"Tuan, kau mau apa?" Suara Adista bergetar, matanya melebar saat melihat Nepal sudah berdiri di hadapannya.
Menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuh Adista mencoba bangkit, dia tidak bisa menutupi ketakutannya jika Nepal sudah berani masuk ke kamarnya. Tangan pria itu terulur, tetapi Adista menolaknya, dia benar-benar kebingungan sekarang. Jarak Nepal dengannya sangatlah dekat, bahkan Adista tidak bisa lagi mundur. Kondisinya yang sulit bergerak membuat posisi mereka semakin dekat hingga tanpa menyisakan jarak.
"Tuan, tolong, jangan mendekat." Adista menjerit sambil berusaha menghalangi Nepal yang ingin merengkuhnya, gadis itu sangat ketakutan dan mulai menangis. "Lepaskan aku, Tuan, kumohon."
Kedua lengan Nepal yang tegap merengkuh tubuh mungil Adista, pria itu memeluknya dengan kencang. Deru napasnya memburu, mencium aroma bunga yang menguar dari tengkuk Adista. Cukup lama keduanya saling berbagi energi, setelah Nepal yakin Adista sudah mulai tenang, lalu dia melepaskannya.
Membelai lembut wajah Adista yang tegang, Nepal berusaha meyakinkan gadis itu jika dia bukanlah orang jahat. "Tenanglah, aku di sini hanya ingin melindungimu."
"Kenapa?" Kedua bola mata Adista yang berkaca-kaca menatap wajah Nepal, lalu dengan sekali kedipan air matanya pun jatuh berlinangan. "Kau orang besar, sedangkan aku hanya gadis miskin, melindungiku tidak akan membuat kau untung."
Ditanya demikian Nepal terdiam, dia tampak kebingungan hendak menjawab apa.
"Kau bisa membunuhku jika suatu saat aku ketahuan berbohong soal ancaman itu, tapi aku percaya kau tidak akan pernah mendengarnya, karena semua ucapanku benar. Aku lebih yakin dalam waktu yang singkat kau akan jatuh cinta padaku, dan tidak berhenti memikirkanku di sepanjang waktu." Nepal menangkup wajah Adista, lalu mencium bibirnya dengan lembut.
Keringat dingin mengucur dari dahi hingga jatuh ke pipi, jantung Adista berdegup cepat saat terbangun dari mimpi yang buruk. Menatap sekelilingnya Adista pun beringsut naik ke ujung tempat tidur, dan memeluk dirinya sendiri. Mimpi itu bagaikan nyata, dia bisa merasakan dengan jelas ciuman Nepal. Bagaimana pria itu melumat bibirnya, dan merengkuhnya dengan lembut. Apakah ini dikatakan mimpi buruk? Mungkin tidak, lebih tepatnya bunga tidur yang sangat aneh.
Mengusap tenggorokannya Adista merasa haus, maka dengan cepat dia mengenyahkan perasaan takutnya, lantas berjalan menuju pintu. Kunci kamar ini jelas masih tergantung pada tempatnya, dan terkunci. Sejenak Adista memejamkan matanya, lalu dia pun memutar kuncinya hingga terbuka. Tanpa berpikir panjang Adista berjalan ke arah dapur, sebelum tidur tadi dia lupa untuk mengambil segelas air. Kebiasaannya yang selalu haus tengah malam, terkadang itu menyusahkannya sendiri.
"Kau belum tidur?" tanya Nepal dengan suaranya yang berat, sontak Adista menoleh dengan gelas yang baru saja diambilnya.
"Nggh, aku terbangun." Adista menjawab, lalu buru-buru mengambil air dari dalam teko.
Nepal bersandar pada tembok, memperhatikan gerak-gerik Adista yang begitu cepat, lalu dia pun berkata. "Aku juga terbangun, dari mimpi yang aneh."
"Kau bermimpi?" Kembali menatap Nepal, dengan jantung yang berdetak kencang Adista mulai mengingat mimpinya beberapa waktu lalu.
Pria itu mengangguk, wajahnya tampak lebih tenang daripada Adista, dan Nepal menjawab. "Bermimpi mencium seorang gadis."
Sontak, Adista membeliak, untungnya saja Nepal tidak peduli, karena pria itu berjalan melewatinya begitu saja mengambil minum.
Dengan jantung dan pikiran yang berkecamuk Adista pun pergi meninggalkan dapur, dia sedikit berlari sampai air yang dibawanya di dalam gelas berjatuhan. Begitu masuk ke dalam kamar, Adista langsung menguncinya, bahkan memastikannya berulang kali. Setelah cukup yakin barulah dia melangkah menggapai tempat tidurnya, dan duduk di ujung ranjang sambil meminum air yang tinggal setengah.
