7. Kepulangan Ratna

1204 Kata
Sore itu Ayu berencana untuk datang ke rumah Ratna setelah tadi pagi saat berkeliling menjajakan s**u segar, ia mendapat kabar bahwa Ratna sudah kembali, lebih cepat dari apa yang direncanakan. Begitu Sanjoko dan Triningsih pulang setelah bekerja di perkebunan, Ayu segera bersiap. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Ratna setelah enam bulan mereka tidak bertemu. Seolah ada segudang cerita yang ingin ia ceritakan pada Ratna. Sebelum ke rumah Ratna, terlebih dahulu Ayu membeli buah-buahan di kios buah yang tak jauh dari rumahnya. Ayu membeli beberapa buah mangga dan satu kilogram jeruk, buah kesukaan Ratna. Setelah itu ia langsung bergegas mengayuh sepedanya menuju perbatasan desa, di pinggir jalan raya, di situ lah rumah Ratna, rumah yang paling mencolok di antara rumah yang lain. Rumah Ratna memiliki halaman yang cukup luas dengan pintu gerbang tinggi di bagian depan. Rumah bergaya minimalis yang berdiri di atas tanah seluas enam ratus meter persegi itu trerlihat sejuk dan asri dengan taman yang cukup besar dan kolam ikan di sudut taman. Untuk ukuran di kampung, rumah Ratna terbilang cukup mewah. Ayu memencet tombol bel yang tertempel di pagar rumah Ratna. Tak berapa lama Mba Umi, tetangganya yang bekerja sebagai assisten rumah tangga di rumah Ratna keluar dengan tergopoh-gopoh. “Pelan-pelan aja Mba Umi,” teriak Ayu. “Eh, Ayu… kirain siapa,” kata Mba Umi setelah ia mendekat. “Mba Umi jam segini kok belum pulang?” tanya Ayu. Karena biasanya Mba Umi datang ke rumah Ratna pagi-pagi sekali dan akan pulang sekitar pukul tiga sore setelah semua pekerjaan rumah beres. “Iya, ini lagi bantu-bantu masak buat syukuran kelulusannya Mba Ratna, buat dibagi-bagi ke warga nanti,” jawab Mba Umi sambil membukakan pintu gerbang untuk Ayu. “Ratnanya di rumah kan Mba?” Belum juga Mba Umi menjawab pertanyaan Ayu, Terlihat Ratna keluar dari pintu garasi. “Ayuuuuu…!” teriak Ratna sambil menghambur mendekat ke arah Ayu. Penampilam Ratna sekarang sudah benar-benar berubah. Ia sudah seperti orang-orang kota. Dengan celana pendek yang dipadukan dengan tank top, juga rambut yang di cat warna Soft Ashy (kombinasi warna coklat dan abu,abu) membuat Ayu hampir tidak mengenali Ratna. “Ratna…!” pekik Ayu. Mereka pun saling berpelukan satu sama lain untuk melepas rindu. “Waahh, kamu cantik banget Rat…” kata Ayu sambil memandangi Ratna dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa melepas pegangan tangannya pada Ratna. Ayu begitu mengagumi Ratna. “Ih, kamu mah bisa aja. Ya cantik kamu lah.” “Tapi memangnya kamu ndak malu pake baju kebuka-buka begitu?” tanya Ayu polos. Sontak pertanyaan Ayu membuat Ratna tertawa. “Engga lah… lagian kan ini di rumah. Kamu jangan polos-polos amat deh Yu. Terlalu polos nanti kamu gampang dibohongin sama laki-laki.” Tiba-tiba saja Ayu jadi teringat pada Bagus. Tidak mungkin Bagus membohonginya. Bagus adalah laki-laki yang baik, bahkan sangat baik. Justru saat ini Ayu lah yang merasa tertuduh. Ia tidak jujur pada Ratna mengenai hubungannya dengan Bagus. Bukan Ayu berniat menyembunyikannya dari Ratna, tapi ia ingin mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya. Hari ini Ayu hanya ingin melepas rindu dan merbincang sesuatu yang menyenangkan saja dengan Ratna. Tapi sepertinya saat ini tidak mungkin Ratna masih menyimpan perasaan pada Bagus. Apalagi Ratna sudah punya banyak teman di Jakarta yang mungkin menarik perhatian Ratna, batin Ratna. “Hey! Malah nglamun pagi. Masuk yuk! Eh, kamu bawa apa?” Ratna mengambil kantong plastik dari tangan Ayu dan mrmbukanya. “Waaahhh… kamu masih inget aja kesukaan aku. Makasih ya.” Di dalam rumah tampak beberapa keluarga Ratna yang sedang membantu menyiapkan syukuran. Dus-dus makanan yang akan dibagikan ke tetangga pun sudah berjejer di meja ruang keluarga. “Kamu kok ndak bilang sih mau ngadain syukuran hari ini? Kalo gitu kan aku dateng dari tadi. Aku bisa bantuin.” Ucap Ayu yang tidak enak. “Apaan… orang kamu juga tadi bilang sama Dian ngga bisa ke sini karna nunggu Bapak sama Ibu pulang kerja, biar ada yang nunguin adek-adek kamu.” “Yaa… iya sih. Tapi kalo ke sini kan aku bisa ajak Kinanti sam Haikal juga.” “Hmm…ya udah lah. Tadi pagi Dian ke sini juga aku ngga bolehin bantu-bantu. Yuk ke kamar aku aja. Kita ngobrol di kamar,” ajak Ratna. Ratna pun langsung menarik tangan Ayu masuk ke dalam kamarnya yang berada di samping ruang tamu agar mereka bisa mengobrol berdua lebih santai. Kamar Ratna begitu nyaman. Sudah sangat berbeda saat terakhir kali Ayu masuk ke sana, sekitar empat tahun yang lalu. Kamar yang dulu bernuansa merah jambu dengan dekorasi ruangan yang lucu-lucu, kini sudah berubah menjadi kamar yang lebih kalem dan dewasa dengan nuansa krem. Kini memang mereka sudah jauh lebih dewasa dan bukan kanan-kanak lagi. Ayu memutar pandangannya ke seluruh ruangan, ada yang menarik perhatian Ayu. Ia mendekat ke objek tersebut, sebuah wire grid wall (sebuah pajangan dinding besi berbentuk kotak-kotak) yang digantung banyak foto di sana. Di pinggiran pajangan dinding itu ditempeli lampu hias LED kecil warna kuning sebagai pemanis. Pasti akan sangat indah jika dinyalakan saat malam hari dengan mematikan lampu kamarnya. Ayu melihat satu per satu fotonya. “Kamu masih simpan foto SMP kita Rat…??” tanya Ayu kaget sambil menunjuk foto mereka berdua bersama Ratna memakai baju seragam putih biru. “Ya masih lah…” “Kamu liat deh, poni Dian masih pendek sebelah gara-gara waktu itu kamu kerjain dia,” kata Ayu sambil tertawa. Ratna pun ikut tertawa. Foto itu diambil tepat saat ulang tahun Dian ke empat belas menggunakan kamera film milik Ratna yang saat itu sedang sangat populer. Karena saat itu harganya yang mahal, mungkin hanya beberapa orang saja di kampung yang memilikinya. “O ya, ngomong-ngomong kamu mau cari kerja di sini atau di Jakarta Rat? Denger-denger kamu mau kerja di tempat kerja praktek kamu. Mmm… kalo ngga salah diìi…… perusahaan periklanan.” Ratna terdiam beberapa saat, lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Aku mau cari kerja di sini Yu,” jawab Ratna pelan. “Oohh...” jawab Ayu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kamu ngga tanya alasannya kenapa?” Kali ini Ratna terlihat serius. “Memangnya kenapa Rat? Aku pikir kamu suka tinggal di Jakarta,” kata Ratna, karena selama menempuh kuliah di Jakarta, Ratna jarang pulang ke kmpungnya. “Demi laki-laki yang aku suka Yu,” jawab Ratna sambil menatap wajah Ayu. Deg! Tiba-tiba saja Ayu kehilangan kata-kata. Sudah pasti yang dimaksud Ratna adalah Bagus. Ternyata selama ini Ratna masih menyukai Bagus. Sepertinya Ratna benar-benar mencintai Bagus. Sekarang Ayu merasa ia sangat jahat pada Ratna. Rasanya ingin sekali Ayu mengatakan semuanya pada Ratna, tapi saat ini ia benar-benar belum siap menghadapi reaksi Ratna. Ia terlalu takut untuk menyakiti hati Ratna. “Kamu ngga nanya siapa orangnya?” tanya Ratna lagi. “Oh… èèè…. Siapa Rat?” Ayu terlihat bingung. Apa yang harus dikatakannya pada Ratna. “Mas Bagus,” jawab Ratna singkat. “Kok kamu ngga pernah bilang sama aku?” tanya Ayu pada akbirnya. “Aku doain semua yang terbaik buat kamu ya Rat.” “Aamiin… makasih Yu. Kamu emang sahabat aku yang paling baik,” ucap Ratna sambil menggenggam tangan Ayu. Maafin aku, Rat. Kalo aku ngga sebaik yang kamu pikir, batin Ayu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN