Carissa berdiri di jendela kamarnya di lantai dua rumahnya yang menghadap ke Pantai Malalayang. Matanya menembus jauh hingga ke batas horizon. Kadang ia mengikuti gerakan ombak yang terburu-buru mengempas ke batu-batu, kadang ia mengamati burung walet yang sesekali melintas. Rumah yang ditinggalinya terasa sangat lengang semenjak kepergian Opa. Biasanya banyak sahabat-sahabat Opa yang datang ke rumah untuk sekedar minum kopi atau main catur, membuat kegaduhan, membuat rumah itu hangat dan bernyawa.
Carissa memandang sekilas ke arah bangunan di samping garasi mobil milik Opa. Koh Ahong duduk di salah satu kursi sedang mencatat sesuatu. Biasanya di sana mereka akan menerima hasil bumi dari para petani yang membawa langsung untuk dijual kepada Opa. Cengkih, pala, kopra. Opa memiliki gudang penampungan hasil bumi di belakang garasi mobilnya. Ada aroma khas kopra dan cengkih yang menguar jika kebetulan Carissa melintas di sana. Aroma khas yang juga melekat pada tubuh Opa.
"Koh Ahong!" Carissa berteriak dari jendela kamarnya. Menyapa. "Aman?"
Lelaki tua itu menurunkan gagang kacamatanya dan mengangkat jempol ke arah Carissa.
Carissa tersenyum. Koh Ahong hampir setua Opa Roni. Lelaki Tiong Hoa itu sudah mengabdi pada Opa jauh sebelum Carissa lahir. Ko Ahong tidak menikah. Lima tahun yang lalu setelah kepergian Oma, Opa Roni meminta Koh Ahong tinggal bersama mereka.
Carissa bisa melihat sebuah mobil hitam memasuki pekarangan rumahnya yang luas. Bernard Pontoh keluar dari sana setelah memarkirkan kendaraannya.
"Om Bernard!"
Bernard mendongakkan kepala dan mendapati Carissa di sana. "Aku hanya mampir untuk mengambil beberapa berkas."
"Tunggu, Om. Aku mau bicara sebentar." Carissa menghilang dan turun ke lantai satu. Ia mendapati Bernard di ruang tamu.
"Ada apa Carissa?"
"Om, aku butuh uang." Carissa menjawab spontan, "Panti menelpon tadi malam. Mereka sudah kehabisan stok diaper dan s**u bayi. Ada juga buku pelajaran dan seragam yang harus dibeli."
"Kau sedang menggalang dana amal padaku ya?" tanya Bernard.
"Om, biasanya Opa akan memberiku jatah belanja panti sebulan sekali."
"Opamu sudah tidak ada untuk memeberimu semua itu."
"Tolonglah, Om. Aku belum gajian."
Bernard mengangkat alisnya, "Oke kalau begitu. Berapa yang kau butuh?"
Carissa tersenyum senang, "Sepuluh juta."
Bernard merogoh tas jinjing hitam yang selalu dibawanya ke sana kemari. Ia mengeluarkan buku cek, menulis angka sepuluh juta dan menandatanganinya.
"Ini uangku, kupinjamkan untukmu. Jangan lupa dikembalikan begitu kau gajian."
Carissa menerima lembaran cek itu dengan tatapan heran. "Uang Opa saja, Om."
"Kau lupa ya? Tidak akan ada sepeser pun uang untukmu sampai kau menikah dengan Gemma Zaydan Maramis. Jangan lupa. Ada tenggat waktunya. Tinggal tujuh hari lagi. Kau sudah banyak membuang waktu. Atau mungkin lebih baik kau kemasi saja barang-barangmu kalau memang kau tidak bisa memenuhi wasiat Opa."
Carissa mematung. Ia bingung sekaligus sedih kenapa Opa melakukan semua ini padanya.
"Kau ingat kan dulu Opa memintamu untuk menjalankan bisnis keluarga tapi kau menolaknya, memilih bekerja sendiri dan membiarkan Koh Ahong yang mengambil alih semua urusan. Kalau pun ada di dunia ini yang paling berhak atas uang Opamu dia adalah Koh Ahong. Dia telah menunjukkan kesetiaannya pada Opamu."
Carissa ingin sekali bilang, dengan memilih jalan hidupnya sendiri bukan berarti ia tidak sayang dan setia pada Opa. Namun ia memilih untuk menelan kata-katanya.
"Permisi." Carissa dan Bernard menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati Gemma berdiri di sana. "Seorang bapak bernama Ahong di luar sana bilang aku boleh masuk. Apa aku menggganggu?"
