9

754 Kata
Lolita POV. Hujan mulai agak reda dan sejak tadi ternyata aku ketiduran di dalam mobil yang tepatnya di samping lelaki berwajah tampan yang juga sedang tertidur di sampingku, aku menatap wajah tampannya penuh dengan pertanyaan. Darimana dia? Apakah dia titipan dari Tuhan? Atau dia sang malaikat pria yang sedang mengawasiku atau mungkin jodohku yang selama ini sedang bersembunyi? Pikiranku melalangbuana sampai tak menyadari jika Gibran sudah membuka matanya dan sedang menatapku saat ini. Aku begitu malu dan salah tingkah. Aku lalu melihat ke arahnya dan mencoba memperbaiki posisi dudukku. Tapi dia langsung menarikku dan mengecup keningku dengan lembut, tak seperti biasanya aku merasakan hal yang aneh tapi juga agak marah karena sikap Gibran yang langsung menarikku. "Apaan sih?" tanyaku agak kesal walaupun kecupannya begitu lembut tapi aku harus tetap menjaga harga diriku. Aku lalu melepas tangannya dan langsung duduk di posisiku sebelumnya. Aku memang salah karena mendekatkan wajahku ke wajahnya dan bodohnya lagi aku tak menyadari ia bangun. "Maaf, aku sungguh minta maaf, aku gak tau kenapa tangan ini langsung menarikmu, maafkan aku," kata Gibran sembari menaikkan kursinya ke posisi awal. “Aku sepertinya menyukaimu, Lolita,” ucap Gibran, membuatku membulatkan mataku penuh. “Kamu jangan bercanda.” Aku pura-pura tidak mendengarnya. “Aku gak becanda, aku gak pernah merasakan jantungku berdetak kencang seperti ini, dan aku tidak pernah merasa senyaman ini dekat dengan seorang wanita.” Ketika Gibran sudah nyaman sama pujaannya, maka ada saatnya dimana dia akan mengajak Lolita berbicara lebih jauh tentang hubungan yang mereka jalani. Meski itu singka, namun sangat membekas di hati. Hal ini terjadi adalah karena Gibran sudah nyaman dan cocok denganku, jadi dia tidak  mau sampai kehilangan  wanita terbaik, menurutnya. Seketika aku merasa terlalu berlebihan menanggapi sikap Gibran padaku, aku tidak tahu namun rasanya aku sangat gugup dan seakan jantungku tidak mampu berdetak karena terkejut. "Lanjutkan saja perjalanannya, hujan juga udah mulai reda.” Aku tidak menoleh ke arah Gibran yang tengah menatapnya. "Baiklah. Tapi kamu gak marah, ‘kan?" tanya Gibran yang masih dengan ekspresi merasa bersalah. Aku memang marah tapi setidaknya Gibran sudah berani meminta maafku, aku tidak mau sampai dia salah mengira bahwa dengan tindakannya barusan berhasil membuat jantungku berdetak kencang. "Iya aku gak marah, ini sudah hampir malam dan aku harus pulang.” Aku mencari alasan agar tidak sampai membuat hatiku goyah, jantungku sudah cukup mengajakku ribut sejak tadi. Gibran lalu menarik rem tangan mobilnya dan langsung mengemudikan mobilnya dengan pelan. Ia terlihat bingung harus bagaimana ketika ia dengan berani mengecup puncak kepalaku dan aku terlihat tidak menyukainya. Tak lama kemudian ponselku bergetar, karena sejak tadi aku tak memberikannya nada. Dokter Richardo +6289670041*** Memanggil.. Aku tak mengerti kenapa dokter Richard menelponku, apa sesuatu yang penting? Tapi gak apalah aku harus mengangkatnya. "Halo, Dok! Selamat sore," sapaku. "Kamu dimana, Dokter Lolita?" tanya dokter Richard. "Aku di jalan menuju pulang. Ada apa?" tanyaku keheranan karena Richard selalu saja menanyakan keberadaanku. Aku bingung dengan Dokter Richard yang selalu berusaha mendekati meski aku seringkali menolak. "Kamu tidak dines hari ini?" tanyanya lagi. "Tidak, Dok, saya cuti hari ini atas perintah dokter Diandra," jawabku. "Kamu ada waktu tidak malam ini? Aku mau mengajakmu makan malam sama-sama." "Apa? Makan malam? Dalam rangka apa, Dok?" tanyaku agak keheranan, Dokter Richard sejak dulu selalu saja mengajakku keluar tapi aku selalu menolaknya karena bagiku dokter Richard adalah rekan kerja yang baik. "Sebelumnya saya minta maaf, Dok, tapi orang tua saya akan pulang ke Indonesia malam ini, jadi saya tidak bisa kemana-mana," kataku. Semoga kali ini ia tidak kecewa mengingat bahwa aku sudah terbiasa menolaknya. "........" "Iya, Dok … maaf, lain kali pasti saya bisa." "........" "Selamat sore," jawabku. Sebenarnya aku heran saja kenapa Dokter Richard selalu saja berusaha mengajakku keluar untuk makan malam dan kenapa juga aku selalu menolaknya? Aku memang tidak ingin memiliki hubungan apa pun dalam lingkup pekerjaan. "Dari siapa?" tanya Gibran yang sejak tadi mendengar percakapan kami dan aku baru menyadarinya. "Ini dari seniorku di rumah sakit," jawabku agak singkat. "Dia mengajakmu makan malam? Kenapa kamu menolak?" tanya Gibran lagi dengan pandangan yang tak biasa. Sungguh aku tak bisa menebaknya. "Aku tak mungkin menerima semua ajakan lelaki, bukan? Aku bukan wanita yang selalu mengiyakan ajakan lelaki.” Aku kembali bertanya sengaja mengulang pertanyaanku, aku menoleh sekilas melihatnya. "Wanita ini memang luar biasa, selain cantik dia juga hebat, tak gampangann walaupun wajahnya begitu cantik," batinku (Gibran POV). Gibran memandangku dan tak henti-hentinya memandangku. "Apa kamu mau menatapku terus? Kalau kamu seperti itu, kita bisa celaka," kataku menyadarkan tatapannya yang tidak biasa. "Maaf," kata Gibran seraya kembali fokus menatap ke jalanan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN