Siang itu Archen memutuskan untuk pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ada sesuatu yang harus ia lakukan di sana. Sebelumnya Archen sudah membuat janji dengan Pak Hakim Syarif. Ia janji untuk bertemu pukul 13.00 WIB. Setelah bertanya pada salah satu pegawai administrasi pengadilan, Archen mendapat informasi bahwa jadwal sidang Pak Hakim Syarif saat itu dimulai lebih lambat dari jadwal yang telah ditetapkan. Akibatnya sidang baru akan selesai pukul 14.00 WIB. Archen pun menunggu di salah satu kursi yang tak jauh dari ruang sidang. Archen melihat sekelilingnya. Berada di tempat ini lagi membuatnya teringat kejadian beberapa tahun lalu. Kejadian yang sama sekali tidak ingin ia ingat. Bahkan kalau bisa Archen ingin menghapus semua ingatan dan memulai hidup baru, bukan sebagai Archen, apalagi sebagai putra Teriyanto.
Begitulah Archen, selalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Pintu sidang pun terbuka, beberapa wartawan yang meliput jalannya sidang mulai keluar dari ruangan. Archen segera bangkit dari kursinya dan berjalan mencari Pak Hakim Syarif.
“Pak Hakim Syarif….” Panggil Archen.
“Eh, Nak Archen…oh iya, saya ada janji denganmu ya?” ucapnya sambil melihat arlogi yang terpasang di tangan kirinya, “Aduh maaf, saya tidak tahu kalau sidang bakal ngaret kayak gini, ayo ikut saya ke ruangan.”
“Baik, Pak.”
Sesampainya di ruangan Pak Hakim Syarif, Archen langsung dipersilahkan duduk di sofa, sementara Pak Hakim Syarif melepaskan jubah hakimnya dan mengelap keringat dengan tisu yang ada di meja. Setelah memerintahkan salah satu sekretarisnya untuk membuatkan Archen minum, mereka pun memulai pembicaraan.
“Kamu masih suka teh, kan?”
“Masih, Pak.” Jawab Archen ramah. Beberapa tahun lalu, saat Archen pertama kali mengunjungi Pak Hakim Syarif, beliau bertanya tentang minuman kesukaan Archen. Lelaki belasan tahun itu menjawab cepat namun dengan tatapan kosong, “Teh, Pak Hakim.” Sejak pertama kali melihat Archen, Syarif langsung teringat dengan putrinya, Athena, yang saat itu tinggal berjauhan dengannya. Ia tak habis pikir bagaimana bisa seorang anak belasan tahun menyimpan luka begitu dalam di hati. Sama seperti Athena, Syarif bisa melihat karakter Archen hanya melalui tatapan matanya. Namun bagaimana pun juga, ia tidak bisa menyalahkan Archen. Sebab karakter seorang anak terbentuk dari lingkungan di sekitarnya, seperti keluarga, sekolah, dan sebagainya. Dan Syarif tahu alasan mengapa karakter Archen menjadi seperti itu.
“Ngomong-ngomong, maaf ya kalau kamu harus menunggu saya. Sidang tadi mulainya ngaret, itu karena saksi kunci dalam kasus penganiayaan tadi tiba-tiba saja mengalami kecelakaan kecil dalam perjalanan menuju pengadilan, tapi untungnya ia tidak terluka.” Jelas Syarif.
“Kasus… penganiayaan?” tanya Archen pelan. Setiap mendengar kata “penganiyaan” trauma Archen seolah datang kembali, ia teringat wajah ibunya yang lebam, ratusan pukulan dari sang ayah, serta teriakkan dari kedua orangtuanya.
“Archen, maaf, saya tidak bermaksud…..”
“Tidak apa-apa, Pak.”
Pak Syarif hanya tersenyum, dari jawaban Archen tentu ia tahu bahwa anak itu belum bisa menyembuhkan traumanya, “Jadi ada apa, Nak?” Tanya Pak Hakim Syarif.
“Sebelumnya saya mau mengucapkan terima kasih Pak karena telah memberi keadilan bagi almh ibu saya. Saya tidak tahu harus membalas kebaikan bapak dengan apa. Maaf karena setelah kasus itu saya tidak pernah lagi datang menemui bapak, saya benar-benar hancur saat itu, Pak.”
“Tidak apa-apa, Nak, saya mengerti, dan kamu tidak perlu membalasnya sebab itu sudah menjadi tugas dan kewajiban saya sebagai seorang hakim, menegakkan keadilan.”
“Apa saya boleh meminta bantuan bapak sekali lagi?”
“Jika saya bisa membantu, tentu akan saya bantu, Nak.”
“Saya memohon kepada bapak agar tidak menceritakan masa lalu saya kepada Athena. Tidak banyak teman yang saya miliki, saya takut Athena tidak ingin berteman dengan saya saat ia mengetahui tentang keluarga saya.”
“Nak, saya orangtuanya Athena, saya tahu betul bagaimana putri saya bersikap, saya yakin Athena tidak akan menjauhi kamu hanya karena kasus itu. Tapi saya akan hargai permohonanmu, saya tidak akan menceritakan apapun kepada Athena.”
Archen menatap mata Papa Athena dalam-dalam, tatapan matanya persis dengan tatapan mata Athena, memberikan keteduhan bagi lawan bicaranya. Archen jadi berandai-andai, andai saja jika papanya tidak memiliki sifat yang kejam, ia pasti tidak akan menjadi pribadi seperti sekarang. Selama beberapa tahun terakhir Archen sudah kehilangan kasih sayang dari sang ayah, terlebih saat ibunya meninggal dua tahun lalu, ia benar-benar merasa bahwa tidak lagi memiliki tujuan hidup.
Hanya itu yang ingin Archen sampaikan pada Pak Hakim Syarif. Seusai mereka berbincang, Archen ditawarkan untuk makan siang bersama, namun ia terpaksa harus menolaknya karena sang tante minta ditemani untuk belanja bulanan. Setiap bulan tantenya itu selalu belanja bulanan untuk keperluan rumah, kalau tidak dengan Bi Ijah ya dengan Archen. Namun hari itu Bi Ijah tidak bisa menemani Tira belanja karena sedang sakit.
Sesampainya di rumah Archen langsung berganti pakaian, mereka pun pergi ke supermarket dengan menggunakan mobil Tira, dan tentu saja sang tante yang mengendarai mobilnya. Walaupun sudah bisa menyetir mobil, tetap saja Archen belum mempunyai SIM mobil, Tira tak ingin mengambil resiko ditilang di tengah jalan. “Archen, kamu gak mau bikin SIM mobil? Kalau kamu punya SIM kan tante gak harus nyetir terus.” Keluh Tira.
“Engga ah nanti aja, lagian Archen juga kan belum punya mobil.”
“Tante bisa lho beliin kamu mobil.”
“Gak usah, Tante, makanya kalau gak mau capek-capek nyetir, cari pasangan dong biar kemana-mana ada yang nyetirin.”
“Yeh, kalau cuma buat nyetirin doang sih ngapain cari pasangan, mending cari supir aja.” Jawab Tira santai. Diusianya yang sudah genap 32 tahun membuat Tira menjadi pribadi yang santai jika membahas tentang pasangan. Jika saat usia 26-30 Tira sering kali merasa bingung, kesal, dan bahkan malu saat ditanya kapan nikah oleh orang-orang, kini ia tak lagi begitu. Saat ini ia hanya fokus pada Archen dan karirnya. Tira merasa Archen adalah tanggungjawabnya, termasuk menghilangkan trauma yang ada dalam diri Archen.
Parkiran supermarket cukup penuh, Tira sedikit kesulitan menemukan tempat parkir kosong. Namun akhirnya dengan bantuan bapak tukang parkir, Tira berhasil memarkirkan mobilnya dengan cepat. Di supermarket, Tira membuka catatan yang ada di ponselnya, sebelum belanja bulanan ia selalu mencatat apa-apa saja yang harus dibeli. Yang pertama mereka datangi adalah bagian perlengkapan mandi, setelah membei sabun, sampo, dan pasta gigi, mereka kini beralih ke bagian makanan ringan, mulai dari biscuit kalengan, ciki, permen, hingga coklat semuanya sudah Tira masukkan.
“Ah Archen, kamu gak membantu sama sekali deh, kalau ada Bi Ijah biasanya kita mencar biar belanjanya cepat.” Oceh Tira.
“Iya, iya, yaudah kalau gitu Archen harus pergi kebagian apa nih sekarang?”
“Tinggal 2 lagi sih, kalau gitu kamu kebagian perawatan sehari-hari ya, tante ke bagian keperluan dapur.”
Setelah melihat daftar belanjaan perawatan sehari-hari Archen mengeluh, “Yang benar aja, masa iya Archen harus beli pembalut????”
“Ya terus? Emangnya kamu bisa ke bagian keperluan dapur? Kamu tahu yang mana daging sapi segar? Kamu bisa bedain mana jahe mana lengkuas?”
Archen akhirnya menyerah. Memang benar, ia sama sekali tidak bisa membedakan berbagai jenis bumbu dapur. Ia tak suka memasak, apalagi kalau disuruh bedain mana lada mana ketumbar, Archen tak akan mampu!
Lelaki itu melihat-lihat beberapa merek pembalut yang ada di rak supermarket, dalam note catatan belanja sang tante menulis “Pembalut Lauri*r 30 cm sayap.” Archen berusaha mencari namun ia tak menemukannya. “Emangnya harus merek ini apa.” Archen mengeluh dalam hati.
Tak lama kemudian seseorang menepuk pundaknya, “Archen, lo ngapain di sini? Ia adalah Sarah, salah satu teman sekelas Archen.
Entah mengapa Archen malah merasa canggung, rasanya seperti tertangkap basah sedang mengintip di toilet wanita. Padahal tinggal katakan saja kalau dia sedang membelikan pembalut untuk tantenya. Namun perasaan gugup membuat kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar sedikit aneh, “Eh…ini..lagi beliin pembalut buat si tante.”
“Si tante?” Sarah bertanya sekali lagi untuk memastikan siapakah si tante itu.
“Iya, tante gue maksudnya, lo kenal kan pasti sama Tante Tira?” Tentu saja Sarah mengenalnya, sebab selama SMA Tante Tira lah yang menjadi wali Archen dan bertugas mengambil rapor sekolah.
“Oh…Tante Tira.” Sarah menghembuskan napas tenang, baru saja ia berpikiran yang macam-macam tentang Archen. “Terus gimana, udah ketemu pembalutnya?”
“Belum nih, kayaknya gak ada yang sayap.” Sarah hanya tertawa mendengar jawaban Archen yang sangat polos. Ia pun mencoba membantu Archen untuk menemukan pembalut pesanan sang tante dan ketemu, rupanya pembalut itu terletak dibelakang pembalut dengan variasi lain.
Lagi-lagi Archen bertanya dengan polosnya, “Emang kalau gak ada sayapnya kenapa sih?”
“Gak bisa terbang!” Jawab Sarah asal.
“Eh…serius?”
“Ya ampun Archen, Archen, gue kira lo orangnya pinter cuek banget, ternyata ada sisi pea-nya juga dikit.”
Dengan Sarah, Archen memang sedikit bisa banyak bicara. Sarah pun sama sekali tidak merasa canggung dengan Archen. Malah sejak dulu, Sarah selalu berusaha untuk menjalin pertemanan dengan Archen, namun terdapat tembok yang dibangun oleh Archen untuk membatasi dirinya dengan orang-orang di sekitar.
Sarah memasukkan salah satu pembalut dengan kemasan berwarna hijau ke dalam keranjang, “Kalau gue sukanya yang daun sirih?”
“Kenapa?”
“Soalnya ada sensasi dinginnya!”
“Beneran?”
“Coba aja lo pake.” Archen tidak menghiraukan jawaban Sarah, ia kini kembali melihat daftar belanjaan. Masih ada beberapa barang lagi yang harus ia cari. Archen celingak-celinguk mencari barang-barang tersebut.
“Ada yang perlu gue bantu lagi?”
Archen pun menerima tawaran Sarah. Ia membatu Archen menemukan beberapa barang perawatan Tante Tira hingga semua barang dalam catatan sudah berada di keranjang belanja. Mereka pun menghampiri Tante Tira yang saat itu masih memilih daging ayam segar. Beberapa kali bertemu dengan Sarah saat mengambil rapor sekolah Archen, Tira langsung dapat mengenali bahwa yang bersama Archen saat itu adalah Sarah. Gadis itupun langsung mencium tangan Tira. Setelah mengobrol singkat, Sarah langsung berpamitan karena sang mama sudah menunggunya di kasir.
“Kamu gak naksir sama dia, Sen? Dia cantik, lho.” Goda Tira.
“Apaan sih, tante, gak lah. Bukan dia orangnya.”
“Ohh…jadi sekarang kamu lagi naksir sama seseorang? Siapa, Sen? Cerita dong sama tante.”
Archen langsung berjalan meninggalkan sang tante, sementara Tira berjalan mengikuti Archen sambil terus menggodanya. Tira memang hobi menggoda Archen, sebab keponakannya itu cepat sekali merasa canggung dan salah tingkah.