“Saya terima nikah dan kawinnya Chika Tasanee Suryadinata binti Airlangga Bagus Suryadinata dengan mas kawin uang satu juta rupiah dibayar tunai.”
Ayah melihat ke arah para saksi yang sengaja berkumpul demi akad nikah Chika dan Raka. Setelah para saksi menyatakan kalau ijab kabul yang dilafalkan Raka sah, seisi ruang rawat itu pun mengucapkan rasa syukurnya dan berdo’a. Oh, ralat! Tidak semuanya karena Chika justru tertunduk dan menahan tangisnya. Bukan tangis haru atau bahagia, melainkan tangis kesedihan.
Dua jam yang lalu, Chika kembali ke rumah sakit bersama Levi. Gadis itu menyatakan dengan lantang perihal kesediaannya menikah dengan Raka sebagai bentuk nazar atas keselamatan Eyang. Benar saja, begitu Eyang sudah melewati masa kritisnya, Chika langsung bilang pada Beliau kalau dia menerima perjodohan dengan Raka. Pada saat itu juga pernikahan mereka ditetapkan dan semuanya baru saja terjadi, yakni detik ini.
Awalnya tentu saja Chika dan Raka sedikit merasa keberatan karena itu semua dinilai terlalu cepat. Bayangkan saja, mereka baru benar-benar bertemu dan bicara pada hari ini, bahkan perjodohan keduanya juga baru diumumkan, tapi pada hari yang sama juga mereka harus menikah. Bukannya semua ini terdengar gila?
“Kami takut kondisi Surya memburuk jika pernikahan kalian ditunda terlalu lama, padahal Surya ingin menyaksikannya sebelum dia tiada,” kata Opa sebagai senjata untuk membujuk Chika dan Raka tadi dan ... berhasil. Siap tidak siap, Raka dan Chika pun melaksanakan ijab kabul di ruang rawat Eyang dengan seorang ustad serta beberapa dokter dan perawat sebagai saksinya.
Chika tersentak kaget saat Bunda menyentuh lembut lengannya, membuatnya menoleh. Bunda menyuruh Chika untuk mencium tangan Raka sebagai bentuk bakti seorang istri kepada suaminya. Masih terlalu syok dengan apa yang baru saja dialaminya, Chika pun hanya bisa menurut. Pikirannya yang masih kacau bahkan membuat Chika tak sempat mencerna momen di mana Raka menarik lembut kepalanya dan mendaratkan ciuman manis di dahi sebagai bentuk sayangnya sebagai seorang suami.
Hanya ada satu hal yang Chika sadari pada saat itu; dia sudah resmi menjadi istri seorang Rakanda Keenan Alaric dan itu artinya ia sudah mengkhianati Herjuno Adhyastha.
*****
“Wow! Pengantin baru sendirian aja nih? Suaminya mana, Neng?”
Selorohan yang terdengar seperti ejekan itu membuat Chika menoleh pada Levi dan berdecak kesal. Dia merubah posisinya yang saat ini sedang duduk bersandar di kepala ranjang menjadi berbaring miring membelakangi kakaknya lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh badan.
Saat ini Chika dan Levi memang sudah berada di rumah. Ayah dan Bunda berniat untuk menginap di rumah sakit, itu sebabnya mereka menyuruh Chika dan Levi pulang duluan. Mereka tidak tega membiarkan kedua buah hatinya tidur di rumah sakit. Padahal, Levi dan Chika juga sudah bilang kalau mereka tidak apa-apa tinggal sementara waktu di sana, tapi Ayah dan Bunda tidak mengizinkan.
Lantas, bagaimana dengan Raka dan Opa Alaric? Well, mereka juga kembali ke kediamannya sendiri. Kenapa Raka dan Chika tidak tinggal bersama? Keluarga mereka memutuskan untuk mendiskusikan lebih dahulu soal itu.
Levi terkekeh dan mengambil langkah untuk meninggalkan ambang pintu dan menghampiri Chika. Pemuda tampan itu duduk di pinggir ranjang tempat sang adik berbaring. “Lo tau, Chik? Gue masih nggak nyangka lho dilangkahi sama lo.”
