LIMA

1802 Kata
Gemma sudah memikirkan dengan matang tentang semua ini semalaman. Ia telah memutuskan akan mendatangi rumah Mikaila dan berbicara pada ibunya. Untuk itulah saat ini dia berada di pekarangan rumah Mikaila bersama Mario. "Gila lu, Bro." Mario tidak habis pikir dengan apa yang ada di dalam otak sahabatnya. "Bilang kalau semua ini tidak serius." "Gue tidak akan capek-capek datang kemari malam-malam kalau semua ini hanya main-main." "Tapi kenapa lu musti ajak gue segala sih?" "Gue butuh teman ngopi setelah ini." Gemma melepaskan seatbelt dan turun dari mobilnya. "Lu tunggu di sini saja. Ini tidak akan lama." "Super gila emang lu. Lu janjiin tunangan ke cewek, tiba-tiba sekarang lu mau bilang tunangannya batal karena tiba-tiba lu harus nikah sama cewek lain lagi?" "Gue belum butuh nasehat dari lu sekarang." Gemma membanting pintu mobilnya hingga menutup. Gemma melangkah menuju pintu masuk dan pintu itu terbuka sebelum Gemma sempat mengetuknya. "Sayang." Mikaila menyambut Gemma dan langsung menelusup ke dalam pelukannya. "Apa yang begitu penting untuk dibicarakan malam-malam begini?" Mario menyaksikan dari dalam mobil dan menepuk jidat. "Mati lu, Gem." Gemma melangkah masuk bersama Mikaila. Ane meletakkan majalah yang sedang dibacanya dan berdiri menyambut Gemma. "Halo Gem." "Selamat malam Tante Ane, maaf aku bertamu selarut ini." "Tidak apa-apa. Silahkan duduk. Om sudah tidur. Apakah perlu Tante bangunkan?" "Oh, tidak usah." Gemma mengempaskan dirinya di sofa bersebrangan dengan Ane. "Aku ambilkan soda." Mikaila hendak beranjak namun Gemma menahan langkahnya. "Tidak perlu repot-repot, Mika. Duduklah." Gemma menepuk sofa di sebelahnya. Mikaila mengernyitkan kening namun tetap menuruti perkataan Gemma. Gemma menarik napas dalam-dalam dan ketika merasa Mikaila dan Ane sudah berada dalam posisi yang nyaman ia mulai membuka suara. "Aku kemari untuk memberitahu bahwa aku ingin pertunangan kita ditunda." "Apa?!" Mikaila tampak terkejut. Ia memandang Gemma meminta penjelasan. "Apa ada masalah, Gem?" Ane terlihat lebih dapat mengontrol diri dibanding putrinya. "Tidak ada masalah. Aku hanya harus menyelesaikan beberapa hal dulu." "Seperti?" Ane mengejar. Ia telah mempersiapkan pertunangan anak perempuan satu-satunya dengan sangat matang. Ia tidak terima berbagai alasan pembatalan. "Ada hal pribadi yang....." "Apakah ini semua ada hubungannya dengan gadis itu, Gem?" Mikaila menyela. "Gadis?" Ane tak mengerti. "Oke, aku akan tinggalkan kalian berdua untuk membicarakan ini secara pribadi." Ia beranjak dari ruang tamu sambil memijit pelipisnya. "Kamu tidak bisa membatalkan pertunangan ini sepihak hanya karena gadis itu, Gem. Kamu bilang waktu itu ini hanya kesalahpahaman. Aku memang sudah curiga sejak Mario cerita." "Awalnya aku pikir begitu. Tapi ternyata tidak sesederhana itu." "Try me!" Mikaila beranjak dan berjalan mondar-mandir di depan Gemma. "Apa?" "Coba katakan serumit apa masalahmu?" Mikaila tampak tak sabar. "Siapa gadis itu sebenarnya?!" "Kamu tidak kenal." "Apakah kamu kenal?" "Aku pun baru mengenalnya." "Nah! Itu dia masalahnya. Kamu tidak mengenalnya tapi dia berhasil