Sementara itu Archen mengantar Athena kembali ke kelas karena jam istirahat sudah berakhir sejak sepuluh menit lalu. Ketika Athena masuk kelas, semua teman sekelas melihat kearahnya dengan tatapan penasaran dan penuh tanya. Ya, mereka semua sudah tahu apa yang terjadi di kantin. Siapapun yang melihat mata Athena saat itu juga tahu bahwa ia baru saja menangis, matanya bengkak. Sesampainya di tempat duduk, Athena langsung meletakkan tangan dan kepalanya di atas meja, ia kini menghadap ke Dean. Kheanu ingin menghampiri Athena namun mengurungkan niatnya setelah tahu bahwa Athena sedang berbicara dengan Dean.
“Gak usah dipikirin, Na, Jessie tuh emang gak jelas.”
“Emangnya dia itu siapa sih, De?” tanya Athena lemas.
“Dia anak 12 IPS 3, dari kelas 10 dia suka sama Kheanu tapi kayaknya sih cintanya bertepuk sebelah tangan. Lagian siapa juga yang mau sama tukang bully kayak dia.”
“Tukang bully?”
“Iya, setiap ada cewek yang deket sama Kheanu pasti langsung diusik hidupnya sama dia. Bahkan korban terakhir, Nindy, dia sampe pindah sekolah karena gak kuat dibully terus sama si Jessie n the gank.”
“Iya, padahal Kheanu pun gak suka sama Nindy, jadi seharusnya dia gak perlu merasa terancam dong. Emang anaknya aja yang rese, suka ngurusin hidup orang lain.”
“Tapi gue kan gak suka sama Kheanu, De, kenapa dia harus ngusik gue?”
“Na, lo beneran gak tau?”
“Tau apa?” tanya Athena polos.
Dean menengok ke arah Kheanu yang entah sedang apa, “Enggak, entar juga lo tau sendiri.”
******
Sepulang sekolah Archen mendapat telephone dari Pak Herman yang mengabarkan bahwa sang Papa baru saja ngamuk dan berupaya untuk mengakhiri hidupnya. Archen yang sebenarnya sudah tidak ingin lagi peduli dengan Papanya terpaksa harus datang setelah Tante Tira memintanya. Setelah memarkirkan motornya, Archen memasuki sebuah bangunan dengan tulisan “Rumah Sakit Jiwa Suka Waras.”
“Tadi siang Pak Teriyanto berusaha untuk minum cairan pembersih kamar mandi, tapi sekarang kondisi beliau sudah cukup stabil setelah diberi obat penenang oleh dokter.” Ucap Pak Herman. Pak Herman adalah perawat yang bertugas menjaga Teriyanto sejak ia masuk rumah sakit jiwa.
Archen hanya diam, tidak tahu harus seperti apa menanggapi ucapan Pak Herman, sebab ini sudah yang kesekian kali sang Papa berusaha untuk mengakhiri hidup. Kini Papanya sedang tertidur di atas ranjang rumah sakit dengan kedua tangan diikat di pinggiran ranjang. Hal itu dilakukan untuk menghindari kalau-kalau Teriyanto akan mengamuk lagi.
Seolah menyadari kehadiran Archen, Teriyanto bangun dari tidurnya, “Archen, kamu sudah datang, Nak? Kemana Mama kamu? Apa dia ikut?”
Archen mengepalkan kedua tangan sampai menahan air mata dan emosi, “Mau sampai kapan Papa kayak gini terus? Mau sampai kapan Papa ngerepotin semua orang? Apa Papa pikir jika Papa bunuh diri akan menghapus semua kesalahan Papa? Apa itu bisa bikin Mama hidup lagi? Enggak, Pa, Enggak! Semua yang sudah terjadi gak akan berubah, Papa tetaplah seorang pembunuh!!!!” teriak Archen, ia benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya.
Mendengar perkataan Archen membuat Teriyanto ikut mengamuk, “Tidak, saya bukan pembunuh, saya bukan pembunuh!!!!!! Kembalikan istri saya, kembalikan jabatan saya, saya bukan pembunuh!!!!”