Memegang degup jantungnya Adista mencoba berbaring, meski dia kesulitan untuk terlelap lagi. Denting jarum jam yang bergerak membuat Adista terjaga, sesekali dia terlonjak saat mendengar pot jatuh atau petir yang menyambar di luar sana. Malam pertamanya di apartemen ini Adista nyaris tidak bisa tidur, dia hanya menatap langit atap kamarnya tanpa melalukan apapun sampai menjelang pagi.
***
"Selamat pagi, Tuan." Adista menyapa Nepal yang baru saja ke luar dari kamarnya, sudah sejak setengah jam yang lalu dia menunggu.
"Pagi," jawab Nepal melewatinya begitu saja.
Pria itu sudah berpakaian rapi, lengkap dengan jas mahalnya, yang mungkin harganya juga sangat fantastis atau bahkan lebih mahal dari kemarin. Adista hanya menelan ludahnya saat membayangkan hal bodoh yang terjadi kemarin pagi. Jika saja insiden tabrakan itu tidak pernah ada, pasti dirinya tidak akan pernah berada di sini.
"Tuan, maaf, aku tidak tahu menu sarapan apa yang biasanya kau makan di pagi hari." Dengan tergopoh-gopoh Adista mengikuti langkah Nepal yang besar, lalu dia berhenti saat secara tiba-tiba pria itu menoleh.
Adista menabrak d**a bidangnya Nepal, dia hampir saja terjatuh jika pria angkuh itu tidak menahan tangannya. Dengan kesal Nepal berdecih atas keteledoran Adista yang entah untuk ke berapa kalinya, lalu dia menunjuk ke arah meja makan yang dipenuhi makanan.
"Kau menghidangkan itu semua, dan menyuruhku memakannya?" Suara Nepal yang berat terdengar ketus, ditatapnya Adista dengan tidak mengerti.
Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal Adista jadi merasa bersalah, dan tidak enak karena Nepal tampak begitu marah. "Maaf, Tuan, aku hanya ingin bekerja dengan baik."
"Dengan memasak semua itu, berapa uang yang telah kau habiskan pagi ini, Adista?" Merapatkan dasinya yang sudah rapat, Nepal mengembuskan napas gusar, hidungnya yang mancung tampak kembang-kempis.
Sekali lagi Adista menelan ludahnya, ternyata selain angkuh Nepal Belzio juga seorang yang perhitungan. Pantas saja dia kaya raya. Padahal, menurut Adista, dia hanya ingin memudahkan Nepal dalam mencocokkan sarapan apa yang diinginkannya pagi ini. Tetapi sepertinya Adista melakukan kesalahan lagi, meski tidak begitu besar, dan itu tetap merugikan seorang Nepal Belzio.
Mengikuti arah pandang Nepal, dengan sedih Adista memandang sejumlah hidangan yang tidak bersalah. Bukannya bahagia, justru Nepal Belzio malah murka. Kendati demikian salahkan dirinya mengapa tidak memberitahu Adista apa saja makanan atau minuman kesukaannya, bahkan semalam saat dia ingin bertanya pria itu malah meninggalkannya seorang diri di ruang utama.
"Besok pagi, kau hanya perlu menghidangkan kopi hangat, dan roti bakar." Jelas Nepal sambil mengambil gelas kopi di antara lima gelas lainnya, lalu dia meneguknya cepat.
Meraih piring yang berisikan roti bakar, Nepal menyantapnya dengan hati yang sedikit dongkol, dan mengabaikan makanan lainnya. Sementara Adista di samping Nepal hanya diam tidak berkutik, sesekali dia melirik pria angkuh itu dengan penuh antisipasi. Karena bisa saja Nepal Belzio kembali menyentak atau membentaknya, tanpa belas kasihan.
"Aku berangkat, kau bisa mengurus apartemen ini selama aku bekerja." Nepal bangkit dari kursi, mengambil tas kerjanya, lalu dia mendekati Adista.
"A-pa ada pesan, Tuan?" tanya Adista gugup saat Nepal menghampiri, dan menatapnya lekat.
"Jangan terima seorang pun tamu," tukas Nepal dengan tegas, lalu dia memegang pundak Adista yang halus. "Kau mengerti?"
Gadis itu mengangguk cepat, lantas dia pun berjalan mendahului Nepal membukakan pintu untuknya, dengan jantung yang bertalu.