LIMA BELAS

1611 Kata
Bel pulang sekolah berbunyi, para siswa segera berhamburan ke luar kelas. Athena sedang membereskan bukunya sementara Dean sedang sibuk dengan layar ponselnya. Hari ini adalah hari pertama Kheanu akan belajar bahasa Inggris bersama Athena. Ia pun langsung menuju meja Athena dan bertanya mengenai tempat yang akan mereka gunakan untuk belajar hari ini. Namun perhatiannya tertuju pada Dean yang saat itu sedang berkeluh kesah. “Lu kenapa sih marah-marah terus?” tanya Kheanu. “Ini, masa gue pesen ojek online dari tapi gak bisa-bisa, kayaknya servernya bermasalah deh.” “Kalau ada yang offline, kenapa harus yang online?” Kheanu kini melihat ke arah Dimas yang sedang berjalan menuju pintu kelas. “Dim, lo bisa anter si Dean pulang gak? Kasihan nih doi gak bisa pesen ojek online.” Athena sedikit heran mendengar perkataan Kheanu, sejak kapan Kheanu peduli pada Dean? Lalu, bukannya Dimas dan Dean itu musuh bebuyutan? Mana mau Dimas mengantar Dean pulang? Mana mau juga Dean diantar oleh Dimas? Pikir Athena. Dimas sedikit terkejut mendengar ucapan Kheanu yang tiba-tiba, terlebih saat ini di kelas masih ada Panji dan beberapa murid lain. Bisa diledekkin habis-habisan Dimas jika Panji menangkap maksud ucapan Archen. Dimas pun terpaksa harus menyembunyikan perasaannya. “Nganterin si Dean? Idih, males banget. Biar dia bayar ongkos pun gue gak akan mau!” ucap Dimas. Panji hanya tertawa mendengar perkataan Dimas, tentu ia mengaggap itu hal biasa, sebab meledek Dean adalah rutinitas sehari-hari yang biasa mereka lakukan. Sementara Kheanu benar-benar tak habis pikir mendengar ucapan Dimas. Ia tak menyangka kalau Dimas masih saja berusaha untuk menyembunyikan perasaannya. Entah mengapa saat itu Dean sakit hati sekali mendengar perkataan Dimas. Padahal itu adalah hal biasa, dan sebelum-sebelumnya ia tak pernah peduli dengan ucapan tiga sekawan itu, ia selalu menganggapnya sebagai angin lalu. Dean pergi meninggalkan kelas tanpa mengucapkan sepatah katapun. Athena sudah berusaha menyusul Dean namun sahabatnya itu lari dengan sangat kencang dan langsung menaiki angkutan umum. Di dalam angkutan umum Dean mengingat semua kata-kata yang baru saja diucapkan Dimas, dan tanpa sadar air mata mengalir di pipinya. Dean pun memikirkan mengapa Dimas bisa berkata seperti itu bahkan setelah ia mengungkapkan perasaannya pada Dean. Apa Dimas sakit hati setelah ditolak olehnya? Atau apa sebenarnya Dimas hanya mempermainkan perasaannya untuk dijadikan sebagai bahan bercandaan? Dean pun memikirkan beberapa kemungkinan yang terjadi. Sementara Dimas kini masih berdiri di tempatnya. Saat keluar kelas, Dean sempat melihat ke arahnya, mereka pun saling bertatapan, Dimas dapat melihat genangan air mata di mata Dean. Kheanu hanya menghampiri Dimas dan menepuk-nepuk pundaknya dengan tatapan penuh arti. Dean adalah orang yang mudah marah namun tak pernah lama. Saat ia tidak suka terhadap sesuatu, saat itu juga ia akan marah-marah dengan mengeluarkan beberapa kata u*****n. Namun setelahnya ia akan bersikap seolah tak pernah terjadi apapun. Dean tidak pernah memberikan respon “diam” pada lawannya. Dan jika Dean sudah melakukan hal itu, itu tandanya ia benar-benar sudah kecewa. Dimas pun dapat merasakan kekecewaan yang ada dalam diri Dean. Sebelumnya Dimas tak pernah merasa sebersalah itu. Bahkan saat kelas sepuluh, ketika ia menghilangkan tempat minum Dean dengan merek terkenal, ia hanya merasa bersalah sedikit. Sebab setelahnya ia membelikan Dean tempat minum baru dengan harga dua kali lipat. Dean pun kembali ceria dan bersikap biasa pada Dimas. Namun saat ini kondisinya berbeda. Dimas