tahun ini. Tidak ada orang di ruangan ini.
"Mamamu sedang tidak ada di rumah sakit, Azha." Suara seseorang yang berada di belakangnya sontak membuat Azha menolehkan kepalanya.
Spontan ia menundukkan kepalanya ketika mendapati ternyata orang yang memanggilnya adalah seorang perawat senior yang biasa bersama mamanya di rumah sakit ini. "Tapi kami berangkat bersama tadi. Apa mama ada acara lain di luar, Tante?" sahut Azha sekaligus bertanya pada perawat bernama Dewi.
Bukankan memang benar, tadi mamanya sempat pergi bersama dirinya ke sekolah dan dilanjutkan mamanya akan berangkat berkerja. Lalu begaimana bisa sekarang mamanya tidak ada di ruangannya? Tanya Azha dalam hati.
"Iya, tapi tadi ia menghubungiku jika ada seorang yang membutuhkan bantuannya untuk memeriksa. Jadi dia ke sana menghampiri dan dia memberikan alamatnya lewat pesan tadi," jelas Dewi.
"Seseorang? Tapi bukankah mama nggak menerima pasien secara bribadi?" tanya Azha lagi.
Namun perawat ini tampak bingung juga akan alasan Kinan pergi. "Entahlah, tapi sepertinya memang penting, jadi dokter Kinan mau menerimanya. Tapi nanti mama kamu juga akan kembali jam 2 kalau tidak salah Kamu mau menjemputnya?" jelas Dewi pada Azha seraya melihat kalau sekarang pukul 11 siang.
"Iya, Tante. Tapi kalau suster mau memberiku alamatnya," pinta Azha.
"Tentu saja. Tunggu sebentar." Dewi kemudian membuka sebuah buku ponsel yang ada di saku celana kerjanya. Dia kemudian mengirimkan alamat tersebut pada Azha lewat pesan chat.
"Itu alamatnya, bisa kamu cek di chat Tante,” kata Dewi memberitahu Azha yang disambut anggukkan mengerti oleh bocah laki-laki ini. "Baiklah, Tante pergi dulu. Hati-hati di jalan, oke?" sambungnya, Azha menundukkan kepalanya untuk membalasnya.
"Terimakasih, Tante," ucap Azha. Segera saja ia keluar dari ruangan mamanya dan berlari menyusuri lorong rumah sakit yang menghubungkan dengan pintu keluarnya.
Ia buka ponselnya lagi dan serasa familiar akan alamat yang ditunjukkan di sana. Sepertinya ia pernah ke sana? Tapi kapan? Dan dimana letaknya? Ia benar-benar lupa.
.
/// Takdir Kedua | gorjesso ///
.