Saat jam istirahat Athena meminta Dean untuk pergi ke kantin terlebih dahulu. Namun ia tak menyampaikan pada Dean bahwa ingin bertemu Archen di perpustakaan. Athena tak ingin Dean berpikir macam-macam dan menyebarkan kehebohan di kelas. Sesampainya Athena di perpustakaan, ia langsung membuka pintu perpustakaan, dan seperti biasa, suasana sepi. Mungkin hanya Archen yang pergi ke perpustakaan saat jam istirahat. Entah mengapa Athena langsung berjalan menuju sudut ruang, seolah sudah ada radar yang memberikan petunjuk padanya. Dan benar saja, di sana sudah ada seorang siswi laki-laki yang sedang membaca buku biologi, siapa lagi kalau bukan Archen. Gadis itu menarik kursi yang ada di dekatnya, ia kemudian duduk tepat di hadapan Archen.
“Nih, bukunya.” Ucap Athena sambil meletakkan buku yang dibawanya di atas meja.
Archen menutup buku yang sedang dibacanya, “Inget ya, ini pertama dan terakhir kalinya gue pinjemin lo buku pakai kartu perpustakaan gue. Bangkrut gue buat bayar dendanya.”
Di sekolah Archen memang ada aturan tertentu saat ingin meminjam buku. Satu buku hanya boleh dipinjam dalam jangka waktu satu minggu, jika ingin memperpanjang masa pinjaman, maka sebelum waktu pinjaman berakhir, sang murid harus membawa buku dan kartunya ke perpustakaan untuk memperpanjang waktu pinjaman. Jika buku telat dikembalikan, maka peminjam harus membayar denda sebanyak lima ribu rupiah perhari. Buku yang dipinjam Athena sudah telat dikembalikan selama 5 hari, itu berarti denda yang harus dibayar adalah dua puluh lima ribu rupiah.
“Sorry, sorry, nanti gue ganti ya uang dendanya.” Jawab Athena tak semangat. Sejujurnya Athena masih memikirkan dengan siapa ia harus pergi ke Bosscha. Itu juga yang membuat dirinya tak focus belajar di kelas sejak pagi. Archen sedikit bingung dengan sikap Athena yang tak seceria biasanya. Ia sempat berpikir bahwa Athena sedang sakit lagi, karena terakhir kali Archen melihat gadis itu tak bersemangat adalah saat sedang menahan sakit di lorong sekolah.
“Lo kenapa gak semangat gitu?”
“Gue lagi mikirin sesuatu aja. Kira-kira aman gak ya kalua gue pergi ke Bandung sendiri?”
Archen kaget dengan pertanyaan Athena, “Mau ngapain lo ke Bandung?”
“Mau ke Observatorium Bosscha, kemarin kan gue gak bisa ikut study lapangan, makanya sekarang gue mau ke sana, jadi susulan gitu.” Jelas Athena.
“Terus kenapa sendirian?”
“Ya karena gue gak ada teman lah, Archen, papa sama Bund ague sibuk, Mas Faiz gak bisa nemenin karena harus anter pacarnya, kalau Dean gak suka ke sana katanya bosenin.” Athena kini melirik ke arah Archen, tiba-tiba saja terlintas ide yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
Archen sedikit paham apa yang ada di pikiran Athena, “Jangan harap! Ngapain juga gue ke sana.” Ucap Archen.
Athena meniup poninya, menyesali mengapa ide yang tak mungkin terjadi itu malah terpikirkan olehnya, “Huft, iya, iya, gue juga tau kok. Gak mungkin lo mau nemenin gue ke sana.” Athena bangkit dari kursinya, ia kemudian meletakkan uang sebanyak tiga puluh ribu rupiah di meja Archen sebagai uang untuk membayar denda buku.
“Udah ya, gue mau ke kantin dulu, btw, lo gak makan siang?”
“Gue makan siang, tapi bukan di kantin.”
“Terus dimana?”
“Mau ikut?”
Athena mengangguk. Jujur saja sudah mulai sedikit bosan dengan menu yang ada di kantin. Gadis itupun mengikuti Archen yang kini sudah berjalan menuju gerbang sekolah. Karena saat itu merupakan jam istirahat, suasana sekolah sangat ramai. Ada beberapa pasang murid yang sedang berpacaran di depan teras kelas, ada sekelompok siswi yang sedang mengobrol di lorong sekolah, dan ada beberapa siswa yang sedang berolahraga di lapangan sekolah. Athena bingung mengapa Archen terus berjalan ke arah gerbang sekolah, sebab setau Athena saat jam istirahat para murid dilarang untuk keluar sekolah. Hal itu sebagai suatu tindakan untuk mencegah murid-murid yang ingin bolos sekolah.
“Archen, kita mau keluar sekolah?” Tanya Athena yang kini berjalan mengikuti Archen dari belakang.
“Iya.”
“Lho, emangnya boleh?”
Mereka kini sudah berada tepat di dekat gerbang sekolah, Archen berbalik badan dan berbicara pada Athena, “Kenapa engga? Apa lo pikir orang kayak gue bakal bolos sekolah?”
Tak lama kemudian satpam sekolah, Babeh, keluar dari pos jaga dan segera membuka gembok yang terpasang di gerbang sekolah, “Iya, Neng, Nak Archen mah gak akan pernah bolos, bahkan kalau dikasih jatah bolos pun gak akan dia ambil.” Ucap Babeh pada Athena.
Archen hanya tersenyum mendengar ucapan Babeh, setelah mengucapkan terima kasih, keduanya berjalan melewati gerbang sekolah. Rupanya Archen mendapatkan perlakuan yang sedikit berbeda dari murid-murid yang lain. Bu Nida—sang kepala sekolah—merupakan teman dari mama Archen. Karena peristiwa yang menimpa keluarga Archen, Tante Tira meminta kepada Bu Nida untuk mengizinkan Archen makan di luar sekolah saat jam istirahat. Sebab Archen tidak bisa jika harus makan di kantin yang kondisinya sangat ramai. Tante Tira pun menjadikan dirinya sebagai jaminan bahwa Archen tak akan pernah telat kembali ke sekolah apalagi sampai bolos. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, Bu Nita menyetujui permintan dari Tira. Archen dan sang tante pun harus menandatangani perjanjian di atas materai. Jika suatu hari Archen melanggar perjanjian tersebut, maka ia harus siap menerima konsekuensi yang sudah ditentukan sebelumnya. Itulah mengapa setiap jam istirahat Babeh selalu siap siaga membuka gerbang sekolah untuk Archen. Rutinitas itu sudah beliau lakukan kurang lebih selama dua setengah tahun.
Namun meskipun begitu, Archen tak kunjung juga dekat dengan Babeh. Padahal Babeh adalah sosok yang hangat dan mudah bergaul, sama seperti Athena. Hampir seluruh murid di sekolah akrab dengan Babeh, dan ya, salah satu yang paling dekat adalah Kheanu. Bahkan beberapa kali Kheanu bisa bolos dari sekolah berkat bantuan Babeh. Lebih tepatnya berkat uang rokok yang Kheanu berikan pada Babeh. Babeh sudah puluhan tahun menjadi satpam di sekolah itu. Kecintaannya kepada pekerjaan itu membuat ia masih terus bekerja bahkan saat usianya sudah hampir memasuki kepala enam. Banyak sekali jasa yang telah Babeh berikan untuk sekolah. Salah satunya adalah saat sekolah ingin dirampok sepuluh tahun lalu. Saat itu dua orang perampok sudah berada di ruang Tata Usaha ketika Babeh sedang patroli malam. Dengan keberaniannya, Babeh menghampiri perampok tersebut dan menekan tombol alarm darurat sekolah. Namun tak ada yang tahu bahwa perampok tersebut membawa senjata api dan langsung menembakkan ke kaki Babeh. Tidak lama kemudian beberapa satpam sekolah yang juga sedang berjaga malam menemkan Babeh sudah terbaling lemah di lantai karena kehilangan banyak darah. Sialnya, para perampok tersebut sudah berhasil melarikan diri. Babeh pun harus menjalani operasi untuk mengangkat peluru yang tersarang di kakinya. Semenjak kejadian itu Babeh sudah dilarang menjadi satpam sekolah oleh keluarganya, namun Babeh tak mau berhenti. Ia sangat mencintai sekolah tersebut dan semua yang ada di dalamnya, mulai dari para guru bijaksana dan bersahaja, para murid yang menyenangkan, dan para pedagang di kantin sekolah yang royal.
Archen dan Athena memasuki rumah makan yang cukup sederhana. Rumah makan tersebut terletak tak jauh dari sekolah. Saat tiba di sana, hanya ada dua orang pembeli yang sedang makan di tempat itu. Sepertinya rumah makan itu tergolong sepi dan tak diminati. Padahal banyak sekali menu yang disajikan. Archen memutuskan untuk memesan nasi ayam goreng sedangkan Athena memesan nasi ayam rica-rica. Tak sampai sepuluh menit, pesanan mereka kini sudah tersaji di atas meja. Setelah Athena mencicipi makan tersebut ternyata rasanya sangatlah lezat.
Athena kemudian melihat sekeliling, ia masih tak melihat adanya pembeli yang datang, “Gue bingung, kok rumah makannya sepi ya? Padahal rasanya enak banget loh ini, dan harganya juga tergolong murah.” Ucap Athena.
“Itu karena sempat ada satu kasus yang pernah berhubungan dengan tempat ini.”
Mata Athena langsung tergelalak begitu ia mendengar kata kasus, “Hah? Kasus apaan?”
Archen pun menceritakan bahwa tempat makan ini merupakan milik keluarga Pak Ijal. Pak Ijal memiliki seorang putri yang kemudian menikah dengan seorang pria pengangguran. Setelah menikah, kehidupan mereka terus dilanda berbagai permasalahan, mulai dari masalah ekonomi hingga masalah kekerasan dalam rumah tangga. Suami dari putri Pak Ijal sangatlah kasar. Ia selalu melampiaskan emosinya kepada sang istri. Namun karena tak tahan lagi dengan perlakuan kasar suaminya, suatu hari anak Pak Ijal memutuskan untuk melawan perlakuan kasar sang suami. Nasib berkata lain, anak Pak Ijal tak sengaja membunuh suaminya saat ingin membela diri. Ia kemudian terpaksa harus mendekam di penjara. Sejak saat itulah rumah makan milik Pak Ijal yang tadinya ramai jadi sepi pengunjung setelah beberapa orang melebeli “Rumah makan milik orangtua yang tak bisa mendidik anaknya hingga menjadi seorang pembunuh.” Saat menceritakan kejadian tersebut, Athena dapat melihat emosi yang ada dalam diri Archen. Ia pun sedikit bingung harus bagaimana menanggapi cerita tersebut.
“Kenapa lo masih setia makan di sini?” Tanya Athena.
“Karena enggak ada yang salah dengan sikap putrinya Pak Ijal, dia sudah melakukan tindakan yang tepat...” Athena sedikit terkejut dengan perkataan Archen, lelaki itu kemudian melanjutkan perkataannya, “Cepat atau lambat salah satu di antara mereka pasti terbunuh. Pilihannya hanya dua, terus menerus menjadi korban yang disiksa hingga akhirnya meninggal, atau mengakhiri penderitaan dengan melenyapkan sumber masalah.” Mata Archen kini menjadi merah, terlihat sekali bahwa ia sedang menahan emosinya. Athena terlalu takut untuk melihat ekspresi Archen saat ini. Ia pun memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan yang cukup emosional itu dan kembali melanjutkan makan. Archen kemudian pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya. Lelaki itu melihat wajahnya di cermin, ia sadar bahwa ia baru saja hampir melewati batas. Jika ia tak bisa mengendalikan emosinya, bukan tak mungkin Athena akan menjauh darinya.