bukan menghilangkan barang milik Dean melainkan baru saja menyakiti perasaannya. Hati seseorang tidak bisa diganti dengan yang baru seperti saat kita membeli barang. Jika hati seseorang sudah hancur, maka semuanya tak dapat kembali seperti semula. Athena dan Kheanu berjalan di lorong sekolah menuju lab bahasa Inggris. Mereka memutuskan untuk belajar di sana. Namun setelah sampai di depan lab, mereka mendengar kabar buruk. Penjaga lab mengatakan bahwa hari itu lab tidak bisa digunakan karena akan dilakukan sterilisasi sekolah. Sebab besok akan ada kunjungan tahap 1 dari tim akreditasi untuk menilai SMA Pelita Bangsa. Setiap sekolah memang memiliki akreditasi yang berlaku selama lima tahun. Akreditasi merupakan nilai yang dapat menggambarkan kualitas dari suatu sekolah. Saat ini SMA Pelita Bangsa berakreditasi A, namun karena masa berlakunya sudah habis maka harus dilakukan penilaian atau akreditasi ulang. Hal itu guna memastikan kualitas terbaru dari suatu sekolah. Karena adanya kegiatan akreditasi itu, semua ekskul yang biasanya latihan di hari Jumat dan Sabtu terpaksa harus diliburkan. Tidak boleh ada kegiatan setelah pulang sekolah. Termasuk penggunaan fasilitas sekolah seperti lab bahasa Inggris atau perpustakaan. “Gimana kalau belajarnya di rumah gue aja?” tanya Athena. “Eh…di rumah lo? Gak masalah?” tanya Kheanu sedikit canggung. Walaupun nakal-nakal begitu, namun ia tak pernah berduaan di rumah dengan seorang gadis. Seolah dapat membaca apa yang ada di pikiran Kheanu, Athena pun langsung cepat-cepat mengkonfrimasi, “Heh jangan mikir yang macem-macem ya! Di rumah gue ada ART kok, terus mas Faiz juga katanya mau main ke rumah hari ini, jadi kita gak bakal berduaan doang.” Tegas Athena. Kheanu hanya cengengesan, ia tak menyangka bahwa Athena tahu apa yang ada dipikirannya. Ia pun hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Iya, iya, yaudah yuk, berangkat sekarang?” “Let’s goo.”                                                                                             ****** Archen sedang menyantap bubur kacang hijau saat sang tante menelponenya. Tira mengatakan pada Archen bahwa hari itu ia akan lembur. Bekerja sebagai salah satu pegawai di bank swasta dengan jabatan yang cukup tinggi membuat tante Tira kerap kali disibukkan dengan pekerjaan. Hingga tak jarang wanita tersebut harus lembur hingga tengah malam. Seperti malam itu, karena harus segera menyerahkan laporan kepada atasan, Tira terpaksa harus bekerja hingga pukul sebelas malam. Namun ia tak sendiri, ada Hendra, pegawai lainnya yang hari itu lembur juga. Hendra menghampiri Tira yang saat itu masih berkutat di depan komputer, “Diminum, Mbak kopinya.” Ucap Hendra sambil meletakkan kopi di meja Tira. Usia Hendra memang lebih muda dibanding Tira, keduanya terpaut selisih 3 tahun. Hendra juga merupakan junior Tira di kantor, sehingga jabatan Hendra berada di bawah Tira. Tira menoleh sebentar, “Eh, thanks, Ndra.” “Belum selesai Mbak kerjaannya?” Tanya Hendra, ia kini duduk di dekat meja Tira. “Belum nih, lo udah? Kalau udah pulang duluan aja, gue udah biasa kok sendiri.” Tira memang lebih suka menggunakan bahasa informal pada rekan-rekan kerjanya, terlebih saat di luar jam kerja seperti ini. “Mbak emang kelewat mandiri, ya.” “Ya kan gue emang gak suka bergantung sama siapapun. Selagi masih bisa gue handle sendiri ya itu berarti gue gak butuh siapa-siapa.” Hendra hanya tersenyum mendengar ucapan Tira, sudah ratusan kali Tira mengatakan hal tersebut pada setiap orang. “Yaudah, Mbak, kalau gitu saya pulang duluan ya. Mbak gak apa-apa kan di sini sendiri? Ada atau gak ada saya kan emang gak akan berpengaruh apa-apa di hidup Mbak.” Lelaki itu langsung meninggalkan ruangan tanpa mendengar jawaban Tira. Sementara Tira tidak mengerti apa maksud dari ucapan Hendra. Ah paling juga lagi galau gara-gara putus sama pacarnya, pikir Tira. Tira sudah delapan tahun bekerja di sana, sementara tahun ini Hendra sudah memasuki empat tahun masa kerja. Di kantor Hendra dikenal sebagai lelaki yang sudah berganti-ganti pasangan. Bahkan ia pernah menjalin hubungan hanya sebulan lamanya. Bagi remaja, pacaran dalam jangka waktu sebulan mungkin hal biasa, tapi tidak bagi orang dewasa yang sudah hampir memasuki kepala tiga. Karena itulah beberapa pegawai di kantor seringkali menggosip tentang Hendra. Hingga istilah “Hendra si mata keranjang” sudah melekat di dirinya. Satu jam setelah Hendra pulang, pekerjaan Tira pun selesai. Ia langsung merapikan barang-barangnya dan menuju parkiran mobil untuk segera pulang. Begitu mobil Tira keluar dari area kantor, tiba-tiba saja ada dua motor yang menghalangi mobilnya, satu motor berada di depan mobil Tira sementara satunya lagi berada di samping mobil Tira. Tak lama dua orang yang berada di samping mobil Tira menggedor-gedor kaca mobil Tira. Tira yang saat itu begitu ketakutan langsung menghentikan mobilnya dan menghubungi satpam kantornya. Namun para pembegal itu bergerak begitu cepat, mereka kini berusaha untuk memecahkan kaca mobil Tira menggunakan batu dan palu. Tira menjerit ketakutan, kaca mobilnya retak. Saat perampok itu hendak memukul kembali kaca mobil Tira, tiba-tiba saja seseorang memukul kedua perampok itu. Tira tak dapat melihat dengan jelas siapa orang itu, sebab ia menggunakan helm. Tetapi Tira tahu bahwa orang itu baru saja ditusuk oleh perampok. Lelaki itu pun jatuh tersungkur, sementara para perampok segera pergi setelah tahu bahwa mereka menusuk seseorang.             Tira langsung keluar dari mobil dan membuka helm yang dikenakan oleh lelaki tersebut agar ia tak kesulitan untuk bernapas. Tira begitu terkejut setalah tahu bahwa lelaki itu adalah Hendra. Ia pun langsung menghubungi satpam kantor untuk meminta bantuan. Mereka pun segera menuju ke rumah sakit untuk menangani luka Hendra. Setelah diperiksa dokter menyatakan bahwa luka yang dialami Hendra tidak terlalu parah, namun tetap saja lelaki itu harus menerima beberapa jahitan. Begitu Hendra sadar, ia langsung melihat Tira yang sedang tertidur di sebelahnya. Jarum jam menunjukkan pukul enam pagi. Tentu saja malam itu Tira menginap dan tak pulang ke rumah. Tidak lama kemudian Tira terbangun dari tidurnya dan melihat Hendra sedang menatap ke arahnya, “Ndra, lo udah sadar? Gue khawatir banget lo kenapa-napa.” Hendra hanya tersenyum, lelaki itu kemudian memegang tangan Tira, “Mbak gak apa-apa?” Tira begitu terkejut, ia langsung melepaskan tangan Hendra, “Gak apa-apa. Tapi kenapa tiba-tiba semalem lo muncul? Bukannya lo udah pulang sejam lebih awal?” “Ponsel saya ketinggalan di kantor mbak, jadi saya balik lagi.” “Oh, makasih ya, gue bener-bener gak tahu gimana nasib gue kalau gak ada lo.” “Iya, Mbak. Berarti kehadiran saya di hidup Mbak ada sedikit gunanya juga ya? Apa itu masih bukan apa-apa bagi, Mbak? Mbak yakin bisa meng-handle semua hal yang terjadi dalam hidup Mbak dan gak membutuhkan siapapun? Mbak yakin bisa hidup sendiri?” Tira tak bisa menjawab pertanyaan Hendra. Ia langsung membuang wajahnya dan pergi meninggalkan rumah sakit. Hendra sama sekali tidak menyesal telah mengatakan hal tersebut. Sebab sudah sejak lama ia ingin mengatakannya namun tak pernah punya nyali untuk melakukannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN