tiga

1520 Kata
"Udah mateng, Ra?!" Ya Tuhan! Suami model Pram bisa nggak aku lelang di akhir tahun saja? Dia ini mengesalkan ...! Benar-benar level tertinggi dari seluruh level yang ada di dunia. Kalian boleh menganggapku berlebihan, tetapi cobalah untuk menjadi diriku satu menit saja, bisa kutebak kalian akan segera melambaikan tangan tanda tak mampu. Ini sudah kuhitung tiga hari sejak kalimat sialannya itu berhasil menghancurkan sandiwaraku selama sebulan lebih satu minggu. Dan, apa yang kalian pikirkan setelah Pram mengatakan kalimatnya waktu itu? Biasa saja! Sungguh. Maksudku, amarah sudah ada di puncak kepalaku, sementara dia bersikap seperti tidak mengatakan apa-apa. Malam harinya, kami masih tidur bertiga. Raja sengaja kuletakkan di tengah seperti biasa, sebagai senjata selama aku bersandiwara. Dan, saat aku terbangun tengah malam karena mendengar rengekan Raja, aku tidak menemukan bayi itu, melainkan tangan Pram begitu erat memeluk pinggang. Saat aku berhasil bangun, mataku mendapati Raja sudah berpindah ke boksnya. Siapa lagi kalau bukan b******n budiman ini yang memindahkannya? Ck, dia berani melakukan itu karena merasa aku kembali kalah telak. Hal itu akhirnya berlangsung dengan malam-malam berikutnya. Aku harus kembali tidur hanya berdua dengan Pram. Sialan, sialan, sialan! "Belum!" teriakku, lumayan kencang. Biarlah ia tuli mendadak. Ini kenapa susah sekali hanya membalik telur mata sapi, sih? Mengeram kesal, akhirnya air mataku kembali tumpah. Aku jadi mudah lelah, mudah kesal karena hal-hal sepele. Ditambah dengan sikap Pram yang menurutku ... ah, mungkin sebagai fans sejatinya, kalian sudah sangat memahami. Apa berlebihan, jika aku memintanya momong Raja sementara aku membuatkan sarapan untuknya? Well, dia memang meminta tugas itu diberikan kepada Mbak Ijas saja dan memintaku fokus merawat Raja, bersamanya jika ia sedang free. Tetapi ayolah ... kurasa, seluruh istri di jagad raya tak akan sudi jika suamimu selalu dilayani oleh orang lain. Terlebih ia masih gadis. Demi Tuhan aku tidak sedang cemburu! Maka dari itu, aku tetap meminta Mbak Ijas untuk datang seperti jam biasanya. "Raja nangis, Ra! Aku nanti beli makanan di luar aja. Yang penting kamu ke sini dulu." Mengelap mata dengan cepat, aku mematikan kompor setelah sebelumnya berhasil membuat satu telur mata sapi normal. Aku berjalan dari dapur menuju ruang keluarga sembari membawa sepiring nasi goreng. Iya. Memang hanya sekadar nasi goreng, tetapi aku masih saja tidak becus melakukannya dengan baik. Ramelia yang menyedihkan. Aku mendongak, merasa diperhatikan Pram, sementara Raja sudah berhasil kugendong dan sedang menyusu. Mudah sekali menaklukkan bayi ini; hanya diberi p****g dia akan tenang. Persis seperti Papanya kalau malam hari. Dulu. Menyelonjorkan kaki, aku duduk di lantai, kembali menatap Pram. Sialan! Ini aku sedang kesal, lho. Namun, ditatap intens begitu aku malah salah tingkah. Menjijikkan, Ra! "Nanti aku bantu perah susunya." Dia mengatakan itu bukan dengan ekspresi menggoda. Muka dia kadang aneh dalam memproduksi ekspresi. "Jadi, selama kamu istirahat, dia tetep dapetin ASI." Jelas saja, aku tak mengerti ucapannya. Apa, sih, maksud suamiku ini? Dia bersandar pada sofa, duduk di lantai sepertiku, tanpa alas. Meletakkan piring berisi nasi goreng di sebelah kiri, ia mencondongkan tubuh ke arahku. "Kantung matamu mirip punya SBY. Aku nggak tega." Perlahan, ia mengecup singkat mataku bergantian. Berengek! Dia ... memintaku untuk istirahat karena tahu kalau aku sangat lelah? Bukan. Aku bukan bermaksud mengeluh dengan peran seorang ibu yang sedang kujalani, tetapi sungguh, waktuku tidur tak lebih dari lima jam tiap harinya. Mungkin terbantu jika Pram sedang tak ada acara. Tetapi itu sangat jarang. Aku merasa, semakin ke sini, dia semakin sibuk. Apakah itu ada kaitannya dengan penghargaan yang ia dapat waktu itu? Tahu begitu, aku tak membantunya promosi di akun i********: milikku. Hah! "Setelah makan siang nanti, kamu tidur, ya? Mbak Ijas bisa bantuin aku, kok jagain Raja." "Enggak usah!" f**k! Terlihat sekali kalau aku sedang menahan cemburu. Bodoh, bodoh! Aku memang tidak setuju dengan ide itu. No way! "Maksudku, aku nggak apa-apa, kok." "Sekali aja nurut sama aku, Ra .... Bisa?" Aku mengetatkan rahang, mencoba menahan mataku yang sudah mulai terasa panas. Kenapa aku menjadi lebih cengeng setelah proses melahirkan?! Melawan Pram memang tidak akan pernah menang, tetapi dia bersikap seakan aku selalu membuatnya lelah. "Kalau nggak, nanti aku jaga Raja di kamar kita aja. Sambil nungguin kamu tidur." Jemarinya mengelus pipiku, kemudian naik ke atas, tepat pada kantung mata yang ia sebut mirip Presiden Indonesia ke-6 tadi. Aku tahu dia sadar kalau aku sudah menangis, tetapi dia tak mengatakan apa-apa, hanya terus mengelusnya lembut. "Sekarang sarapan bareng?" "Aku lagi nyusuin Raja." Menunduk, aku melihat tangan mungil Raja memainkan bajuku, tak bisa membuatku untuk tidak tersenyum dan menciumnya gemas. "Lagian, itu aku buatin kamu." "Kamu nggak bikin buat kamu sendiri?" Aku menggeleng. Nggak sempat. Pram sudah berteriak sebelum aku membuat bagianku. Memang terdengar aneh, aku tidak bisa membuat nasi goreng langsung untuk beberapa porsi. Kalau tidak kurang bumbu berarti akan kelebihan bumbu. Itu tidak sedap. Makanya, aku memilih untuk membuatnya per porsi. Dan, nasi goreng adalah masakan yang sangat jarang kuolah. Ribet. "Buka mulutnya. Aku juga nggak akan abis sebanyak ini." Buka mulutnya. Judes sekali. Padahal, kalau memintaku membuka pakaian bisa sangat lembut. Ck! "Biasanya abis?" Pram mendengus, tetapi tetap menyodorkan sesendok nasi goreng di hadapan mulutku. "Aku lagi berusaha buat romantis, Ra. Biar kamu berhenti ngambeknya." Bajingan! Bagaimana aku harus menilai lelaki ini? Kenapa juga dia harus mengatakan sejujur itu? Dia ini memang lelaki yang paling bisa membuatku bungkam. Selalu. "Raja nanti main sama Papa, ya? Mami mau bobo." Aku tertawa kecil, saat matanya sudah terpejam. Dia malaikatku, darah daging Pram. Lelaki yang selalu membuatku kesal tetapi sangat kucintai. "Udah tidur aja dianya." "Rajanya tau kalau Maminya butuh istirahat. Biar nggak gampang cemburuan. Apalagi cemburunya sama kerjaan Papa." "Apa, sih?!" Aku melototinya, yang malah ia balas dengan tawa. "Kamu tuh tau nggak sih, Pram, kamu tuh nyebeliiin banget?" "Tahu." Kepalanya mengangguk. Tanpa menoleh ke arahku, dia terus menyuapkan nasi goreng itu ke dalam mulutnya. "Kamu juga nyebelin, sih." "Kok aku?" "Waktu kesakitan abis lahiran aja, janjinya mau manggil aku 'Mas'. Sekarang balik lagi ngelunjak." Ya Tuhan! Benar. Aku melupakan hal itu. Sungguh lupa. Lihatlah, sekesal apa pun diriku dengan Pram, akan selalu begini. Kami akan berakhir pada percapakan yang pasti menyudutkanku. Kecuali sandiwara sebulan lalu. Sandiwara yang kupikir adalah keberhasilan terbesar, ternyata adalah kegagalan yang tertunda. "Tidurin Raja di boksnya, terus mandi. Setelah Mbak Ijas dateng, kita pergi." Pram kembali bersuara. Ia sudah menghabiskan nasi goreng itu dan hanya menyuapiku dua kali. Begitu dia bilang sepiring berdua? Dasar perut karung! "Kita ke warung Bebek Pak Ahmad." Mataku membeliak. Ini mengejutkan. "Kok kamu tau kalau aku mau ke sana?" Serius. Kemarin, aku baru saja meminta Mbak Ijas membelikan Bebek penyet, tetapi sudah kehabisan. Warung Pak Ahmad memang sangat ramai. Baru resmi dibuka sejak usia kehamilanku memasuki delapan bulan kalau tidak salah. "Pram...?" Dia ini kebiasaan sekali. Tidak mau langsung menjawab pertanyaanku. Yang katanya pertanyaan nggak pentinglah. Tidak membutuhkan jawabanlah. "Kamu tuh kalau ngidam bilangnya ke aku, ngapain ke Mbak Ijas?" Jadi benar, Mbak Ijas yang memberitahu. Hm, baiklah. Kerja yang bagus Mbak Ijas. "Emang yang hamilin kamu Mbak Ijas apa?" "Kamu, kan, sibuk banget. Lebih-lebih dari tim sukses para cagub." Pram justru tertawa. Padahal kalian mengerti, kan, kalau aku tidak sedang bercanda. Aku menyindirnya! "Kangen galaknya kamu di ranjang," bisiknya, kemudian berdiri menuju dapur. Dia bilang ... "Sialan Pram...!" Aku menggoyangkan tubuh Raja, saat dia bergerak dan membuka mata, sementara Pram terbahak di dapur seorang diri. Gila. Saat aku tengah sibuk menenangkan Raja, dering ponsel Pram menginterupsi. Aku tidak bisa melihatnya. Malas harus bangkit dari lantai. "Pram! Hapemu bunyi!" "Sebentar!" Tak lama setelah mengatakan itu, wajahnya muncul dari pintu dan berjalan mendekati meja, sumber suara. "Halo? Tentang apa?" Siapa yang di teleponnya? "Nggak bisa, Mas. Aku hari ini punya tugas negara." Saat mengatakan tugas negara, ia mengedipkan sebelah matanya padaku. Apa maksudnya? "Lagian mendadak banget. Maaf, ya? Oke, oke lain waktu. Iya. Nanti aku kabarin, deh, gimana prosedurnya. Iya. Oke! Sip. Bye!" Tiba-tiba, dia sudah berjongkok di hadapanku, mencium pipi Raja. "Ih! Baru juga merem lagi." Pram tertawa, mengacak rambutku yang sudah dua hari tidak kusisir. "Nggak tanya siapa yang nelepon aku?" Mencibirnya, lalu aku menjawab, "Cuma buat kamu jawab 'pertanyaan kamu nggak butuh jawaban, Ra'. Gitu? Ogah!" Lengkap dengan nada bicara Pram. Kekehannya selalu membuatku bertambah kesal. Sebab, itu terdengar sangat seksi. Dan apalah dayaku yang sudah lama tak merasakan kembali nikmatnya Pramuja Natanegoro ini? "Nggak semua pertanyaanmu aku jawab gitu, kok." "Masa, sih?" Kepalanya mengangguk. Ia mencuri kecupan di pipiku. Dasar curang! "Yang telepon tadi Mas Yongky. Minta aku buat gantiin host di seminarnya. Katanya, mendadak host-nya kecelakaan." Aku tidak tahu siapa Yonky dan tidak ingin tahu. Begitu pun Pram, jika ia rasa aku perlu tahu, sudah dari tadi ia akan mengatakan lebih detail. "Kenapa kamu nggak mau?" Aku berusaha untuk jual mahal, padahal dal hati bersorak karena ia menolak ajakan itu. "Kan tugas negara lebih penting." Senyumnya merekah. Apa ... dia berusaha memperbaiki lagi? Maksudku, mengganti kejadian waktu itu yang berhasil membuatku selalu menangis jika mengingatnya? "Dan biasanya, kalau habis menjalankan tugas negara, bakalan ada hadiah besarnya." Aku berpura-pura memasang wajah bingung. "Hadiahnya apa?" "Kamu." "Aku?" "Iya. Kamu. Nanti malam." Pram berdiri, kemudian mengatakan, "Nanti kalau mandi sekalian mandi nifas, ya?" Wajahku panas dan sialannya memang hanya Pram yang sukses membuatku kesal sekaligus merona di waktu yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN