satu
"Rajanya nangis, Ra! Bisa berhenti dulu dan ke sini?"
Di dalam dapur, Ramelia mendengus pelan, menyayangkan pancake yang sebentar lagi akan matang. Namun, panggilan darurat itu tak bisa ia bantah dan lebih merelakan beberapa pancake-nya tak jadi. Tak apalah, dia sudah berhasil membuat beberapa yang sempurna dan sekarang ia bawa ke ruang tamu. Di mana ada Pram sedang menggendong Raja kecil dan sesekali mengayun tubuh bayi itu pelan.
"Sini, sini! Duh, Jagoan Mami kenapa nangis?" Bukannya tak tahu, Ramelia hanya mencoba tak memperhatikan tatapan Pram kali ini. Sebab dia sudah hafal, Pram pasti sedang memandangnya tajam karena tak segera meninggalkan pekerjaan di saat Raja menangis. "Aus, ya? Makasih, Papa."
"Mulai besok nggak usah ngapa-ngapain." Benar, kan? Ramelia sudah menduga lelakinya akan mengatakan kalimat ini. "Kalau Mbak Ijas nggak bisa tinggal tetap, aku bakal nambah Mbak satu lagi buat nemenin kamu."
"Pram," Bagaimana cara Ramelia mengatakannya? Ia duduk, sembari mulai membuka kancing baju dan membiarkan Raja kecil mendapatkan makanannya. "kita udah pernah bahas ini. Please?"
"Tapi nggak dengan menelantarkan Raja, Ra ...."
"Aku janji nanti nggak akan-"
"Nggak akan apa?" Pram menyela cepat. Membuat Ramelia menahan napas sesaat, kemudian tangannya bergerak mengelus pipi gembil Raja. Mengalihkan rasa kesal. "Kalau tadi aku nggak di rumah, Raja kamu birain di boksnya dan kamu asik bikin percobaan di dapur, gitu?"
Mendengar tuduhan sepihak, kepala yang sore ini tak tertutupi kerudung itu langsung terangkat. Menelisik ke dalam mata suaminya. Benarkah tuduhan itu ditujukan untuk dirinya? Apa Pram tidak sedang bercanda? "Kamu beneran nggak mau narik kalimat kamu barusan?" Boleh, kan, kali ini saja Ramelia berharap selera humor Pram sedang dalam keadaan baik? "Aku Ibunya, lho, Pram. Kamu ngomong gitu seakan aku ini ibu tiri yang paling bajingan."
"Aku kenal kamu, Ra. Rasa penasaran kamu kalau lagi ngelakuin sesuatu yang bikin kamu lupa semuanya."
"Tapi dia anakku!" Berengsek. Ramelia menggerakkan tangannya pelan, saat rengekkan Raja mulai terdengar. Setelah memastikan bayi itu kembali terlelap, ia menatap sinis lelaki di depannya. "Aku nggak akan pernah ninggalin dia cuma demi kerjaan kayak apa yang kamu lakuin bahkan di saat umurnya baru seminggu."
Pram bungkam.
Jelas saja ia tak memiliki pembelaan. Apa pun itu alasannya, meninggalkan istri dan bayi yang baru berusia seminggu demi sebuah panggilan dari produser adalah tindakan bodoh. Pram akui, tak semua orang akan mengerti jalan pikirannya. Ia hanya menginginkan kehidupan yang tak sekadar layak untuk anak dan istri. Ia ingin semuanya mudah dan sempurna.
Untuk itu, sebagai lelaki dan kepala rumah tangga, hal pertama yang ia rencanakan adalah bagaimana manajemen keuangan di dalam rumah tangganya. Uang untuk pendidikan Raja kelak, uang untuk kehidupan sehari-hari istri luar biasa itu dan keperluan besar lain. Jadi, tetap salahkah ia jika berusaha sangat keras untuk menggapai semua itu?
"Biar aku yang jagain Raja tidur. Kamu lanjutin lagi buat pancake-nya."
"Nggak perlu," Ramelia tahu, kok, kalau Pram melakukan itu hanya karena rasa bersalah. Bukan benar-benar peduli. Kemana suami siaga dan spesialnya dulu? "Mungkin kamu bener, kalau tadi seandainya nggak ada kamu, Raja pasti aku tinggalin di boksnya. Dan sekarang kamu udah nyadarin aku. Makasih, ya."
Dengan gerakan pelan, Ramelia berdiri sembari tangan sebelah kanan membenarkan kancing kemeja. Dilihatnya mata Raja kecil, Jagoan yang ia idam-idamkan terpejam rapat. Kulit wajah bayi itu masih sedikit kemerahan. Betapa ia sangat menyayangi bayi ini, Tuhan! Bayi yang selalu ia impikan, dan masuk ke dalam jajaran paling atas daftar doa privasinya.
"Ini pancake rasa apa?" Mencoba peruntungan, Pram kembali membuka suara. Berharap, jiwa iblis dalam diri Ramelia masih ada. Entah iblis itu akan mengeluarkan teriakan atau tatapan menghujam, Pram akan terima. Sebab itu lebih baik daripada melihat istrinya begini.
"Coba aja dimakan, nanti tau rasa apa."
Hah. Miris. Kenapa jawaban simpel dan intonasi lembut yang dulu ia idamkan kini justru menyayat hati? Pram tak mau situasi seperti ini, situasi yang sangat menganggu karena kebodohannya beberapa minggu lalu. Meninggalkan Raja yang baru berusia seminggu demi memenuhi panggilan produser meskipun Ramelia sudah melarangnya. Dan mana Pram pernah menyangka, kalau karena hal itu semuanya akan berubah? Tak ada lagi Ramelia yang selalu heboh dengan hal apa pun. Tak ada lagi Ramelia galak sekaligus manja.
Kini, yang Pram lihat, Ramelia terlalu memaksa diri; Bersikap lembut dan menurut. Tak pernah mengumpat dan selalu diam, tak mau repot membuka topik pembahasan seperti dulu. Awalnya Pram senang. Karena itu yang kadang ia inginkan dulu, kan? Tetapi satu bulan berlalu, tepat dengan usia Raja satu bulan lebih seminggu, ia merasa semuanya tak benar.
Mengapa orang bisa berubah hanya karena hal sepele dan dalam hitungan detik?