“Trus? Kalau nilai PPKN Anye rendah, masalahnya apa sama situ? Ada hubungan apa? Temen bukan, sodara bukan, kenal juga kebetulan, lagian kalau ada pilihan di lahirkan balik ke dunia ini, aku mending milih kaga kenal ama situ, cakep dikit aja belagu amat...” cibir Anyelir kesal, dia merasa sedikit kalah start ama pria di hadapannya yang selalu menorehkan kalimat pedas.
Ayo...Anye, jangan mau kalah debat ama kakek lacknut satu ini, Anyelir fighting!
Mendengar kalimat bocah ingusan itu, membuat Langit menghela nafas panjang, dia kembali teringat akan kalimat petuah dari orang tuanya.
Sabar Langit, sabar...mengalahkan bocah ini harus menggunakan fokus maksimal, ingat jangan sampai kedua orang tuamu tau kalau kami tidak cocok.
“Gak masalah juga sih, malah enak bukan kalau punya istri yang IQ jongkok, gak masalah, kamu jangan kawatir tentang itu, aku bakalan terima kok punya istri penampakannya model begini, paling ya, resikonya kaga bisa di bawa ke tengah, ya udah-sih buat stock di rumah aja, lumayan buat jagain rumah dari pada kaga ada penjaga rumah...” ucap Langit santai membuat Langit semakin kesal di buatnya.
“Terserah dah mau ngomong apaan, yang penting aku cape, dan aku mau rebahan dulu, minggir!!” ucap Anyelir dengan tangan mengibaskan kearah kasur hingga membuat Langit hampir terjatuh, aksi Langit membuat Anyelir menahan tawa dengan wajah sedikit puas.
“Ternyata selain kurang attitude kamu juga wanita yang kasar, apa coba yang mau di banggain dari kamu? Dosa apa yang aku lakukan hingga aku terpaksa harus menikahi wanita macam begini, wanita kepala batu!!” kata Langit sembari bangit duduk di tepi ranjang dengan nafas kesal, karena kamarnya telah di kuasai oleh orang lain.
“Yaelah...gak usah merasa sok paling teraniaya gitu, lah. Yang seharusnya menangisi keadaan itu aku, bukan situ, kenapa jadi situ yang merasa teraniaya? Kebanyakan nonton sinetron nich laki. Makanya tontonan yang kaya drakor dong...” gumam Anyelir dengan merebahkan tubuhnya dan sengaja memeluk guling, lalu memejamkan matanya, dia menghitung sampai hitungan ke dua puluh, dia akan mengeluarkan dengkuran agar Langit makin tidak menerimanya sebagai calon istri dan perjodohan ini otomatis karam sebelum kapal berlayar.
“Udah, dech! Debat ama bocil mah ngabisin tenaga, gak ada manfaat juga, mending aku ngadep ke nyokap-bokap...” ucap Langit membuat Anyelir menghentikan dengkurannya.
Apa maksud si bapak tua ini bilang ngadep ke nyokap bokap? Apa mau bilang kalau pernikahan ini gak bisa di lanjutkan? Yess!!
Bisik Anyelir dalam hati penuh kegirangan, hingga dia lupa jika dirinya sedang beracting tidur nyenyak dengan suara dengkuran yang di buat sekuat mungkin, agar Langit merasa kehilangan minat untuk menikahinya, maklum saja, Anyelir masih kokoh pendirian tentang pernikahan yaitu harus menikahi pria korea, meskipun pria itu bukan dari kalangan artis.
Wajah sumringah dan tawa yang mengembang membuat Anyelir perlahan membuka kedua matanya karena sudah tidak mendengar adanya orang lain di kamar ittu, dia berfikir bahwa sang pemilik kamar sudah tidak berada di dalam kamar iitu, hingga dia dengan gagah berani membuka kedua kelopak mataya perlahan dengan wajah sumringah menahan tawa.
Dasar apes, ketika matanya terbuka, yang ada di hadapannya bukannya Oppa-Oppa Korea seperti harapannya, tapi pria yang paling dia benci di dunia ini, tengah menatap wajahnya dengan lekat dan jarak kurang lebih satu inch. Sontak saja matanya membulat sempurna.
“Ohh..jadi gini, gaya tidur bocah ingusan? Pura-pura mendengkur lalu kalau sudah sepi mata baru di buka lagi? Sungguh tidak bermoral...” ucap Langit di akhiri dengan sebuah jitakan mendarat di kening Anyelir, hingga membuat gadis itu membelalakkan matanya.
“Yaa!! Jo-geul-le?!!” teriak Anyelir dengan sedikit lantang hingga membuat Langit sedikit terkejut dengan respon bocah ingusan di hadapannya.
“Suara-suara... kamu kira kamar aku ini hutan apa? Ngomong pakai teriak segala, lagian gak usah sok Korea-Korea-lah! Lebay amat!” ucap Langit mendengkus kesal karena kaget dengan teriakan Anyelir kepadanya.
“Suka-suka orang dong. Kok situ yang sewot? Mau pakai bahasa Korea, mau bahasa mandarin, mau bahasa jawa, suka-suka Anye, toh?” jawabnya dengan bibir monyong kedepan membuat Langit menggelengkan kepalanya melihat tingkah Anyelir.
“Yaudah, dech! Aku mau nemuin Nyokap-Bokap dulu, kamu nikmatilah tidur di kamar calon suami-mu ini, sebentar lagi Kamar ini akan jadi kamar kita...” bisik Langit dengan setengah menyindir.
“Sak karepmu arep ngopo, losss...” gumam Anyelir memasang telinganya dengan menggunakan handsfree.
Tak ingin membuang waktu sia-sia, Langit segera berjalan menjauh dari ranjang, lalu dia menoleh sejenak dan berkata “Siapkan mental jadi istri- ya” lanjut Anyelir yang tak memperhatikan Langit yang kini telah berjalan menuruni tangga menemui kedua orang tuanya di ruang kerja.
Pintu terbuka, dan keduanya menoleh kearah pintu dengan terkejut. Karena saat itu posisi sang ibu tengah berada di atas pangkuan sang ayah dengan bergelayut manja.
Sontak wajah kedua orang tua itu memerah menahan malu. Sedangkan Langit mamalingkan wajahnya, pura-pura tidak melihat apapun, lalu dia mundur dan mencoba menutup pintu.
“Langit...masuk saja, Nak...ada hal pentingkah?” teriak sang ibu, lalu membelalakkan matanya kearah sang suami.
Terdengar sekilas keduanya saling menyalahkan dan tidak ada satupun yang mau mengalah seperti biasanya. Membuat Langit memejamkan matanya lalu menghela nafas panjang.
"Papah sih mancing-mancing mamah dari tadi, kan sudah di bilang kita ke kamar saja. Lagian kita jugakan sudah seminggu bermesraan, masih aja kurang..." gerutu sang ibu menahan malu dengan sesekali mencubit perut sang suami, hingga membuat Andono menjerit kecil lalu tertawa terkekeh.
" Loh, kok salah Papah, yang masuk keruangan kerja Papah sopo? Yang duduk di pangkuan Papah sopo? Kan Mamah toh, bisa-bisanya mamah cuci tangan, tega Mamah buang badan gini. Mamah ini gak perlu malu. Langit kan anak kita, dan dia sudah dewasa. Ya biar dia tahu bahwa berumah tangga itu seindah ini, dan bakalan nyesel karena sudah menunggu lama. Apalagi dia berniat menunda lagi-kan, seperti bulan lalu pas pembahasan tentang pernikahan Langit dan Anyelir sebelum kita berlibur. Papah itu maunya sederhana saja loh Ma. Meskipun Anyelir mau lanjut sekolah kemana-mana, yang terpenting itu dia menikah dengan anak kita terlebih dahulu...” jawab Andono kepada istrinya, berusaha menenangkan sang istri yang terlihat malu dengan wajah bersemu merah menggemaskan.
“Langit!! Masuk...ngopo kowe gor njogrok di luaran?” perintah Andono lalu mengecup tangan sang istri yang telah berdiri di sisinya. “Buruan masuk, mau ngomongin apa kowe sampai nekat dateng ke ruangan Papah?” imbuh Andono dengan rasa penasaran yang tinggi, karena biasanya jika sang putra mendatanginya ke ruang kerjanya pasti memiliki sesuatu yang harus di katakan dan tidak tertunda lagi.
" M-maaf mah, pah! Tadinya ada hal penting yang harus Langit katakan dengan segera. Baiklah kalau begitu nanti saja, mama dan papa lanjutkan saja..." Ucap Langit hendak menjauh dari pintu ruang kerja sang ayah.
" Langit, Tunggu! Kowe mau ngomong opo kok kesannya terburu-buru banget seperti bukan dirimu?" Sapa sang ayah menatap sang ibu yang mengangkat bahunya, karena tidak memiliki gambaran jawaban atas keinginan sang putra.
Langit menghentikan langkahnya, lalu masuk ke dalam ruangan itu, dan sang ibu telah berpindah duduk di sofa begitupun sang ayah yang mengikuti duduk di sisi sang istri.
" Begini Pah, Mah. Langit langsung saja..." Ucap langit yang juga duduk di sofa itu.