Chika sudah bangun dan saat ini sedang berjalan berdampingan dengan Raka. Namun, rasa kantuk rupanya masih menguasai gadis itu, terbukti dari mulutnya yang tidak berhenti menguap. Bahkan ia hampir terjerembab jika Raka tidak menahan lengannya.
"Nyawa lo belum kumpul, ya?" tanya Raka sedikit kesal. Dia menatap Chika tidak habis pikir.
Chika mengangguk sambil memejamkan matanya. "Lo tuh bangunin gue pas lagi nyenyak-nyenyaknya, makanya nyawa gue lama kekumpulnya."
"Ya soalnya kalo nggak gue bangunin keburu malem terus hujan lagi. Lo mau nginep di minimarket?" Raka mendengus kesal sambil menarik tangannya dari lengan Chika. "Lagian lo bisa-bisanya ya ketiduran begitu, mana nyenyak pula."
"Rak, gue nggak kuat lagi nih," kata Chika yang sama sekali tidak nyambung dengan perkataan Raka sebelumnya. Gadis itu memegang lengan Raka dan memasang tampang memohon, "Boleh minta tolong gendong gue aja nggak? Gue nggak kuat jalan lagi nih."
Raka melotot tak percaya mendengar permintaan Chika dan langsung mengibaskan lengannya. "Nggak, nggak mau! Lo pikir gendong lo sampe rumah nggak berat? Jalan sendiri!" Raka sudah hampir melangkahkan kakinya kembali, tapi dengan sigap Chika mencegah dengan kembali menarik lengannya.
"Plis, kali ini aja! Jujur aja ya gue juga ogah minta beginian sama lo, tapi gue beneran nggak kuat sumpah. Terus juga ...." Raka menaikkan alisnya begitu Chika sedikit membungkukkan badannya untuk melepas sepatu. Matanya sedikit melebar tidak lama setelah Chika menunjukkan sesuatu kepada dirinya.
Dengan nada bicara dan wajah memelas Chika melanjutkan, "Kaki gue lecet nih gara-gara kelamaan jalan. Dari tadi gue tuh udah nahan-nahan, tapi makin ke sini makin kerasa perihnya. Jadi, plis ya lo mau gendong gue? Itung-itung ini buat ngehibur gue yang baru putus cinta. Lagian, putusnya juga demi lo, kan?"
Raka tergelak sinis mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Chika. "Demi gue? Demi Eyang kali. Lo nikah sama gue juga demi Eyang, kan? Makanya mau nggak mau lo mesti putus sama cowok lo." Chika hanya mampu menundukkan kepalanya usai Raka berujar begitu.
"Ya udah, buruan naik!"
Chika menatap Raka sedikit tak percaya ketika pemuda itu tahu-tahu sudah membungkukkan badan dengan posisi memunggunginya. Gadis itu tersenyum gembira dan sudah mau mengulurkan kedua tangannya, tapi tidak jadi karena masih merasa ragu.
"Lo yakin nih?"
"Ck! Iya, yakin. Buruan, sebelum gue berubah pikiran!"
Cepat-cepat Chika mengulurkan kedua tangannya ke depan melingkari bahu Raka. Secara alami tangan Raka bergerak menahan bagian dalam kaki Chika dan mengangkat badannya dari aspal. Setelah dirasa posisinya sudah pas, barulah dia melangkahkan kaki menuju rumah.
Sambil tersenyum manis Chika berkata, "Makasih ya, Rak."
Raka hanya bergumam pelan sebagai respons. "Kalo lo balik tidur lagi, jangan sampe ngiler, ya!"
"Enak aja! Gue nggak pernah ngiler, tau?"
Raka tidak menimpali. Yang dia tahu tidak lama setelah itu beban di punggungnya sedikit bertambah. Posisi kepala Chika yang terkulai lemah di bahunya membuatnya semakin yakin kalau gadis itu sudah kembali menjemput alam mimpinya. Raka hanya bisa mendesah lesu karenanya.
"Wah, wah, wah! Pengantin baru so sweet banget sih?" Suara tersebut yang pertama menyapa rungu Raka ketika pemuda itu melangkah masuk ke kediamannya dan melewati ruang tamu depan. Tidak mengindahkan keberadaan sang paman di sana, Raka merajut langkah ke kamarnya di lantai dua.
"Oh gitu, ya? Mentang-mentang lagi romantis-romantisan sama istrinya, Om dicuekin," ujar Armand dengan nada sedih yang dibuat-buat. Pria tampan itu bangkit dari sofa dan saat ini sedang berdiri di dekat anak tangga terakhir. Senyum yang terkesan menggoda ditampilkan oleh wajahnya.
Raka berhenti berjalan dan menoleh sedikit demi menatap om-nya. "Makanya cepet lamar Tante Airin, biar Om bisa kayak gini juga."
"Lho, kamu lupa? Kami kan udah tunangan? Tinggal netapin tanggal aja kok."
"Setengah tahun yang lalu Om juga ngomongnya gitu, tapi sampe sekarang janur kuning belum melengkung juga tuh."
Skak mat! Pernyataan Raka sukses membuat Armand gelagapan. Dia baru mau menimpali, tapi Raka sudah lebih dahulu melanjutkan langkahnya yang terhenti.
Merasa sudah aman, Armand kembali melancarkan godaan, "Wah, apakah ini pertanda kalo sebentar lagi Om bakal jadi kakek muda?"
"Berisik, Om!"
Armand terkekeh puas mendapati respons Raka yang seperti itu.
Sementara Armand sibuk terkekeh, Raka pun sampai di kamarnya setelah sempat merasa kewalahan saat membuka pintu. Meletakkan tubuh Chika di kasur dengan cukup lembut, menyelimutinya sampai sebatas leher, lalu keluar kamar lagi untuk menyimpan camilan dan minuman yang dia beli tadi di kulkas. Saat dia turun dan pergi ke dapur, sosok Armand sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Diam-diam Raka bersyukur akan hal itu, sebab sang paman memang sering sekali bersikap menyebalkan seperti tadi.
Sesampainya kembali di kamar, Raka dibuat keheranan karena tidak menemukan sosok Chika di ranjang. Namun, setelah mendengar suara air dari kamar mandi, ia tidak merasa penasaran lagi.
Well, sebenarnya Raka tadi hanya berniat pergi ke minimarket sebentar karena harus kembali mengerjakan tugas untuk dikumpulkan besok siang. Namun, karena tadi terjebak hujan dan ini juga sudah larut malam, Raka memutuskan untuk kembali mengerjakannya esok hari saja. Maka dari itu, dia bergerak ke meja belajar guna membereskan buku-bukunya, melepaskan kaos dan bersiap naik ke ranjang.
"Aaa!"
Teriakan Chika seketika membuat Raka yang sudah mau masuk ke dalam selimut jadi urung. Pemuda itu menghampiri Chika yang berdiri di depan pintu toilet sambil menutup mata dengan kedua tangan.
"Ngapain sih lo teriak-teriak malem-malem begini? Ganggu orang pada tidur, tau nggak?"
"Ya habisnya sih lo ngapain begitu?"
"Begitu apanya, hah?! Ngomong yang jelas!"
"Elo itu topless!"
"Hah?!" Raka pun tertawa keras begitu mendengar jawaban Chika. Membuat gadis cantik itu mengerucutkan bibir kesal.
"Kok malah ketawa sih?"
"Ya iyalah gue ketawa! Lo itu tinggal sekamar sama gue udah berapa lama, hm? Harusnya lo tau kalo kebiasaan tidur gue itu ya topless begini. Dan bukannya kita udah bikin kesepakatan soal ini, ya?"
"Iya gue tau, tapi kan ini gue masih melek. Lo biasanya tidur lebih malem dari gue, makanya gue nggak pernah liat. Masalah kesepakatan, kan elo baru boleh buka kalo gue udah bener-bener nyenyak?"
Raka sudah mau membuka mulutnya, tapi batal. Pemuda itu mengatur napasnya dan berusaha menekan rasa kesal yang tiba-tiba merasuk ke dalam benak. Lantas, tanpa basa-basi dia berjalan ke ranjang, mengambil kaosnya, kemudian memakainya kembali.
"Nggak usah tutup mata lagi! Gue udah pake kaos."
Pelan-pelan Chika membuka matanya. Setelah memastikan kalau Raka sudah benar-benar berpakaian, barulah dara cantik itu naik ke ranjang. Tanpa bilang apa-apa menata bantal dan guling sebagai pembatas bagiannya dan Raka, kemudian berbaring, bersiap tidur.
Raka menggeleng tak percaya. "Gila ya? Ini kamar, kamar gue, tapi segala sesuatunya gue harus nurutin lo."
Chika menoleh dan menimpali. "Udah sih, terima aja nasib lo! Gue kan tamu di sini, dan tamu adalah raja. Inget, kan, apa kata Opa? Sebisa mungkin lo harus bisa bikin gue nyaman tinggal di sini."
Setelah berkata begitu, Chika mengenyahkan pandangannya dari Raka dan benar-benar menjemput alam mimpinya.
Dasar Chicken! Raka mendumal dalam hati. Niatnya untuk tidur cepat malam ini harus kandas begitu saja, dan sebagai gantinya dia memutuskan untuk begadang demi menyelesaikan tugas kuliahnya.
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Raka mulai mengerjakan tugas. Karena sudah selesai, pemuda itu membereskan buku-bukunya dan bersiap untuk tidur. Tidak lupa melepaskan kaos dan meletakkannya di atas kursi meja belajar. Rupanya Raka tidak butuh lama untuk terlelap. Baru sekitar sepuluh menit masuk ke dalam selimut, ia sudah tidur cukup nyenyak. Bahkan ia juga tidak sadar kalau sekarang keadaan kamarnya gelap gulita karena mati listrik.
Hal berbeda ditunjukkan oleh Chika yang saat ini menggeliat pelan di dalam selimut. Dia tampak tidak nyaman, seolah gerah dengan kondisi sekitarnya. Jelas saja, karena AC pun ikut mati, bukan?
"Panas!" gumam Chika sebal seraya membuka mata, hendak menurunkan suhu ruangan. Namun, saat membuka mata gadis itu justru memekik dan refleks beringsut memeluk Raka.
"Ih, Raka!" Chika mengguncangkan tubuh pemuda yang sedang dipeluknya itu. "Rak, bangun! Kok lampunya dimatiin sih? Nyalain sana! Raka!"
Tubuhnya yang digoyangkan dengan cukup keras membuat Raka pun terbangun. Berdecak sebelum bertanya, "Duh, apaan sih lo berisik banget! Orang lagi tidur juga!" Raka menatap Chika tajam. "Lo ngapain sih pake acara peluk-peluk gue segala? Minggir!"
"Lo kan tau sendiri gue takut gelap, terus kenapa dimatiin lampunya? Nyalain sana!" Chika masih belum mau menyingkir dari tubuh Raka. Bahkan dia tidak peduli walau pemuda itu dalam keadaan topless saat ini.
"Gue nggak matiin lampunya, asal lo tau aja. Tadi waktu gue mau tidur lampunya masih nyala kok."
"Bodo amat ah mau tadi lo matiin atau enggak, yang penting nyalain lagi sekarang soalnya gue nggak bisa tidur kalo takut begini."
"Ya ampun, emang apa sih yang lo takutin? Rumah ini nggak berhantu, lagian lo di kamar ini juga sama gue, nggak sendirian. Nyalain sendiri sana!"
Chika masih tidak mau berhenti merengek. "Terserah deh ya, Rak lo mau ngomong apa, gue emang insecure kalo ada di tempat gelap kayak gini. Jadi plis banget ya, tolong nyalain lampunya!"