Pak Herman yang sejak tadi menunggu di depan kamar langsung masuk begitu Teriyanto mengamuk. Ia pun berusaha untuk menenangkan Teriyanto, sementara Archen hanya melihat dengan tatapan penuh dendam dan meninggalkan ruangan. Pikiran Archen kini kacau dan runyam. Ia tidak bisa mengendarai motor dalam keadaan seperti itu, Archen pun memutuskan untuk singgah di salah satu kedai teh yang letaknya tak jauh dari rumah sakit.
“Ashwaganda Tea satu.” Ucap Archen.
“Hot atau Iced?”
“Hot.” Seperti biasa, Archen memilih tempat duduk yang letaknya di pojok dan menghadap jendela. Saat itulah semua kenangan antara ia dan kedua orangtuanya terputar kembali, termasuk penyebab kenapa sang Papa bisa menjadi salah satu pasien di rumah sakit jiwa.
Setelah menjadi salah satu tokoh politik yang terkenal dan berkuasa, Teriyanto berubah menjadi sosok yang kejam bagi keluarganya. Selama bertahun-tahun ia selalu berbuat kasar pada Mama Archen, dari mulai memukul, menjambak, dan menendang. Hingga saat usia lima belas tahun Archen mulai memberontak dan melawan sang Papa, termasuk mengajak Mamanya untuk kabur dari rumah dan bercerai dengan Papanya. Namun sang Mama sangat mencintai Papanya dan tak ingin berpisah. Archen pun memutuskan untuk keluar dari rumah tanpa sang Mama dan tinggal bersama Tante Tira. Kepergian Archen ternyata tak memberikan perubahan apa-apa bagi Teriyanto, lelaki itu masih saja terus menganiaya Mama Archen, bahkan saat Mama Archen tak berbuat satu kesalahanpun. Ya, Teriyanto menjadikan Mama Archen sebagai pelampiasan. Pelampiasan ketika Teriyanto gagal mendapat proyek, gagal naik jabatan, hingga yang terakhir puncaknya adalah saat Teriyanto kalah dalam Pilkada. Teriyato yang dicalonkan sebagai wakil walikota harus menerima kekalahan bahkan di saat ia sudah mengeluarkan uang ratusan juta hanya untuk kampanye. Merasa dikhianati oleh berbagai pihak, Teriyanto yang tak tahu harus melampiaskan kemarahannya pada siapa akhirnya memukuli Mama Archen bagai samsak tinju. Ya, Mama Archen dipukuli sampai hembusan napas terakhir. Ia adalah korban dari kekerasan dalam rumah tangga.
Publik pun dihebohkan dengan berita “Seorang Politikus Membunuh Istrinya”, “Mantan Calon Wakil Walikota Menganiaya Sang Istri Hinggal Meninggal”, “Politikus T Diduga Sudah Bertahun-Tahun Melakukan KDRT.” Banyak orang yang tak percaya, sebab selama ini Teriyanto dikenal sebagai sosok dengan citra baik, peduli dengan masyarakat, ramah, dan lemah lembut. Teriyanto adalah aktor politik kesukaan kaum ibu-ibu. Berbagai pihak terus memantau perkembangan kasus Teriyanto, dari mulai pakar politik, pakar hukum, psikolog, hingga Komnas Perempuan dan Anak. Sulit bagi Teriyanto untuk lolos dari hukuman yang akan menjeratnya. Akhirnya kasus Teriyanto ditangani oleh salah satu hakim professional dengan kinerja yang sangat baik. Ia adalah Pak Hakim Syarif atau Papa Athena. Saat itu Syarif baru dipindah tugaskan ke Jakarta selama tiga bulan, sementara Athena dan Sang Bunda masih tinggal di Yogyakarta. Syarif dikenal sebagai hakim yang berkompeten, jujur, adil, dan tak bisa disuap. Beberapa kali ajudan Teriyanto mencoba untuk menyuap Syarif tapi tak pernah berhasil. Terlebih saat ada seorang anak lelaki menghampirinya dan berkata,”Pak Hakim, tolong beri keadilan bagi Mama saya, tolong hukum lelaki itu.” Ya, itu adalah Archen. Anak laki-laki yang saat itu masih mengenakan seragam sekolah memohon kepada Syarif dengan tatapan penuh luka.
Setelah melalui proses persidangan selama tiga bulan, hakim akhirnya memberikan hukuman 20 tahun penjara kepada Teriyanto. Hak asuh anak pun diberikan kepada Tira selaku adik dari Mama Archen. Syarif benar-benar menyelesaikan kasus itu dengan baik. Namun baru satu setengah tahun dipenjara, Teriyanto sudah menunjukkan tanda-tanda gangguan kejiwaan. Saat di penjara Teriyanto sudah tiga kali melakukan upaya bunuh diri, berteriak, mengamuk, mengganggu narapidana lain, bahkan terakhir ia melukai salah satu narapidana. Setelah diperiksa oleh Dokter Jiwa, Teriyanto positif mengalami gangguan jiwa. Kepala Sipir pun memutuskan untuk memindahkan Teriyanto ke rumah sakit jiwa guna proses penyembuhan agar tak membahayakan tahanan lain.
Dari semua kejadian yang menimpa keluarganya, hal yang paling Archen sesali adalah ia tak berada di samping Mamanya saat masa-masa terakhir. Archen selalu menyalahkan dirinya atas kejadian itu, “Kalau saja ia tak kabur dari rumah, mungkin Mamanya tak akan meninggal”, “Kalau saja ia tetap tinggal bersama, ia pasti bisa menghentikan emosi sang Papa.” “Kalau saja ia mengangkat telpone terakhir dari sang Mama, mungkin ia masih sempat membawa Mamanya ke rumah sakit.” Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Sudah dua tahun berlalu, Archen belum juga bisa memaafkan dirinya dan sang Papa. Entah kapan Archen bisa berdamai dengan peristiwa itu. Setiap kali membahas atau teringat dengan peristiwa tersebut, Archen selalu mengalami mimpi buruk. Tante Tira sudah membujuk Archen untuk pergi ke psikolog untuk menyembuhkan traumanya, tapi Archen selalu menolak. Ia terlalu takut. Begitu selesai menghabiskan secangkir Aswaganda Tea, Archen langsung bergegas pergi menuju suatu tempat yang bisa membuatnya menjadi sedikit tenang, ya, makam sang Mama.
Motor Archen mengarah ke sebuah Tempat Pemakaman Umum yang menjadi tempat peristirahatan terakhir sang Mama. Ia kemudian membeli bunga dan air mawar yang dijual oleh seorang pedagang di depan TPU. Pedagang itu tentu sudah hafal dengan wajah Archen. Sejak Mamanya meninggal dua tahun lalu, tidak terhitung sudah berapa kali Archen mengunjungi makam mamanya. Namun selalu ada keraguan dalam benak pedagang tersebut untuk sekedar menyapa Archen. Siapapun yang peka terhadap perasaan orang lain pasti tahu seberapa besar luka yang dimilikinya. Setelah membeli satu botol air mawar dan satu bungkus bunga, Archen kemudian masuk ke TPU. Saat itu Archen melihat Pak Joko yang sedang membersihkan makam Mamanya. Pak Joko adalah seorang penjaga TPU yang memiliki sifat ceria dan bijaksana. Berbeda dengan pedagang bunga tadi, Pak Joko justru selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan Archen. Tak terhitung sudah berapa puluh kali ia diabaikan, hanya dijawab sekedarnya, hingga sekarang sudah bisa berbincang dengan Archen. Bagi Pak Joko dapat berbicara dengan Archen adalah suatu kebanggaan tersendiri.
“Ke sini lagi?” tanya Pak Joko sambil mencabuti rumput liar di makam Mama Archen.
“Iya, Pak, kangen sama Mama.”
Memang baru beberapa hari yang lalu Archen dan Tante Tira berkunjung, jadi wajar saja jika Pak Joko bertanya seperti itu. Archen memang selalu rutin mengunjungi makam sang Mama, untuk mengirim doa atau sekedar mencurahkan isi hatinya. Bagi sebagian orang hal ini tentu tidak wajar. Saat mencurahkan isi hati, kebanyakan orang pasti ingin mendapatkan ‘balasan’ secara langsung, walau hanya sekedar ucapan “yang sabar ya.” Namun tidak dengan Archen. Lelaki itu hanya perlu didengarkan, ia tidak membutuhkan kata-kata yang bagi sebagian orang dapat menenangkan hati.
Begitulah Archen, lagi-lagi ia sangat berbeda dengan yang lain.