Theo menatap nanar pada brangkar di depannya. Hembusan nafas terdengar berat. Rautnya menampakan penyesalan teramat.
Andai saja ia tidak menyumpahi selagi marah. Mungkin bosnya tidak akan mengalami kejadian ini.
Saat ini, jangankan mengatakan 'mampus' di wajahnya. Theo bahkan prihatin dengan keadaan ini.
Bagaimana ini bisa terjadi? Mari kembali ke beberapa jam yang lalu. Saat di taman kota.
"Aku tidak suka menunggu," bisik Adam sensual pasa gadis remaja yang ia temui di trotoar jalan.
Detik ini matanya fokus menggoda betina di depannya hingga suara klakson nyaring mengalihkan.
Dari ujung sana tampak mobil kuning melaju tak terkendali. Isyarat kalson itu menandakan ada yang salah.
Sontak Adam memeluk gadis remaja itu dan menghindar ke sisi jalan. Naasnya ia terlambat hingga tubuhnya terserempet body mobil lalu terpental.
"Bagaimana kondisinya sekarang?" suara gemetar wanita mengalihkan fokus Theo.
"Kata dokter tidak ada luka serius kecuali tangannya. Mungkin akan memerlukan waktu beberapa bulan untuk penyembuhan patah tulang."
"T-tapi kenapa dia belum sadar? Bukankah dokter bilang tidak ada luka fatal?"
"Saya juga tidak tau Nona."
Kekhawatiran terpatri jelas di mimik wajah wanita itu. Theo adalah orang baik. Ia segera menenangkan wanita itu.
"Tenanglah Nona. Tuan saya akan bangun sebentar lagi. Lebih dari itu, sebaiknya Nona melakukan X-Ray juga. Mungkin ada bagian yang perlu perawatan," Jelas Theo setelah melihat luka di tangan dan juga kaki wanita itu.
"Tidak, aku akan menunggu di sini sampai dia sadar. Ini kesalahan ku," ucapnya bergumam di akhir kalimat.
Theo terperanjat. Tidak seperti sosialita pada umumnya yang menyerahkan tanggung jawab pada orang lain. Mengelak di saat jelas-jelas salah.
Wanita ini berbeda, ia salah satu kalangan sosialita yang Theo tau. Tapi, justru ia mengabaikan kepentingannya sendiri dan bertanggung jawab.
"Nona, saya menghargai niat baik Nona. Akan tetapi, saya lebih menghargai lagi jika Nona memperhatikan diri Nona sendiri. Di sini biar saya yang menjaga. Setelah Nona selesai melakukan pemeriksaan Nona bisa kembali kemari."
"Bagaimana Nona Starla Faranggis?"
Starla tampak menimbang sebelum setuju oleh usul itu. Theo menatap kepergian Starla.
"Beruntung sekali yang mendapatkan Nona Starla," matanya tertuju pada Adam yang terbaring, "aku harap anda akan mendapat wanita sepertinya," gumamnya.
****
Beberapa jam yang lalu sebelum kecelakaan terjadi.
Blouse abu-abu dan rok hitam setengah tiang menjadi pilihan Starla sebagai OOTD hari ini. Berbeda dengan Alarie yang suka warna terang. Sosok Starla lebih menyukai warna gelap. Menampilkan sosok elegan dan berkelas.
Agendanya hari ini adalah memenuhi ajakan Alarie untuk makan siang di cafe dekat kantor.
Sebenarnya kakinya berat melangkah. Namun, ia harus melakukan sebab tidak ada kesenangan lain selain mengompori Alarie betapa mesranya kehidupan rumah tangga Starla.
"Hati-hati di jalan."
Notifikasi pesan itu Starla terima dari Daniel. Sebelumnya ia sempat izin. Yah, ini juga dalam rangka pura-pura menjadi istri yang baik.
"Makasih sayang," balas Starla.
Ia mengacuhkan chat itu. Mensahut sandwich di meja dan turun ke garasi.
Mobil kuning di saba merespon setelah Starla menekan kunci. Seperti biasa ia memanaskan mobil terlebih dahulu sambil melihat-lihat berita ter-update. Kebiasaan sejak lama.
"Siap-siap para wanita. Pembisnis tampan telah kembali ke tanah air." Sebuah headline terpampang.
Starla terkekeh remeh. "Apanya pembisnis tampan. Dia hanya gudang penyimpanan wanita."
Sejauh ini Starla sangat mengenal baik keluarga rival bisnis Papanya. Yup! Tidak lain adalah keluarga Adamson.
Dulu ada Fernand Adamson. Setelah resmi lepas jabatan. Anak pertamanya, Aldebara Adamson yang menggantikan.
"Padahal perangainya buruk. Keluarga Adamson telah melakukan kesalahan dengan memilih dia yang selalu masuk media panas."
Starla adalah lulusan terbaik Menegemen. Kurang lebih ia paham dengan lingkungan bisnis.
Semakin banyak sensasi maka akan mempengaruhi investasi yang berujung pada penurunan pasar. Beda cerita jika publik figure. Semakin panas sensasi semakin banyak sponsor yang masuk.
Tapi dia? Dibanding pembisnis dia lebih pantas jadi aktris.
Sudahlah, mengkritik orang memang menjadi candu. Starla menekan gas dan mobil itu berjalan.
Dering ponsel terdengar. Starla meraih ponsel yang ia letakan di dashboard. Sambil memperhatikan jalan ia membaca nama di layar. Itu Daniel.