“Berisik! Pergi sana, gue mau tidur!” Chika bangun dari posisinya dan mendorong-dorong badan Levi agar pergi dari kamarnya. Alih-alih memprotes tindakannya, Levi justru hanya bergeming sambil menatapnya dalam diam. Tatapan Levi yang terlihat penuh makna membuat Chika dilanda kegugupan dan menghentikan serangannya terhadap sang kakak.
“Apaan sih liatin gue kayak gitu? Lo tuh—“
“Kalo mau ngamuk ato nangis, lakuin aja, Chik! Nggak usah sok tegar gitu, muak gue liatnya.”
Kata-kata Levi cukup membuat Chika terkejut. Gadis itu mengerjap menatap Levi yang masih saja menatapnya cukup tajam. Tak lama kemudian, tangis Chika pun pecah. Dia memukul-mukul badan Levi sebagai pelampiasan atas perasaannya yang campur aduk saat ini. Tidak ada yang Levi lakukan selain diam dan menerima, sebab ia tahu hanya dengan cara itulah adiknya bisa merasa lega. Ia paham betul bagaimana kebiasaan adiknya itu kalau sedang dalam keadaan sangat marah atau sangat sedih.
Setelah dirasa pukulan Chika melemah, Levi pun menarik adiknya itu ke dalam pelukan. Dia membisikkan kata-kata agar Chika sedikit merasa tenang. Levi mengusap-usap kepala Chika penuh kasih sayang.
“Gue tahu, lo pasti sekarang lagi kesel banget, kan? Gak papa, nangis aja sepuasnya.”
Chika tidak menimpali. Seolah mengikuti perkataan Levi, gadis itu terus menangis sampai isakannya benar-benar berhenti beberapa menit kemudian. Setelah sedikit merasa lega, Chika pun menyeka air matanya dan menarik diri dari dekapan sang kakak.
“Tadi Juno nelpon dan tanya kenapa lo nggak bisa dihubungi, gue jawab kalo batre lo lowbatt dan lo udah tidur. Dia nanyain kabar Eyang gitu dan minta maaf karena belom sempet besuk. Teza juga sempet chat gue, tapi gue belum bilang apa-apa soal ijab kabul. Gue cuma bilang kalo Eyang udah nggak papa. Soal perjodohan dan ijab kabul ... gue rasa, lo yang yang lebih berhak jawab.”
Chika mengangguk menanggapi penjelasan Levi. “Pokoknya jangan bilang apa-apa dulu ke mereka. Biar gue aja.” Chika menjeda dan terdiam cukup lama. Gadis itu tampak berpikir sebelum kembali buka mulut, “Tapi, Kak ... gue nggak yakin bisa bilang ke Juno soal ini. Gue bahkan nggak bisa cerita soal perjodohan, apalagi ngasih kabar kalo sekarang gue udah nikah?”
“Ya udah, jangan cerita dulu kalo gitu. Lo tenangin diri dulu aja.”
Chika mengangguk dan menunduk sedih. Levi dengan setia mengusap bahunya untuk memberi efek ketenangan.
“Harusnya tadi kita ajak Juno sekalian aja ya ke rumah sakit? Kalo gitu kan gue nggak akan seberat dan sebingung ini mau nyampein ke dia soal perjodohan dan pernikahan gue,” ujar Chika beberapa detik kemudian. Dari nada suaranya tampak sekali kalau gadis ini mau menangis lagi.
“Dan biarin dia patah hati gitu? Lo tega liat dia hancur, hm?”
“Tapi seenggaknya Juno tahu semua itu nggak dari mulut gue langsung, Kak! Kalo gue yang nyampein secara langsung, gue yang nggak tega.” Chika kelihatan frustrasi. Kekalutan tampak menyelimuti gadis cantik itu.
Levi sudah hampir membuka mulutnya untuk kembali menimpali, tapi pemuda itu terlebih dahulu mengatur napas agar nada bicaranya tidak meninggi. Dia menyarangkan kedua tangannya di bahu sang adik. Menatapnya dalam diam dengan waktu yang tidak bisa dibilang sebentar dan berkata, “Chik, harusnya tadi lo nggak perlu nerima perjodohan dan pernikahan itu kalo emang belum siap. Liat sendiri kan sekarang akibatnya? Lo yang tersiksa.”
“Habisnya gue takut, Kak. Gue takut nggak bisa ngejalani wasiat Eyang. Lo tau, kan gimana sayangnya gue sama Eyang? Dan lo pikir gue bakal tega gitu nolak keinginan Beliau? Enggak, Kak.”
Levi menghela napasnya dan mengangguk. “Gue tau kok. Tau banget malah.” Pemuda itu pun mendengus dan seketika tampak kesal. “Tapi sumpah ya, sebenarnya gue nggak terima banget lo nikah sama Raka. Gue bener-bener nggak sudi iparan sama dia.”
Melihat kekesalan Levi yang tampak janggal di matanya membuat Chika memicing curiga. Gadis itu bertanya, “Kayaknya lo benci banget ya sama Raka? Kenapa sih?”
Bukannya jawaban yang ia terima, Levi justru berdecak. “Bukan urusan lo!” Levi bangkit dari tempat tidur dan hendak keluar dari kamar bernuansa biru pastel itu, namun dengan cepat Chika menarik tangannya agar tetap tinggal.
“Ih, jawab dulu pertanyaan gue!”
“Nggak mau! Males gue bahasnya.” Levi masih berusaha menarik tangannya dari kuasa Chika, tapi adiknya itu masih bersikukuh tak mau melepaskan. “Chika lepasin!”
Chika menggeleng tegas. “Jawab dulu baru gue lepasin! Hayo ngaku, ini pasti soal cewek, kan?! Ngaku deh!” Gadis cantik itu menggoda Levi yang kini tampak sedikit panik.
Sambil menghela napas sedikit kasar, Levi akhirnya menjawab, “Iya ini soal cewek, puas?!”
Jawaban Levi membuat Chika seketika tertawa terbahak-bahak. Gadis itu seolah lupa pada kesedihan yang beberapa saat lalu menyambangi benaknya. Di tengah derai tawanya, ia bertanya, “Pantesan aja ya lo itu dari tadi kalo liat tuh cowok bawaannya kayak mau ngebunuh dia. Cewek lo direbut Raka ato gimana? Katanya kan dia itu pencekor di kampus, alias perebut cewek orang.”
Levi berdecak. “Kepo banget sih lo? Udah ah, gue ngantuk mau tidur.”
“Yah, mau ke mana? Jawab dulu dong!” Chika berusaha menarik tangan Levi lagi, tapi kali ini pemuda itu dengan sigap menghindar. Chika tak gentar, dia terus membujuk kakaknya agar mau bicara, tapi Levi tetap memilih bungkam. Akhirnya, Chika pun membiarkan Levi keluar dari kamarnya.
Selepas kepergian Levi, Chika kembali dilanda sepi. Pandangannya pun terantuk pada ponsel di atas nakas yang sedang dalam keadaan mati. Ia menghembuskan napas lesu. Sampai kapan dia harus menghindar dari Juno? Pertanyaan itu terus menghantui benaknya sepanjang malam.
*****
Raka duduk di sofa ruang tamu apartemen sambil menatap nanar isi dompetnya. Di dalam sana, ada uang tunai berjumlah satu juta rupiah yang baru kemarin ditariknya dari ATM. Sebenarnya, kemarin sebelum Leon datang ke apartemen, dia baru saja pulang dari minimarket untuk menarik uang. Uang itu adalah sisa uang bulanan yang sengaja ia ambil lebih awal karena dia malas jika harus mengambil lagi di lain hari.
