Chika menggigit bibir sambil terus mengamati air muka sang sahabat—Leta— yang kini sedang duduk menonton rekaman video kamera ponsel di meja yang tadinya dihuni oleh Raka seorang. Ya, usai briefing Chika mengajak Leta ke kafe yang menjadi tempat kejadian perkara perselingkuhan Teza dan Trisha. Ingin memberitahu soal apa yang telah Teza lakukan, sekaligus mencari tahu apakah Leta sudah tahu lebih dulu. Jujur saja Chika merasa tak tega, tapi di sisi lain dia penasaran dengan reaksi sahabatnya.
"Gue udah tau kok, Chik." Suara Leta terdengar lirih, tapi Chika masih bisa mendengarnya dengan jelas dan langsung melotot karena terlampau kaget. Pun dengan Raka yang sejak tadi menunggu reaksi sahabat istrinya tersebut. Laki-laki itu tampak ikut tak menyangka.
"Lo tau?!"
Leta mendongak dan mengulas senyum tipis yang lebih mirip seperti sedang menahan luka. Gadis itu mengangguk. "Gue udah tau dari lama, Chik, tapi gue sengaja pura-pura nggak tau."
"Sejak kapan?"
"Kenapa?"
Dua suara berbeda mengalun secara bersamaan. Pertanyaan pertama adalah milik Chika, sedangkan yang selanjutnya milik satu-satunya lelaki yang berada si tengah-tengah ia dan sahabatnya. Chika refleks menoleh pada Raka yang kini tampak tak habis pikir dengan Leta. Entah kenapa Raka tampak marah, hal ini terlihat dari tatapannya yang begitu tajam dan rahangnya yang mengeras. Chika yang tadinya hendak protes, kini mengurungkan niat karena terkejut melihat reaksi Raka.
Leta yang terkejut karena ditodong pertanyaan dan tatapan tajam Raka pun tampak kebingungan. Belum sempat dia menjawab apa pun, Raka sudah lebih dulu membuka mulutnya kembali. "Kenapa lo diam aja dan pura-pura nggak tau? Lo nggak marah diselingkuhin gitu? Nggak sakit hati?" Pemuda tampan itu mendengus dengan kesan meremehkan. "Lo bukan malaikat. Hati lo nggak mungkin berubah jadi baja yang nggak bisa ngerasain apa-apa, 'kan?"
"Rak, kok lo jadi ngehakimi Leta, sih?" Chika terbakar amarah melihat sahabatnya diberondong pertanyaan bernada sinis dari Raka. Tak hanya bersuara, dia juga mendorong tubuh Raka. "Di sini itu korbannya Leta dan kita juga nggak tau kan apa yang—"
"Kak Raka bener kok, Chik."
Suara lemah Leta yang mengalun berhasil membuat atensi Chika teralihkan. Pun dengan Raka yang rautnya masih keras.
Leta mengambil napas kemudian mengembuskannya secara perlahan. Senyum kecut menghiasi wajah cantiknya. "Harusnya gue marah atau ngamuk sekalian sama Teza waktu itu, tapi gue justru diam aja sampe detik ini kayak orang bodoh."
Chika semakin prihatin. "Ta ...."
"Tapi, gue punya alasan, Chik." Leta yang sedari tadi menunduk kini mulai berani menatap Chika. "Ada satu hal yang belum gue ceritain ke lo. Ini juga yang bikin gue akhirnya nggak bisa lagi marah atau ngamukin Teza. Yang bikin gue akhirnya diam aja."
Chika mengernyit. Dia merasa memang ada hal yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya. Tidak biasanya seorang Leta seperti itu. "Ada apa, Ta?"
Alih-alih menjawab, perlahan tatapan Leta bergulir pada Raka yang turut menunggu penjelasan gadis itu. Melihat Leta menatap suaminya, Chika pun ikut mengalihkan pandangan. Raka yang peka pun akhirnya melemparkan tangan ke udara dan mengerang.
"Oh, so you guys want me to go, right? Okay, I'll go." Raka sudah berbalik ingin pergi, tapi dia mengurungkan niatnya dan memanggil Leta. Nada bicaranya sudah kembali normal. "Oh ya, Ta ... gue minta maaf buat kata-kata gue tadi. Gue kebawa emosi."
Leta tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa kok, Kak. Santai aja."
Raka mengangguk. "Ya udah, gue cabut."
Raka pun pergi dan menyisakan Chika bersama Leta. Chika memandang punggung Raka yang menjauh dengan tatapan kesal, teringat oleh kejadian tadi saat Raka mendadak sinis pada Leta.
Chika mencibir. "Dasar aneh! Yang diselingkuhin kan elo, Ta. Kok malah dia yang kebawa emosi, sih? Harusnya itu gue yang ikut nggak terima sebagai sesama cewek, apalagi lo sama Teza sama-sama sahabat gue." Sadar kalau dirinya yang sekarang justru terbawa emosi, Chika pun mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia melirik Leta tak enak.
"Eh, sori ya, Ta. Sekarang malah gue yang kebawa emosi."
Leta menggeleng. "It's okay, Chik."
Kembali ke topik awal. "Jadi, ada apa, Ta? Apa sih yang jadi beban pikiran lo?"
Leta menunduk, tampak seperti sedang menata perasaan sebelum bercerita. Dilihat dari raut wajah dan bahasa tubuhnya, Chika bisa tahu kalau ini pasti hal yang sangat serius.
"Chik ...." Suara Leta serak, jadi gadis itu berdeham sebentar guna membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering sebelum melanjutkan, "lo tau kan kalo nyokap gue udah meninggal tiga tahun lalu, pas kita kelas 10?"
Chika mengangguk, tapi benaknya merasa aneh. Kenapa Leta menanyakan hal itu? Kenapa setelah sekian lama dia kembali mengungkit kejadian memilukan itu?
"Lo juga tau kan kalo sejak itu hubungan gue sama bokap nggak begitu baik? Nggak, bahkan pas nyokap gue masih sakit-sakitan pun hubungan kami udah nggak baik. Lo tau, kan?"
Lagi, Chika hanya bisa mengangguk. "Lo berantem lagi sama bokap?" tanyanya pelan-pelan. Tiba-tiba teringat mengenai permasalahan keluarga sang sahabat. Sejak ibunya mulai sakit-sakitan, ayah Leta seolah tak peduli lagi pada keluarganya. Leta, yang awalnya seorang anak penurut berubah menjadi benci pada sang ayah. Mereka kerap kali bertengkar dan permasalahannya tidak jauh-jauh dari kondisi kesehatan sang ibu. Setelah ibunya meninggal, hubungan Leta dan ayahnya kian memburuk. Mungkin kalau tidak ada Yuan dan Yuna—adik kembarnya, Leta sudah lama cabut dari rumah. Namun, demi kedua adiknya yang masih duduk di sekolah dasar, Leta bertahan tinggal di rumah ayahnya.
Leta terkekeh sinis, tapi Chika tahu kalau itu hanya usahanya menahan tangis.
"Gue pernah cerita kan sama lo kalo gue curiga bokap selingkuhin Ibu?" Kali ini tanpa menunggu jawaban sang sahabat Leta langsung melanjutkan, "gue denger-denger dari tetangga kalo bokap ada affair sama tantenya tetangga gue, temen main gue dari kecil. Perempuan itu rumahnya juga satu kompleks sama gue, cuma beda blok aja. Beberapa kali tetangga liat bokap jemput tante itu kalo mau berangkat kerja, jalan-jalan, atau apalah gue nggak tau."
Leta mengambil napas sejenak, menjeda sebelum kembali berujar, "gue udah pasrah banget waktu tau bokap selingkuh sama si tante sejak lama. Gue bahkan udah nggak mau tau lagi sama kehidupan bokap. Terserah dia mau jungkir balik kek atau apa gue nggak peduli. Yang penting dia masih mau nafkahi Yuan sama Yuna itu udah lebih dari cukup buat gue, tapi—" Leta tercekat. Kali ini air mata yang sejak tadi ditahan olehnya setengah mati berhasil luruh juga.
Chika yang terkejut segera mengusap punggung Leta yang bergetar hebat dan mendekatkan tubuhnya guna memeluk sang sahabat. Hatinya ikut merasa sakit melihat Leta yang biasanya tenang kacau seperti itu.
"Lo tau, Chik, apa yang paling bikin gue sakit hati sama bokap?" Leta kembali bersuara usai mengumpulkan kembali kekuatannya, menata perasaannya. Dari suaranya Chika bisa menilai seberapa dalam luka yang dialami Leta akibat perilaku ayahnya. "Mereka ternyata nggak cuma selingkuh, tapi mereka udah nikah siri sejak nyokap masih ada, Chik! Pas nyokap lagi berjuang ngelawan penyakitnya!" Seiring dengan terlontarnya kalimat itu, tangis Leta pun makin deras. Chika yang terkejut hanya bisa menutup mulutnya saking tak percaya.
"L-Lo tau dari mana, Ta?" Chika bertanya masih dengan raut tak menyangkanya.
"Tante itu lagi hamil sekarang dan gue nggak sengaja liat chat bokap yang bilang kalo dia bersyukur karena akhirnya si tante hamil setelah tiga tahun mereka nikah. Awalnya gue nggak percaya isi chat itu. Gue masih denial dengan menganggap kalo gue salah tangkap aja mungkin. Tapi, entah kenapa timingnya pas banget waktu itu karena temen gue ngajak ketemuan dan dia nunjukin foto ke gue. Foto pernikahan mereka tiga tahun lalu di mana bokapnya temen gue jadi saksi dari pihak si tante. Temen gue juga baru tau soal pernikahan itu pas nyokapnya kasih tau kalo si tante hamil. Dia juga dapat foto itu dari adik sepupunya, anak si tante yang lagi belajar sama dia."
"Astaga ...." Sungguh, Chika tidak tahu lagi harus bereaksi bagaimana. Dia tidak habis pikir kalau ayah Leta tega melakukan hal sejauh itu, bahkan di saat ibunya Leta masih ada dan sedang berjuang melawan penyakitnya yang mematikan.
"Waktu itu gue nggak tau harus apa lagi, Chik. Temen gue nangis-nangis minta maaf ke gue, katanya dia nggak enak sama gue, apalagi bokapnya juga jadi saksi. Jujur, gue nggak marah sama dia. Gue kecewanya ya sama bokap gue dan si tante. Tapi hari itu gue seolah mati rasa. Gue benar-benar nggak tau mesti ngapain." Leta mengusap air matanya. Berusaha menenangkan diri.
Teringat sesuatu, Chika pun melontarkan pertanyaan, "Itu hari di mana lo ketemu Kak Levi?"
Leta diam untuk beberapa lama sebelum menjawab, "Ya. Itu gue ketemu Kak Levi setelah ketemuan sama temen gue. Dan itu juga hari di mana gue tau Teza selingkuh. Gila, ya, satu hari itu sial banget gue."
Informasi terakhir membuat Chika membulatkan mata terkejut dan segera bertanya, "gimana ceritanya lo tau Teza selingkuh? Lo mergokin dia di apart atau—"
"Gue telpon dia di parkiran kafe pas mau pulang, niatnya pengen ke apart karena gue gatau lagi mau ke mana, tapi ternyata dia baru aja turun dari mobil sama Trisha. Gue tau mereka di sana karena denger nada deringnya Teza dari jarak yang agak deket, tapi mereka nggak liat gue ada di sana. Saat itulah gue liat dia reject telpon dari gue dan bilang ke Trisha kalo itu telpon gak penting. Gue juga liat mereka mesra-mesraan pas mau masuk kafe. Di situlah akhirnya gue nggak rasain apa-apa lagi. Gue hancur karena bokap dan makin hancur karena Teza, tapi bukannya nangis atau ngamuk, gue malah nggak bisa apa-apa selain diem sampai akhirnya gue ketemu Kak Levi dan bisa ngobrol, bahkan makan sama dia. Jujur gue makasih banget sama Kak Levi karena hari itu dia bisa bikin gue nggak terlalu ngerasa kosong lagi."
Chika tersenyum kecut menanggapi dan beringsut mendekap erat Leta. Tak lupa mengusap punggungnya yang sudah tidak bergetar. "Ta, makasih ya udah mau cerita ke gue. Gue tau ini berat buat lo dan jujur gue nggak nyangka bokap lo sama Teza setega itu. Lo kuat banget ngehadapin ini dan gue bangga sama lo. Gue nggak bisa apa-apain bokap lo, tapi gue bisa labrak Teza. Liat aja nanti, gue bakal—"
"Sst, Chika!" Leta menarik diri dan menatap Chika dengan serius. Gadis itu menggeleng, tanda bahwa dia tidak setuju dengan gagasan sang sahabat. "Lo nggak perlu lakuin apa-apa buat bales Teza, Chik. Biar gue yang selesaiin semuanya sama dia."
"Tapi, Ta, gue kan yang nyomblangin kalian, gue ikutan ngerasa nggak enak dan nggak terima kalo akhirnya Teza kepelet Trisha lagi dan nyelingkuhin lo."
"Gue tau, Chik, tapi kan yang mutusin buat ngejalin hubungan ya kami berdua, jadi biar kami aja yang selesaiin semuanya sendiri, ya?"
Chika berniat menyanggah, tapi dia urungkan. Pada akhirnya Chika hanya mampu mengangguk, kendati dalam hati dia tetap berniat menemui Teza untuk mengungkapkan rasa kecewanya. Ya, dia harus bertemu Teza dan meminta penjelasan pemuda itu.