“Eh Rina, ngomong-ngomong terima kasih ya? Kamu sudah bantu aku kemarin.”
“Tidak menyangka sih, Bidan langganan mertua gue, ternyata elu. Gue bagus ‘kan, akting pura-pura pingsan kayak kemarin? Ahlinya dong gue kalau soal itu. Dulu gue selalu gunakan senjata ini, supaya keluarga gue menyalahkan Mita dan membencinya.”
“Parah banget lu Sin! Gak menyangka gue lu tetap kayak dulu. Kasihan kakak ipar lu, dibenci gara-gara ulah lu, adik ipar laknat!”
“Dunia begitu sempit ya Rin? Hebat kamu jadi Bidan sekarang. Kita ketemu di sini.”
“Kebiasaan mengalihkan. Lama-lama gue pites lu, tengil banget kek kutu!”
omel Rina.
“Eh kok jadi lu gue sih, kebiasaan.”
“Kamu nekat banget sih jadi orang? Untung mertua kamu percaya saja alasan aku ya, kalau kamu kekurangan HB,” sahut Rina sembari menatap sahabat lamanya yang masih tetap seperti dulu.
“Mau bagaimana lagi Rin? Enak banget tuh mamanya Aldo perintah-perintah aku terus. Dikiranya aku ini pembantu apa? Iya kali aku menurut terus? Aku bukan si Mita ya?”
“Eh masih saja kamu benci sama kakak iparmu itu Sin?”
“Ya iyalah. Tidak ada gunanya punya saudara macam si Mita itu. Apa enaknya, sih? Sudah miskin, belagu, bisanya menyusahkan saja. Menikah susah bertahun-tahun, baru juga setahun ini dia punya anak. Dih mana jelek lagi anaknya. Kayak anak aku nanti dong pasti bakalan cakep, nah lihat mamanya saja, secantik ini.”
“Itu ponakan kamu sendiri lho.”
“Ah serah kamu aja Sin. Kasihan banget kakak iparmu punya adik ipar laknat kayak kamu. Kalau aku jadi mbak Mita, sudah aku kasih kopi kucampur sianida, buat kamu.”
“Lebih kasihan lagi sekarang mertua kamu, punya menantu licik juga pemalas. Bisa-bisanya dibohongi sama kamu?”
“Bodohnya lagi, mereka jadi berubah baik sama aku. Tiba-tiba mereka jadi baik, ‘kan aneh? Apalagi pas aku bangun, sudah disiapkan rendang daging, sama Alpokat, itu ‘kan makanan kesukaan aku semua Rin. Ibuku dulu sering memasaknya untukku. Alpokat biar mahal, kalau ke toko buah, ibu selalu membawakan oleh-oleh buah favoritku itu.”
“Harus licik. Kalau tidak begitu bakalan diperas habis-habisan tenaga aku, Rin.”
“Asli parah banget lu jadi mantu Sin, soal tenaga saja kamu hitung-hitungan, apalagi soal uang, tapi kalau sampai ketahuan habis kamu bisa langsung di talak 3.”
“Mendoakan aku cerai kamu, Rin? tega amat kamu sama sahabat sendiri.”
“Tidak akan ketahuan, kecuali kamu yang ngelapor sama mereka.”
“Ya sudah deh, nanti aku kasih tahu mertuamu bagaimana keadaan kamu yang sebenarnya, biar kamu di suruh-suruh lagi.”
“Enak saja, langsung kupecat jadi sahabatku kamu, Rin.”
“Aku itu hanya mau santai dan tiduran kayak di rumah ibuku. Di rumah mertuaku, semua pekerjaan harus aku selesaikan. Aku ‘kan jadi kesel Rin. Sekarang mah masa bodoh, mau mertua gue ngapain aja d rumah, gue cukup melihat saja. Tidak mau turun tangan. Nanti tanganku yang cantik ini bisa tambah kasar dan rusak.”
“Tapi aku akui Sin, kamu bukan kekurangan HB, tapi tekanan darahmu rendah kemarin itu. Makanya kamu sering tiba-tiba pusing. Aku terpaksa bantu kamu, aku kira mertuamu jahat beneran, tahunya kamu yang menipuku, Sin. Dasar sahabat tidak ada akhlak,” gerutu Rina kesal.