"Nah, ini dia umur panjang." Bernard Pontoh berjalan menghampiri Gemma dan menepuk pundaknya. "Calon suami sudah datang jadi sebaiknya aku pulang. Oh, ya jangan lupa kembalikan uangku. Nomor rekeningku tertera di cek itu."
Ketika Bernard Pontoh menghilang Carissa mempersilakan Gemma masuk dan duduk.
"Kau mau menjemputku untuk makan malam atau hanya kebetulan lewat?" Carissa memandang jam dinding yang baru menunjukkan pukul tiga sore. Terlu dini untuk makan malam yang dijanjikan.
"Uang apa yang harus kau kembalikan pada pengacara itu?" Gemma bertanya.
"Kau ini terbiasa tidak menjawab pertanyaanku dan malah mengajukan pertanyaan baru."
"Pertanyaanmu yang mana sih? Oh, ya aku datang untuk menjemputmu. Dari sini ke Kairagi jauh. Jadi siap-siap saja dari sekarang."
Carissa masih mematung di tempatnya berdiri.
"Uang apa? Uang apa yang dimaksud Pak Bernard?"
"Astaga! Kau kepo sekali."
"Sebentar lagi kau akan bertemu orang tuaku dan minggu depan kita menikah. Sudah seharusnya tidak ada yang kau sembunyikan dariku."
"Minggu depan?!" Carissa terkejut.
"Ya, aku sudah tau akan bikin pesta nimkah di mana. Nyiur Melambai."
"Minggu depan? Nyiur melambai?" Carissa kehilangan kata-kata.
"Ya. Aku yang salah ingat atau memang benar waktu kita untuk menikah hanya tinggal tujuh hari lagi kalau kau masih mau menikmati kekayaan Opamu."
Cara Gemma berbicara seolah-olah Carissa sangat matre dan mengincar kekayaan Opa. Namun, Carissa takjub karena Gemma ingat dengan jelas detail perkataan Bernard ketika membiacrakan isi surat wasiat tempo hari.
"Aku pikir kita hanya akan menikah di KUA? Tanpa tamu undangan?" tanya Carissa.
"Pernikahan macam apa itu?"
"Tapi aku tidak punya uang untuk pesta semacam itu. Ini saja aku pinjam uang sama Om Bernard untuk membiayai panti."
"Oh, jadi itu uang untuk panti? Kenapa kau tidak pinjam saja padaku? Aku memang tidak kaya seperti Opamu, tapi kalau hanya sepuluh juta aku juga punya di rekening."
Sekali lagi Carissa terkejut dengan perkataan Gemma. Apakah pemuda ini sebenarnya baik? Carissa mulai merasa demikian. Tidak mungkin Opa menjodohkannya dengan pemuda yang tidak memiliki kualiatas.
"Jangan hanya berdiri di situ. Cepat ganti bajumu dan kita berangkat."
Carissa mengikuti kata-kata Gemma. Ia naik ke lantai dua dan mempersiapkan dirinya.
***
"Tante Rima, aku tidak percaya ini." Mikaila sedang berada di rumah orang tua Gemma. "Gemma akan bawa gadis itu ke sini makan malam? Hari ini?"
"Kata Gemma kamu sudah tau soal ini."
"Gemma menunda pertunangan kami. Aku tidak tahu sama sekali tentang dia akan menikahi gadis itu."
Gibran muncul di pintu masuk rumah dan terkejut mendapati Mikaila sedang berada di sana. "Hai, Mika." Ia menyapa.
"Hai."
"Kamu baik-baik saja?" Gibran mendapati mata sembab Mikaila.
"Mami baru saja memberitahu Mika bahwa Gemma akan mengajak perempuan itu datang ke sini makan malam. Mama suruh Mika tetap di sini. Mika sudah menjadi bagian dari keluarga kita." Rima yang menjawab.
"Itu bukan ide yang bagus, Mi," sahut Gibran.
"Jadi, aku harus bagaimana Gib? Aku dan Gemma baik-baik saja sebelum gadis itu tiba-tiba muncul di depan Gemma. Tidak ada yang tau darimana dia berasal. Siapa dia? Kenapa dia meminta Gemma menikahinya? Kenapa Gemma mau menikahinya?"
"Tenang, Mika. Kami pun memiliki pertanyaan yang sama denganmu." Gibran mencoba menenangkan.
"Seperti kata Tante Rima, aku akan tetap di sini." Mikaila sudah memutuskan.
"Terserah kamu saja kalau begitu." Gibran meninggalkan kedua wanita itu di ruang tamu dan berjalan menuju kamarnya. Ia tidak akan mengampuni Gemma jika adiknya itu menyakiti Mikaila. []