Permohonan Chika lama-lama membuat Raka tidak tega. Sebelum bangkit dari ranjang dia menyuruh Chika berhenti memeluknya. Raka berjalan ke saklar dan mencoba menyalakannya, tapi kemudian dia menyadari sesuatu dan segera memeriksa keluar jendela.
"Ini lagi pemadaman listrik. Biasanya ntar baru nyala jam 5 pagi," kata Raka santai sambil kembali naik ke ranjang. Mata Chika melebar sempurna.
"Pemadaman? Yah, terus gimana dong?" Chika panik sendiri. Dia langsung memegang lengan Raka begitu pemuda itu kembali duduk di sampingnya. Raka menatapnya aneh.
"Rak, gue beneran takut. Gue nggak bisa tidur nih kalo gelap. Masa iya gue harus nunggu sampe jam 5 pagi?"
"Ya terus lo mau gue gimana?" Raka mengacak rambut frustasi. Chika tidak bisa berkata-kata dan tetap memegang lengan pemuda itu.
Raka pun menghela napasnya dan mencoba mencari solusi. "Lo sama sekali nggak bisa tidur ya kalo gelap?"
Chika menggeleng lemah. "Se-Sebenarnya sih ada satu cara, tapi ...." Dia tampak tidak yakin.
"Ck! Tapi apa?"
"Tapi ini ... memalukan banget, Rak. Masa iya gue harus minta itu ke lo?"
Kata-kata Chika yang terdengar ambigu berhasil memancing rasa penasaran sekaligus curiga di benak Raka. Dia memicing menatap gadis itu.
"Coba bilang ke gue, emang apa yang harus gue lakuin?"
Ragu-ragu Chika menjawab, "Kalo ngerasa insecure, gue butuh ... dipeluk. Itu satu-satunya cara biar gue bisa tidur."
"Ya udah sini gue—" Raka sudah beringsut mendekat, bersiap memeluk Chika, tapi gadis itu langsung menghindar.
"Eh, lo jangan macem-macem, ya!"
"Macem-macem apa sih? Gue cuma mau bantuin lo kok."
"Ya tapi kan ...."
"Tapi apa? Tadi aja di jalan minta gendong nggak masalah, kan? Kenapa sekarang dipeluk nggak mau?"
"Ya kan beda, Raka. Masa iya lo peluk-peluk gue ... topless gitu? Pake baju dulu sana!"
Raka menghela napas cukup berat. "Gini ya, Chik ... dari tadi itu gue udah sabar banget ngadepin lo, nurutin mau lo. Terus sekarang pas gue mau bantuin lo, lo masih aja nyuruh gue nurutin mau lo?" Pemuda itu mendengus kemudian berbaring. "Ya udah, terserah kalo nggak mau. Gue ngantuk."
Dengan nada panik Chika mencegah Raka agar tidak terlelap dulu. "Yah, jangan ngambek dong! Iya-iya, gue ... gue mau deh."
Tanpa Chika sadari, Raka tersenyum miring.
"Tapi lo jangan macem-macem lho, ya!"
"Enggak bakal. Udah sini! Mau tidur nggak?" Raka bersiap merentangkan kedua tangan, menyambut Chika ke dalam dekapan. Posisinya yang saat ini setengah berbaring membuat Chika harus mengikutinya.
Dengan gugup dan sambil menahan rasa deg-degan, Chika beringsut mendekati Raka kemudian melingkarkan kedua tangannya ke sekeliling tubuh pemuda itu. Kepala Chika menempel di d**a Raka sehingga membuatnya bisa mendengar detak jantung pemuda itu. Rupanya tidak hanya dirinya yang merasa gugup dan deg-degan, tapi Raka juga.
Untuk beberapa saat kedua anak manusia itu hanya berbaring tanpa memejamkan mata. Namun, suasana malam yang sepi akhirnya berhasil membuat keduanya terlelap pada waktu yang hampir bersamaan. Mereka berdua tidur dengan posisi berpelukan hingga pagi menjelang.