Ical menarikku. Sepanjang perjalanan mata ini terus terfokus pada tangannya yang kini menganggam tanganku dengan erat namun tak menyakiti kulitku sama sekali. Aku tak peduli lagi dengan seorang cowok menyebalkan bernama Aris itu. Ical berhenti tepat di depan motor miliknya yang selalu kulihat berada di halaman rumahnya dari balkon kamarku. Dia buru-buru melepaskan tangannya dariku. Rupanya acara tarik menarik itu hanya sebuah buah dari tak sengajaan yang sejak beberapa menit lalu menjadi dambaan. "Maaf.." katanya. Aku sedikit mencubit pinggangku sendiri mencoba meyadarkan raga ini tuk membalas kata-kata Ical. Dan akhirnya ku hanya bisa mengangkat bahu. Acuh. Pura-pura tak acuh. Dia naik ke motornya, "Ayo, Za, naik!" katanya. Aku hanya bisa menuruti perintahnya. Bukan karena terpesona