Intro
13 Agustus 2018
Chika menghela napas kesal untuk ke sekian kali. Lagi-lagi memeriksa jam yang melingkari pergelangan tangan kemudian mendengus tak sabaran. Menggigit bibir menjadi hal selanjutnya yang bisa Chika lakukan sebelum menepuk pelan bahu abang pengemudi ojek online yang ditumpanginya.
“Pak, nggak bisa lewat jalan lain, ya? Saya udah telat masuk kelas nih,” ujar gadis cantik itu, berusaha bernegosiasi. Soalnya, dia ingat kalau mau ke kampus ada jalan lain yang sedikit lebih lengang dari jalanan yang super macet ini.
“Ada sih, Neng. Tapi, kalo mau lewat jalan itu kita harus muter balik.”
Jawaban si abang ojol mau tak mau membuat Chika harus menelan pil kekecewaan. Kalo mau muter balik jelas kelamaan! Chika tidak mau semakin terlambat masuk kelas Geometri pertamanya. Kata Leta, Pak Izul ini orangnya lumayan strict. Sekali saja membuat kesalahan seperti terlambat masuk kelas, bisa membuatmu jadi kandidat penerima nilai D. Chika kan jadi ngeri sendiri kalau begitu caranya.
Salah siapa tadi telat bangun, Chik? Dewi batin Chika mengomeli diri sendiri. Iya, sudah tahu kalau hari ini ada kelas pagi, gadis itu justru begadang nonton DVD konser boyband Korea kesayangannya. Alhasil, dia pun terlambat bangun pagi. Padahal Bik Inah sudah mencoba membangunkan atas suruhan Bunda, tapi dia justru balik tidur lagi. Chika baru bangun jam setengah tujuh, yang artinya itu hanya satu jam sebelum kelas Geometri dimulai.
Setelah melewati kemacetan yang sangat parah selama hampir setengah jam ini, Chika pun berhasil selamat sampai tujuan. Dia buru-buru membayar ongkos ojek dan hampir setengah berlari memasuki Gedung C. Tujuannya sekarang adalah lift. Bodohnya, Chika tidak mengecek dulu di kelas mana Geometri diadakan. Sewaktu lift terbuka, dia langsung masuk saja dan berakhir bingung mau memencet lantai berapa.
“b**o!” Chika menepuk jidatnya dan segera memeriksa ponsel. Ia menunduk dan mencari screenshoot KRS yang menunjukkan waktu dan tempat kuliah diadakan. Pada saat itulah, seseorang masuk ke lift yang pintunya sudah hampir tertutup. Oh, Chika sedang ingin apatis saat ini jadi ia tidak perlu repot-repot mendongak. Yang ia tahu, orang itu seorang lelaki bersepatu pantofel.
Kelas Geometri lebih penting!
“303!” gumam Chika pada diri sendiri. Dengan sigap tangannya terulur guna menyentuh tombol bertuliskan angka ‘3’, tapi batal karena ternyata pemuda di sebelahnya sudah lebih dulu menekannya.
“Hobi lo gak pernah berubah, ya? Masih sering aja telat masuk kelas.”
Eh?
Chika kaget setengah mati sewaktu orang itu mengeluarkan suara dengan nada menyindir yang khas. Pelan-pelan, dia menolehkan kepala ke samping. Matanya membulat sempurna melihat siapa sosok jangkung pemilik bariton yang dia kenal betul itu. Sosok yang sudah lama tidak ia lihat batang hidungnya karena melanjutkan studi ke luar negeri.
“Ra ... ka?” Serius, Chika syok setengah mati sekarang. Entah seperti apa ekspresi yang ditunjukkan gadis ini ketika menatap pemuda di hadapannya, yang jelas pasti konyol sekali.
Anjir! Ngapain nih cowok di sini?!
Pemuda pemilik nama ‘Raka’ itu menyeringai menatap Chika. “Hai, Mantan!” sapanya bertepatan dengan denting lift yang terbuka di lantai tiga.