Sayangnya, uang itu bukan lagi milik Raka, tapi sudah jadi milik Chika. Kemarin saat ijab kabul ia menjadikan uang bulanannya sebagai mas kawin bagi gadis itu. Raka tidak tahu kalau apa yang sudah dijadikan sebagai mas kawin tidak boleh dipakai oleh mempelai pria. Tadi malam setelah mereka pulang dari rumah sakit, Opa baru memberitahunya soal itu. Beliau mewanti-wanti Raka agar tidak menggunakan uang itu sepeser pun.
Sekarang, Raka menyesal telah menyerahkan semua sisa uang bulanannya sebagai mas kawin.
“Daripada duit itu kamu pelototin terus, mending buat beli cincin deh, Rak,” Opa berseloroh sambil menghempaskan pantatnya di samping Raka duduk. Secangkir kopi panas menemani sosok yang masih terlihat awet muda itu. Beliau sengaja menginap di apartemen Raka untuk mengawasi gerak-gerik sang cucu.
Perlahan Raka menoleh menatap Opa yang sedang meminum kopinya dengan santai. Dengan nada datar dia bertanya, “Terus kebutuhan aku gimana? Aku yakin, Opa juga nggak mau kan ngirim uang bulanan lagi?”
Opa mengangkat bahunya tak acuh. “Kamu kan bakal tinggal bareng lagi sama Opa, jadi—“
“Tunggu, Opa! Bukannya kita udah bahas ini?” Raka menukas cepat. “Opa udah janji ngizinin aku tinggal sendiri—“
“Tapi sekarang keadaannya udah berubah, Raka. Kamu udah nikah. Kamu pikir, kami tega membiarkan kalian tinggal berdua aja dengan kondisi ekonomi yang belum mapan seperti ini?”
“Jadi aku sama Chika harus tinggal bareng?”
“Ya jelas dong! Kalian itu kan sudah sah suami-istri, jadi harus tinggal bareng supaya kalian juga bisa saling mengenal lebih dalam lagi.”
“Dan kami bakal tinggal di rumah Opa?”
Opa mengangguk. “Bagaimanapun, seorang istri harus tinggal di rumah suaminya. Rumah itu bukan hanya rumah Opa, tapi rumah kita. Rumah kamu dan rumah Armand juga.”
Raka tidak menimpali lebih lanjut. Pemuda itu hanya bisa diam menerima semua yang Opa sampaikan padanya. Sebenarnya Raka tidak menyukai ide itu, tapi kalau dipikir-pikir, Opa ada benarnya juga. Sekarang, statusnya sudah bukan lagi seorang bujangan yang hanya bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Dia adalah seorang lelaki beristri yang hidupnya masih belum mapan.
Ya Tuhan ... kalau tahu kejadiannya akan begini, harusnya sejak awal Raka tidak usah menerima perjodohan dan pernikahan yang serba mendadak ini, kan? Sayangnya, nasi telah menjadi bubur. Percuma saja jika baru disesali sekarang.
“Habis ini kamu siap-siap! Kita ke rumah Chika,” ujar Opa sambil bangkit dari sofa. Kopi yang sejak tadi dinikmatinya sudah habis tak bersisa.
“Mau ngapain?” Raka bertanya. Dia masih betah duduk di tempatnya sambil menatap Opa penasaran.
“Jemput Chika buat beli cincin kawin lah! Udah, ayo cepet!”
Raka hanya bisa menghela napasnya sebelum bangkit dari sofa, berusaha sabar menghadapi sikap Opa yang kadang membuatnya harus mengelus d**a.
*****
Chika sarapan dengan tidak berselera. Gadis cantik itu sejak lima menit ini hanya sibuk mengaduk-aduk bubur ayamnya. Sebenarnya, Chika menganggurkan makanannya bukan hanya karena tidak nafsu, tapi juga karena dia sedang bicara dengan Leta via ponsel.
“Tapi lo udah hubungi dia, kan?” Leta bertanya di ujung sambungan. Gadis bernama lengkap Athaleta Clairine itu sudah Chika beritahu soal pernikahannya.
Dengan bodohnya Chika mengangguk, padahal sudah jelas kalau Leta tidak dapat melihatnya. Namun, perempuan bersurai panjang itu tetap menjawab, “Tadi gue udah chat Juno biar dia nggak nyariin gue dulu selama beberapa hari ini. Gue sih bilangnya ini karena Eyang. Untungnya dia bisa ngerti, tapi ya itu ... dia tadi sempet ada niatan mau jenguk. Gue bilang aja kalo Eyang lagi nggak bisa dijenguk sama banyak orang.”
Leta terdiam setelah mendengar penjelasan panjang yang Chika lontarkan. Beberapa detik kemudian, terdengar helaan napas dari gadis itu. “Terus mau sampe kapan lo rahasiain ini semua dari Juno?”
Chika menghela napas cukup panjang. Gadis itu sibuk berpikir kapan dia siap membeberkan semua kebenarannya kepada Juno. Masalahnya, dia tahu kalau semakin memikirkannya maka dia tidak akan pernah siap. Dia masih menyayangi Juno dengan sangat. Chika tidak ingin kehilangan pemuda yang sudah dipacarinya selama hampir dua tahun itu.
“Chik, lo tau kan kalo lo nggak bisa rahasiain ini selamanya? Gimanapun juga, Juno harus tahu kalo sekarang lo udah resmi—“
“Iya, Ta. Gue paham itu kok. Gue ngerti banget. Tapi tolong, biarin gue nyiapin mental dulu, ya? Gue janji, gue pasti bakal jujur sama Juno kok, entah kapanpun itu. Dan plis banget, lo jangan bilang apa-apa dulu ke Teza, ya? Lo tau sendiri, kan gimana bocornya dia kalo udah ketemu Juno?”
“Iya, lo tenang aja. Gue nggak akan bilang ke siapa-siapa soal pernikahan lo kok.”
Chika tersenyum lega. “Makasih banyak, Ta. Lo itu emang sahabat terbaik gue deh.”
“Iya, sama-sama. Ya udah, gue tutup. Bye!”
“Bye!”
Usai berbincang dengan Leta, Chika pun melanjutkan ritual makannya walau dengan sedikit terpaksa. Sungguh, sebenarnya Chika sedang tidak nafsu sama sekali, tapi berhubung dia sendiri yang meminta Bik Inah dibelikan bubur ayam, jadi mau tidak mau ia harus menghabiskannya. Hitung-hitung menghargai apa yang telah asisten rumah tangganya itu lakukan untuknya.
Akhirnya, bubur ayam Chika habis juga. Gadis itu segera membawa peralatan makannya ke wastafel dan mencucinya. Chika sudah mau bergegas ke kamarnya yang berada di lantai dua, tapi panggilan Bik Inah membuat langkahnya terhenti di ambang pintu dapur.
“Non, ada yang nyari tuh di depan.”
Chika tampak penasaran. “Siapa, Bik?”
“Namanya Pak Alaric sama Den Raka.”
Tepat setelah kedua nama itu disebut, netra Chika langsung membulat. Tampak sekali kalau gadis itu kaget setengah mati.
“Mereka mau ngapain di—“
“Selamat pagi, Chika!”
Sapaan itu sukses membuat Chika berjengit saking kagetnya. Dia menatap horor Opa Alaric yang sudah berdiri kurang dari dua meter dari tempatnya berdiri saat ini sambil menampilkan senyum lebar.
Tak ingin mengganggu, Bik Inah pun meninggalkan Chika dan Opa Alaric berdua saja.
“P-Pagi Opa ....” Chika buru-buru menghampiri Opa dan mencium tangannya. Kelihatan sekali dari gerak-geriknya kalau gadis itu gugup. “Kok pagi-pagi Opa udah di sini? Ada apa, Opa?”
Lelaki paruh baya itu terkekeh sebentar sebelum menjawab, “Kok kamu nanyainnya cuma Opa sih? Raka nggak kamu tanyain nih?”
“Eh?”
Opa mengibaskan tangannya. “Itu, si Raka mau ajak kamu pergi.”
“Pergi?!” Nada bicara Chika yang refleks naik satu oktaf membuat Opa menatapnya kaget. Chika buru-buru menetralkan nada bicara dan ekspresi wajahnya. “E-Emangnya, Raka mau ajak aku ke mana, Opa? Aku sama Kak Levi kan mau—“
“Mau ke rumah sakit, kan? Iya nanti habis kamu pergi sama Raka, kalian langsung ke rumah sakit kok. Opa biar berangkat duluan sama Levi.”
Skak mat! Chika sudah tidak bisa mengelak lagi. Dia menatap senyum lebar dan antusias Opa dengan wajah cengo. Dalam hati tak henti-hentinya merutuki nasib sialnya pagi ini yang harus bertemu dan berduaan saja dengan Raka. Ya Tuhan ... bahkan Chika tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya nanti. Pasti canggung sekali, bukan?
Akhirnya, Chika pun pamit ke kamar untuk siap-siap dulu sementara Opa kembali menemani Raka di ruang tamu. Hanya perlu merapikan penampilannya sedikit dan mengambil tas, Chika pun turun dari lantai dua. Rupanya, di ruang tamu juga sudah ada Levi yang berpenampilan rapi.
“Eh, udah cantik aja nih istri orang! Tuh, suaminya udah nunggu di mobil.”
Celetukan Levi yang menyebalkan sukses membuat Chika dilanda kesal. Gadis itu melotot sambil mengangkat sebelah tangan, hendak memukuli Levi, tapi ditahannya. Alih-alih melampiaskan rasa kesalnya terhadap sang kakak, Chika memilih untuk berpamitan pada Opa.
“Opa, Chika pergi dulu, ya?” ujar Chika dengan nada manis. Dia sedikit melirik Levi dan segera menghadiahi lelaki yang tengah menahan tawanya itu dengan pelototan tajam.
“Have fun, ya!”
Chika hanya membalas dengan senyum canggung dan keluar dari rumahnya. Dia menghampiri sebuah mobil Audi yang ia yakini sebagai mobil Opa atau Raka dan masuk ke sana. Tanpa basa-basi dia mencecar Raka dengan pertanyaan, “Lo mau ajak gue ke mana sih?” Nada bicara dan raut wajah Chika tampak kesal.
Alih-alih menanggapi, Raka memilih untuk segera melajukan kuda besinya. Selama beberapa detik Raka hanya diam dan ketika Chika sudah mau membuka mulut untuk melontarkan pertanyaan lagi, dia menjawab, “Beli cincin kawin.”
“Cincin kawin?”
“Iya, beli cincin dari duit mas kawin kemarin. Kata Opa apa yang dijadikan mas kawin harus sepenuhnya dikasih ke mempelai cewek. Opa nyuruh buat dibeliin cincin aja sebagai tanda pengikat.”
“Terus belinya harus banget sama gue, ya?”
Raka mendengus. “Ini juga Opa kok yang nyuruh, bukan gue sendiri yang minta.”
Chika mengerucutkan bibirnya sebagai respon. Gadis itu hanya terdiam setelahnya. Di tengah keterdiamannya, tiba-tiba Chika teringat sesuatu. “Eh, lo nggak cerita ke siapapun kan soal yang kemarin? Gue nggak pengin ada yang tahu kalo kita ....”
Sambil tetap fokus menyetir Raka menjawab, “Nggak kok, tenang aja. Lagian, buat apa koar-koar?”
“Bagus deh kalo gitu! Gue juga nggak bilang ke siapapun kok kecuali Leta. Gue bahkan nggak bilang ke sahabat gue, Teza soalnya dia sefakultas sama—“
“Cowok lo?”
Chika langsung menoleh terkejut menatap Raka yang masih setia menatap depan. “Kok lo tahu?”
“Tadi Levi yang bilang ke gue kalo lo udah punya cowok. Kakak lo ngatain gue pencekor sejati karena sampe urusan perjodohan aja gue masih nyuri cewek orang.”
“Bentar deh, lo sama Kak Levi tuh ada masalah apa sih sebenarnya? Kok kayaknya dia benci banget sama lo.”
Raka mengangkat bahunya. “Mana gue tahu? Tanya aja sendiri sama dia. Yang jelas, dia udah bersikap begitu sejak SMP. Sejak Audrey ngenalin gue ke dia.”
“Kak Drey? Lho, jadi lo itu ... pfft! Hahaha!” Chika tertawa terbahak-bahak. Sungguh, dia tidak menyangka kalau selama ini Raka-lah pacar pertama Audrey. Ya, dia ingat sekali dulu waktu masih SMP Levi itu sering uring-uringan karena Audrey punya pacar untuk pertama kalinya. Chika sudah tahu kalau kakaknya sudah menyukai Audrey sejak lama, jadi ia asumsikan kalau saat itu pasti Levi sedang dilanda cemburu.
Ya gimana nggak cemburu, orang cowoknya aja lebih ganteng dari lo, Kak! Chika membatin.
Tawa Chika yang tampak heboh membuat dahi Raka berkerut dalam, tapi pemuda tampan itu memilih untuk mengabaikan daripada melisankan pertanyaan. Percuma saja, karena menurutnya itu tidak penting.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah toko perhiasan. Begitu mobilnya terparkir sempurna, Raka langsung menyuruh Chika turun. Raka berjalan lebih dulu masuk ke toko, sedangkan Chika menyusul di belakangnya.
“Sana pilih!” Raka berujar sambil menduduki sofa. Pemuda itu mengeluarkan ponselnya dan mulai sibuk dengan benda persegi panjang itu. Sikapnya membuat Chika melongo tak percaya.
“Kok gue yang milih? Ya lo lah! Lo kan yang ajak gue ke sini?”
“Cincinnya kan buat lo, jadi lo lah yang milih. Gue ke sini cuma buat bayarin aja.”
Chika tertawa sinis melihat sikap menyebalkan Raka. Akan tetapi, gadis itu tak mau kalah. Sebuah ide terlintas di otaknya. Dia bersedekap sambil berujar, “Oh, gitu? Oke, kalo gitu gue mau pilih yang paling mahal aja deh, biar—“
“Lo gila?” Raka refleks menghentikan kegiatannya dengan ponsel guna menatap Chika. Dia bertukar tatapan sinis dengan perempuan yang masih berdiri bersedekap di hadapannya. Tanpa basa-basi, Raka pun bangkit dari sofa dan menghembuskan napas beratnya.
“Ya udah, ayo!”
Yes! Chika bersorak dalam hati ketika Raka berjalan mendahuluinya menuju etalase. Chika mengekor sesaat kemudian.
Raka tampak sibuk menanyai pegawai toko cincin mana saja yang sesuai dengan budget-nya. Setelah si pegawai memberitahunya, pemuda itu bertanya pada Chika mana sekiranya yang ia suka, tapi jawaban gadis itu justru membuatnya frustrasi.
“Bisa nggak sih lo jawab selain ‘mana aja boleh’? Gue pusing nih milih sendirian.”
“Ya udah sih pilih aja yang menurut lo sesuai sama gue. Gue nggak biasa milih cincin, jadi gue nggak tahu mau yang kayak apa.”
Raka sudah mau melisankan kembali kata-kata, tapi si pegawai toko menyela pada waktu yang tepat sehingga berhasil menghentikan perdebatan sepasang pengantin baru itu. “Maaf, Mas, Mbak, kalau tidak keberatan, saya bisa memberi saran cincin mana yang cocok untuk Mbak.”
“Nah, tuh! Mbak-nya aja mau milihin kok, kenapa malah lo yang ribet sih?” Chika mendengus sambil menatap Raka dengan tatapan galak. Raka membalasnya dengan tatapan galak juga.
Pegawai toko pun memilihkan cincin-cincin yang sekiranya cocok untuk Chika. Beberapa kali Chika tampak menolak saran Mbak Pegawai Toko karena berbagai pertimbangan. Raka yang sudah merasa kesal pada gadis itu hanya bisa diam dan jadi pengamat. Tadi aja ditanyain pendapat sama gue nggak mau jawab, sekarang sama Mbak-nya malah keliatan antusias! omelnya dalam hati.