membuatmu membatalkan pertunangan kita!" "Percayalah Mika ini tidak sesederhana yang kamu bayangkan!" "Aku mau alamat rumahnya!" "Untuk apa?" "Perempuan itu perlu diberi sedikit pelajaran tentang bagaimana cara mengendalikan diri di depan laki-laki yang kebetulan adalah calon tunangan orang lain." "Kamu berlebihan, Mika." Gemma menarik tangan Mikaila menyuruhnya untuk duduk. "Kamu yang berlebihan, Gem," sela Mikaila. Ia mengempaskan tangan Gemma yang mencoba meraihnya, menolak untuk tenang. "Atau jangan-jangan selama ini kamu..." "Hentikan semua prasangka burukmu! Aku tidak pernah mengkhianatimu sedikit pun!" Gemma mulai meninggikan suara. "Aku hanya minta pertunangan ini ditunda. Bukan dibatalkan." Mikaila mengempaskan dirinya di sofa. "Jadi pertunangan ini akan kamu tunda sampai kapan?" "Enam bulan." "Itu lama sekali Gemma. Apakah masalah di antara kalian begitu rumit sehingga butuh waktu selama itu untuk menyelesaikannya?" Gemma merengkuh pundak kekasihnya untuk menenangkan. "Semuanya akan berakhir tanpa kamu sadari, Sayang." "Apa yang akan kamu lakukan padanya?" Mikaila masih menuntut jawaban. "Kamu akan menyingkirkannya dari hidup kita, kan?" "Tentu saja." Gemma membelai lembut rambut Mikaila tanpa mengatakan bahwa satu-satunya yang akan ia lakukan pada gadis asing itu adalah menikahinya dalam waktu yang tidak lama lagi. Mikaila menyerah dan menyenderkan kepalanya di d**a Gemma. Ia mulai menerima bahwa pertunangannya tertunda namun ia sudah bertekad untuk mencaritahu siapa gadis yang telah berbuat seperti ini padanya.   ***   Sabtu malam saat Manado diguyur hujan rintik-rintik sejak senja tadi. Gemma sedang berada di rumah orang tuanya. Sejak bekerja Ia dan Gibran, kakaknya, memang sudah tinggal di rumah masing-masing. Namun ketika kantor libur dan mereka tidak ada kegiatan sosial lain, mereka akan menghabiskan waktu di rumah orang tua mereka. Gemma sedang berbaring di ranjang dalam kamarnya ketika Carissa menelpon. Rima, ibunya, tetap membiarkan kamar kedua putranya sebagaimana ketika mereka tinggalkan. Kamar itu hanya dibersihkannya setiap hari agar ketika kedua putranya itu datang berkunjung dan memutuskan untuk menginap, ia tidak perlu repot-repot membersihkannya lagi. "Ada apa?" Gemma menjawab telpon Carissa. "Jadi soal makan malam besok?" tanya Carissa di seberang. "Jadi." "Aku pakai baju bagaimana baiknya?" Gemma terdiam beberapa jeda sebelum menjawab, "Tidak usah pakai baju." "Aku serius!" "Aku juga!" Terdengar embusan napas Carissa yang tidak sabar di seberang telepon. "Terserahlah kau mau pakai baju apa. Aku tidak butuh kau untuk membuat keluargaku terkesan. Sampai kemarin yang mereka tau calon menantunya bernama Mikaila. Bukan kau. Jadi, kau tidak perlu repot-repot." Carissa yang kini terdiam. "Maafkan aku Gemma. Aku tidak ada niat untuk membuat hidupmu menjadi kacau." "Tapi kau sudah melakukannya." "Andai ada yang bisa kulakukan untuk membalas semua yang telah kamu korbankan demi menikahiku, katakanlah." "Tutup saja telponmu ini!" seru Gemma. Ia menutup sambungan telpon tanpa menunggu jawaban dari Carissa. Malam ini tujuannya mendatangi rumah orang tuanya