"Hallo?" Angkat Starla.
Bertepatan dengan itu lampu merah di depan sedang menyala. Starla bergegas menginjak rem. Namun, mobilnya tak melambat sama sekali.
Starla panik. Ponsel di genggaman sudah jatuh entah kemana. Menyisahkan Daniel yang mendengar kepanikan Starla dari seberang.
Beruntung mobil Starla berada paling depan. Banyak klakson memperingati Starla karena menerobos lampu merah.
Hingga mobil Starla tak terkendali setelah hampir menabrak pengendara motor. Starla membanting stir ke kanan tanpa tahu ada dua orang berdiri di sana. Dia Adam dan seorang gadis remaja.
Mobil Starla berhenti berkat lampu jalan yang ia tabrak. Kemudian kerumunan orang menghampirinya.
****
"Starla!" panggil suara baritone.
Setelah keluar dari ruang pemeriksaan
Starla berniat ke bilik Adamson. Bagaimana pun ia harus bertanggung jawab. Namun sepertinya ia harus mengurungkan niat berkat kehadiran orang ini.
"Gimana keadaan mu? Kamu tidak apa-apa? Astaga tangan mu." Daniel panik. Ia menatap nanar tangan Starla yang diperban.
Tanpa Starla sadari kulitnya terluka benda tajam entah dari sisi bagian mobil mana.
"Aku tidak apa-apa," jawab Starla seadanya.
"Syukurlah."
Tubuh Starla menegang. Pelukan Daniel terasa hangat. Ia juga mendengar degub jantung Daniel yang tak karuan. Seolah mengatakan bahwa Daniel benar-benar khawatir.
"Aku benar-benar panik saat suara besar terdengar dari ponsel mu. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku sengaja meninggalkan rapat dengan dewan komisaris. Syukurlah! Tuhan masih menyayangiku dengan tidak mengambilmu."
Starla mendorong lembut pundak Daniel. Tatapan lembut tanpa sadar ia berikan.
Harapan kecil itu masih ada. Walau sangat kecil hingga mustahil terwujud. Starla masih berharap sosok Daniel yang seperti ini adalah Daniel yang sesungguhnya.
"Tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Justru yang parah laki-laki itu."
"Laki-laki? Siapa?"
"Aldebara Adamson. Kamu pasti mengenalnya. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa dipinggir jalan. Mobil ku hilang kendali karena rem tidak berfungsi lalu menabrak tiang lampu. Aku bahkan tidak sadar Tuan Adamson ada di sana."
"Maaf aku menimbulkan masalah," lanjut Starla menyesal.
Setelah ini pasti banyak artikel yang mengangkat perkara kecelakaan ini. Terlebih dia Adamson, pemilik DIB Group.
"Tidak apa, yang penting kamu selamat." Daniel mengusap lembut pipi Starla. Menyalurkan ketenangan.
"Starlaaaa!" pekik suara wanita dari ujung sana.
Tanpa izin. Ia mendekap Starla dengan erat. Menangis tersedu seperti bocah.
"Starla, maaf... gara-gara aku... gara-gara aku kamu jadi seperti ini. Andai aku tidak minta bertemu. Pasti kamu tidak akan mengalami hal ini. Maafkan aku Starla." Alarie menangis tersedu-sedu. Dasar Drama Queen!
"Aku tidak apa-apa. Lihat kan? Aku hanya mengalami luka di tangan saja. Tuhan masih menyayangiku."
"Benar. Aku yang akan menangis paling lama jika kamu kenapa-kenapa. Tolong jangan berkendara ugal-ugalan lagi. Kamu selalu seperti itu sejak kuliah."
Starla mengernyit kesal. Perempuan ini masih sempat menjatuhkan pribadi orang dalam keadaan begini.
"Starla, lebih baik kamu temui pihak Adamson. Aku akan mengurus administrasi dulu," usul Daniel.
"Baiklah," sahut Starla kemudian beranjak.
Setelah memastikan Starla benar-benar pergi. Daniel mensahut lengan Alarie dan menariknya ke tangga darurat.
"Apa kamu gila?!" bentak Daniel. Wajahnya penuh amarah.
"Ha? Apa maksud mu?"
"Kamu penyebab kecelakaan ini?!" tuduh Daniel.
"Apa kamu bilang? Aku? Gila kamu ya! Aku memang ingin menyingkirkan Starla. Tapi sumpah bukan aku pelakunya! Seingin-inginnya aku menyingkirkan ja*ang perfeksionis itu, tidak mungkin aku melakukan tindakan gila seperti ini."
"Terus siapa?" Daniel mengacak rambutnya kesal, "mobil itu selalu dalam perawatan rutin. Tidak mungkin rem blong tiba-tiba."
"Kenapa kamu terlihat sangat khawatir? Bukankah keuntungan buat kita kalau Starla mati dalam kecelakaan. Toh, kita tidak terlibat."
"Seperti kasus Presedir sebelumnya. Kita tahu pihak orang itu yang melakukan pengkhianatan sampai Presedir stroke. Tugas kita hanya menonton. Kita akan maju memanfaatkan timing yang pas untuk mengambil kemenangan. Bukankah seperti itu?"
Daniel menyandar pada dinding. "Ya, tapi ini terlalu cepat."
Alarie merasakan kejanggalan. Matanya menyorot tajam sejurus dengan mulutnya mengucap, "Daniel! Apa kamu mencintai Starla?!"