“Terima kasih ya berkat bantuanmu, aku tak lagi jadi babu.”
“Aku merasa berdosa Sin, sudah bohong sama mertua dan suami kamu.”
“Santai saja Rin! Mereka yang memulai, aku kerjai balik lah.”
“Bu Ati itu baik lho Sin, entar menyesal kamu sudah sia-siakan mertua kamu.”
“Baik apanya Rin, sudah tahu aku hamil, disuruh-suruh kayak pembantu. Ibuku saja tidak begitu.”
“Lah memangnya kamu disuruh apa sama Bu Ati, kok sampai segitunya kamu marah sama ibu mertuamu itu?”
“Banyak Rin, mulai dari mencuci pakaian, membantu memasak, mencuci piring, parahnya lagi suruh menyapu halaman yang luasnya kek luas sawah bapak gue, coba apa tidak keterlaluan?”
“Walah itu Mah pekerjaan hari-hari perempuan Sin. Kira di si suruh apa? Lu malas banget sih jadi orang? Dari dulu begitu. Sekarang ‘kan kamu sudah jadi istri orang Sin, itu pekerjaan sudah semestinya kamu kerjakan.”
“Lah lu kan tahu Rin, gue dulu dimanja sama ibu gue. Masak setelah nikah langsung jadi babu di Rumah mertua?”
“Bukan babu Sin, itu keharusan. Masa iya, ikut mertua mau enaknya saja? Jangan sama kan mertua sama orang tua kamu sendiri! Mereka berbeda, Sin.”
“Lah kamu belum nikah sok juga menasihati Rin. Nanti setelah menikah baru kamu mengeluh.”
“Kenapa mesti mengeluh Sin? Semua yang kamu sebutkan itu, pekerjaan hari-hari aku. Walaupun aku pemilik klinik dan rumah sakit yang tersebar di berbagai kota, tapi aku tetap melakukan pekerjaan itu Sin. Aku ada asisten rumah tangga untuk bantu jaga ibuku saja pas aku kerja. Pas aku pulang, dia juga pulang ke rumahnya.”
“Itu kan lu Rin, gue mah gak terbiasa. Nanti aku mau minta mengontrak saja sama mas Aldo. Tidak sanggup kalau harus serumah sama mertua gue yang rese itu.”
“Kalau sudah mengontrak terus kamu malas, sama saja bohong Sin, nanti suami kamu cari perempuan lain baru tahu rasa.”
“Tidak akan. ‘Kan nanti mau cari pembantu rumah tangga, ya kali aku yang mengurus pekerjaan rumah? Jadi aku bisa mengawasi mas Aldo 24 jam Rin.”
“Terserah kamu saja Sin. Semoga suami kamu betah bertahan sama istri macam kau ini.”
“Gue punya modal parah cantik, dan bodiku, bisa kamu lihat sendiri ‘kan? Tidak bosan dipandang.”
“Lah lu pikir suami kamu hanya butuh itu? Selain kamu harus puaskan matanya, dan kamu puaskan dia di atas ranjang, jamu juga harus kenyangkan perutnya. Karena semua pekerjaan bisa diselesaikan kalau perut kenyang.”
“Lah ‘kan ada pembantu yang kerjakan. Jadi aman dong posisi gue, menikmati hidup.”
“Nah lihat tangan gue Rin! Baru juga hitungan bulan ikut mertua sudah begini. Padahal tangan gue dulu mulus banget.”
Sinta memperlihatkan tangannya yang sedikit kasar pada sahabat itu.
“Iya sudah Rin, aku pulang dulu. Nanti mertuaku yang rese itu curiga lagi.” lain kali kita sambung lagi acara gibah kita. Awas ya, jangan laporan sama mertua dan suami gue?"
"Ya sudah sana pulang! Capek juga aku dengaran curhat menantu licik ini. Menantu langka di dunia."
"Ah, lu kalau ngomong suka benar Rin. Aku pulang Rin, kamu. Sekali lagi makasih loh, ya?"
"Iya, sama-sama Sinta."
Sinta pun pulang dengan perasaan lega. Entah apa yang memasuki pikirannya? Sinta begitu tega membuat kebohongan, demi terhindar dari pekerjaan rumah tangga yang telah ibu mertuanya perintahkan.