adalah untuk menyampaikan soal Carissa. Tapi ia jadi bingung harus memulai darimana. Apakah perlu untuk memberitahukan isi surat wasiat Opa Roni? Tapi rasanya hal itu terdengar konyol. Di zaman sekarang masih adakah orang yang menjodohkan anak-anak mereka? Pakai surat wasiat pula. Sementara itu alasan apa yang akan Gemma ungkapkan jika keluarganya bertanya siapa itu Roni Kalalo? Mengapa di antara jutaan laki-laki di bumi ini, ia memilih Gemma? Sampai saat ini hal itu pun masih misteri baginya. Mengapa Roni Kalalo, salah satu pengusaha sukses di Manado, memilih dirinya untuk menikahi cucu semata wayang yang dia tinggalkan bersama kekayaannya yang tak akan habis dibalanjakan tujuh turunan? Apakah tidak ada pemuda lain yang lebih pantas mendampingi Carissa? "Gemma, Mami ingin bicara. Bisa kamu keluar?" Suara Rima terdengar di sela-sela ketukan pintu. "Oke, Mi." Gemma beranjak dari ranjangnya dan keluar kamar. Pintu kamar Gemma menghadap ke ruang makan. Ia bisa melihat Gibran sedang sibuk di meja makan bersama Haris, ayah mereka, saat berjalan ke luar kamar. Mengapa kebetulan hari ini Gibran juga ada di rumah orang tuanya? Kalau tahu saudaranya itu datang ia memilih untuk menyampaikan perihal Carissa ini lewat telepon saja. Sebisa mungkin ia tidak ingin berhadapan langsung dengan Gibran. "Ayo gabung, Nak." Haris mengajak Gemma makan saat melihat putra bungsunya itu. Gemma mengikuti langkah Rima yang berakhir di meja makan. "Mami mau bicara apa?" "Duduk dulu." Rima menyendokkan nasi pada piring makan di hadapan Gemma. Gibran menatapnya sekilas. Gemma selalu benci basa-basi di meja makan. Tidak terkecuali malam ini. "Mami dengar dari Tante Anne, katanya kamu menunda pertunanganmu. Ada apa Gem?" Gemma melihat dengan ekor mataya bagaimana Gibran terkejut sehingga menghentikan segala aktivitas mengunyahnya. "Oh, itu. Tidak apa-apa, Mi." Gemma menjawab datar. "Tidak apa-apa bagaimana? Kamu kok tiba-tiba membatalkan sepihak begitu, sih?" Gemma hanya diam sambil mengutak-atik makanan di atas piringnya tanpa ada selera untuk mulai memakannya. "Aku akan menikahi wanita lain." Saat Gemma membuka suaranya anggota keluarga lain di meja makan mematung. "Maksud kamu?" Suara Gibran. "Aku akan menikah dengan wanita lain. Dalam waktu dekat." Gemma mengulangi. "Astaga Gemma!" Rima histeris. Yang paling tenang dalam menanggapi perkataan Gemma adalah Haris, ayahnya. "Jangan bercanda kamu!" Gibran lagi. "Besok aku akan undang dia makan malam di sini. Kalian bisa lihat aku tidak sedang main-main." "Ya, Tuhan Gemma. Kamu kenapa, Nak? Kamu putus dengan Mika?" Rima tampak tidak terima dengan keputusan Gemma. "Aku baik-baik saja dengan Mika." "Tidak baik-baik saja kalau kamu membatalkan pertunangan dan menikah dengan wanita lain." Gibran menatap adiknya tajam. Pandangan matanya menembus melewati lensa kacamata yang digunakannya. "Aku baik-baik saja dengan Mika." Gemma membalas tatapan tajam kakaknya dengan pandangan devensif sekaligus menantang. "Tapi, kenapa Gemma? Ya Tuhan! Siapa perempuan itu? Kenapa semuanya tiba-tiba?" Rima masih menuntut penjelasan. "Aku tidak harus menjelaskan setiap keputusan yang kuambil pada kalian, kan?" Gemma meninggikan suara. Ia bangkit dari meja makan. "Aku sudah selesai." "Ya Tuhan, Gemma!" Rima sudah kehabisan kata untuk menghadapi putra bungsunya. Ia adalah yang paling keras kepala. "Sudahlah, Mi," ujar Haris menenangkan, "nanti dia akan jelaskan hal ini pada kita. Sabar saja." "Gem!" Gibran bangkit menyusul Gemma. Langkah Gemma terhenti di ambang pintu kamarnya. Kedua kakak beradik itu berhadapan. "Kamu tidak bisa melakukan ini." "Kenapa tidak?" "Ini tidak benar." Ada jeda di antara keduanya. Meraka berdiri mematung. Postur Gemma dan Gibran hampir mirip. Terkadang orang mengira mereka kembar. Tinggi 180 cm, raut wajah yang memancarkan kedewasaan, kacamata yang selalu membingkai wajahnya, cara berpakaian yang rapi. Hanya itu yang membedakan Gibran dari adik kandungnya. Gibran menginginkan kesempurnaan. Gemma menginginkan kebebasan. "Mungkin tidak benar menurutmu. Bagiku ini benar." Gemma masuk ke dalam kamar dan membanting pintu tepat di hidung Gibran. "Gemma, ini tidak adil untuk Mikaila!" Gemma membuka pintunya kembali. "Kalau begitu kau saja yang menikah dengannya." Mata Gibran mengilat. Jelas ia tidak suka dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Gemma. Hal berikut yang dilakukannya adalah mendaratkan tinju di pipi Gemma. "Gibran!" Rima histeris. Bangkit dari meja makan dan berlari ke arah kedua putranya. "Pertama kali kau memukulku adalah karena Mami ingin aku lanjut kuliah Ekonomi dan menjadi pegawai kantoran seperti kau padahal kau sendiri tau aku muak dengan semua itu." Gemma berkata sinis. Ia memijit kulit wajahnya yang memanas dan rahangnya yang terasa sakit. "Saat ini kau memukulku karena aku tidak bersama Mikaila seperti yang Mami inginkan." "Ini tidak seperti itu, Nak." Rima telah berdiri di antara kedua anaknya. Mencegah kakak beradik itu kembali saling pukul. "Aku telah mengikuti kemauan kalian sebelumnya. Kali ini tidak lagi." Gemma melanjutkan. Gibran heran bagaimana adiknya bisa setenang itu setelah ia mendaratkan tinjunya. "Gem, kau hanya tidak tahu apa yang benar." Gibran mencoba mengendalikan emosinya. "Aku tidak tau apa yang benar?! Aku sudah 29 tahun dan demi Tuhan, hanya karena kau lebih tua 3 tahun dariku lantas kau merasa menjadi yang paling benar?!" Gemma tidak percaya dengan pendengarannya. "Bro, kau hanya beda 3 tahun denganku, bukan 30 tahun. Jadi simpan saja semua nasehatmu itu untuk dirimu sendiri!" Gemma masuk kedalam kamar dan membanting pintunya. Gibran bisa mendengar bunyi anak kunci yang diputar menandakan pembicaraan ini sudah final bagi Gemma. "Bagaimana ini Gibran?" Rima tidak bisa menguasai diri. Ia menangis kebingungan. "Tenang, Mi. Aku akan bicara lagi pada Gemma besok." Gibran merangkul Rima dalam pelukannya. Ia sangat menyayangi ibunya dan tidak ada satu pun yang layak membuat ibunya menangis. Haris mengamati drama yang baru saja terjadi dari tempatnya semula. Ia tidak beranjak sama sekali dari meja makan. Ada senyum tipis yang merekah di bibirnya. Ia jelas berada di pihak Gemma. Selalu seperti itu sejak Gemma tumbuh dewasa. []  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN