BAB 11

1242 Kata
“Kenapa? Mau menangis? Cuma begitu saja nangis. Jangan cengeng dong Sin!” celetuk Aldo. Ia sama sekali tidak ada niat mendekati wanita yang sekarang sudah sah menjadi istrinya. Sejak ia tahu kelakuan jahat istrinya itu, rasa cinta dan simpatinya terkikis tanpa sisa. “Mas, aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu diam saja? Seharusnya kamu beri tahu mamamu jangan semena-mena sama aku! Aku ini anak kesayangan di keluargaku, Mas. Semenjak di sini, kalian semena-mena sama Aku. Pulangkan aku saja Mas ke Rumah bapakku!” ***** “Eh ngapain masih berdebat, cepat bantu Ibu masak! Ini sudah siang Sinta. Ibu ‘kan sudah bilang, selesai cucian piring langsung bantu Ibu masak,” sela bu Ati. “Bu, kembalikan aku, Bu! Aku mau pulang. Aku tidak betah di sini. Kalian tidak menyayangiku seperti layaknya seorang menantu di sini.” “Jangan ngadi-ngadi Sin! Ayo cepat bantu Ibu masak! Kamu harus belajar semua pekerjaan rumah mulai sekarang! Sekarang kamu bukan lagi anak gadis, kamu sudah bersuami. Ingat, aku bukan ibumu yang selalu bisa memanjakanmu. Selama tinggal sama Ibu di sini, kamu harus bisa mandiri. Tidak ada lagi Sinta yang manja. Buang jauh-jauh kebiasaan lama kamu!” Tak ada lagi protes yang Sinta suarakan. Ia langsung mengekori bu Ati menuju ke dapur. ***** [Assalamualaikum, Tante. Bagaimana dengan Sinta Tante? Apa dia ada membuat onar selama tinggal sama Tante?] Ting Pesan terkirim pada mama mertuanya Sinta. [Waalaikumsallam Mita. Tidak Mita, dia hanya mengeluh saat Tante mengajarkan dia pekerjaan ibu rumah tangga.] [Syukurlah Tante, tolong jangan terlalu menekan dia ya Tante! Biar bagaimana pun sekarang dia sedang hamil. Dia tidak boleh stres dan kelelahan.] [Mulia sekali hatimu! Dia yang dulunya menyakitimu tanpa memikirkan perasaan kamu. Dia yang dulu memperlakukan kamu layaknya pembantu bukan seorang kakak yang seharusnya dia hormati, sekarang kamu masih peduli dan memikirkan kebaikan untuk adik iparmu itu. Semoga Allah memberikan kamu kebahagiaan ya Mita?] [Tenang saja Mita, Tante tidak sejahat ibu mertuamu. Tante hanya mau dia berubah lebih baik. Sinta yang pemalas, Sinta yang jahat, Sinta yang tidak tahu tata krama dan sopan santun, akan Tante perbaiki semampu Tante.] [Biar bagaimana pun dia juga adikku Tante. Aku juga tak tegak kalau dia menderita. Aku sudah ikhlas memaafkan semua kesalahan Sinta Tante. Mita titip Sinta ya, Tante? Tolong jaga dia! Terima kasih atas doanya Tante, semoga Tante juga selalu diberikan kebahagiaan.] [Terima kasih Tante, semoga dengan tinggal bersama Tante, mendapat didikan yang selama ini tidak diberikan orang tuanya, membuat Sinta sadar dan memperbaiki dirinya menjadi lebih baik.] [Baik Mita. Iya sudah, Tante lagi ada kesibukan ini. Nanti disambung lagi di lain waktu.] [Iya Tante, terima kasih.] [Sama-sama.] “Ke mana Sinta? Ibu kangen sama Sinta,” ucap Bu Lina saat Mita hendak menyuapinya makan. “Ibu kangen sama Sinta? Nanti dia akan ke sini Bu, sekarang Ibu makan dulu, ya?” Mita menyuapi ibu mertuanya dengan sabar. “Mam,” Rival yang belum lancar berbicara, melihat neneknya makan pun mau makan juga. “Rival mau makan, sayang? Tunggu ya? Ibu suapi nenek dulu sampai selesai, baru setelah itu Ibu suapi Rival.” Balita berusia satu tahun lebih itu dengan pintarnya menunggu sang ibu, sembari bermain. ****** “Sinta, makan dulu, sudah siang! Setelah itu mandi dan beristirahatlah. Nanti sore sapu halaman depan! Sudah banyak dedaunan kering yang menumpuk di sana.” “Halaman rumah Ibu luas, masa Sinta juga yang harus membersihkannya? Ibu saja, Sinta capek.” “Capeknya hilang kalau sudah istirahat. Kalau bukan kamu siapa lagi yang membersihkan? Ibu sudah tidak kuat menyapu halaman. Biasanya Ibu bayar orang buat membersihkannya. Sekarang sudah ada kamu, malu Ibu. Masa punya menantu masih mau nyuruh orang?” “Ibu lama-lama menjengkelkan. Sudah Sinta bilang, Sinta tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan di rumah Bu. Tolonglah, Bu! Sudah sejak pagi Sinta disibukkan sama pekerjaan. Biasanya Sinta hanya duduk manis saja di rumah,” rengeknya seperti bocah minta dibelikan mainan. “Sudah Ibu katakan di sini kamu itu menantu, masa kamu mau ongkang-ongkang kaki saja. Sedangkan Ibu yang mengerjakan semua pekerjaan. Kamu contohlah kakak ipar kamu itu! Sudah baik, rajin, Mita itu termasuk menantu idaman Ibu.” “Kok Ibu malah bandingkan Aku sama mbak Mita sih? Dia rajin, karena dia terbiasa hidup susah, Bu. Lain sama Aku. Hah apa menantu idaman? Aku ini baru bisa di bilang menantu idaman, Bu. Sudah cantik, kaya, tidak malu-maluin kayak mbak Mita.” “Ya sudah Ibu saja yang makan! Sinta mau tidur saja. Sudah tidak nafsu lagi mau makan. Sinta sudah kenyang mendengarkan ceramah Ibu.” “Sinta! Jangan bikin darah tinggi Ibu kumat, ya? Dengarkan Ibu! Ini demi kebaikan kamu juga Sinta.” “Ibumu memang selalu memanjakan kamu, memberi apa saja yang kamu inginkan, tapi dia tidak membekali kamu ilmu yang bermanfaat. Ilmu dalam berumah tangga. Apa saja yang harus kamu lakukan setelah menikah? Ibu kamu tidak memberikan itu sama kamu.” “Ayo, makan! Kalau kamu sakit, nanti Ibu yang disalahkan sama keluarga kamu. Kamu itu harusnya bersyukur, punya mertua seperti Ibu. Bayangkan saja kalau mertua kamu seperti Ibu Kamu! Memperlakukan menantu seenaknya.” “Ibu hanya mengajarimu, supaya kamu paham tugas kamu sebagai seorang istri sekaligus menantu. Jadi kamu tidak perlu marah Sinta!” Dengan wajah ditekuk Sinta akhirnya kembali duduk di meja makan. “Iya-iya Bu Sinta makan. Jangan cerewet Bu! Pusing Sinta mendengarkan ceramah terus. Tidak usah bawa-bawa ibuku, Bu! Mau ibuku jahat sama menantunya, mau apa pun yang ibuku lakukan, tidak usah dibawa-bawa! Toh Ibu harusnya berkaca dulu! Ibu saja juga jahat sama aku.” “Kemarin Ibu ngomong Sinta harus berkaca dulu. Sekarang berkaca dulu Bu, sebelum menghina ibuku!” “Berbicaralah yang sopan Sinta! Aku ini Ibu mertuamu, bukan teman sebayamu. Belajarlah menempatkan diri Sinta! Kamu sudah bukan anak kecil lagi.” “Makanya Bu, tidak usah menghina ibuku! Dari kemarin selalu bawa-bawa ibuku. Mertua jahatlah, apalah? Ibu sendiri juga bukan mertua yang baik, jadi tidak usah sok begitu, Bu!” “O iya, mana uang bulanan dari mas Aldo, Bu? Kata mas Aldo ibu yang pegang. Aku ini ‘kan istrinya, Bu. Aku lebih berhak.” “Urusan uang akan Ibu berikan sama kamu, setelah kamu lolos ujian yang Ibu berikan. Kalau sekarang Ibu berikan uang ini, yang ada hanya kamu pakai buat foya-foya seperti sebelumnya.” “Aldo itu kerja pakai tenaga, bukan pakai tuyul. Seharusnya kamu bisa menggunakan uang yang Aldo berikan dengan baik. Tapi kamu malah foya-foya. Beli pakaian terus, padahal bajumu sudah penuh itu di Almari. Beli ponsel terbaru, padahal ponsel lama kamu masih sangat bagus.” “Ya suka-suka Sinta lah Bu, kok ibu protes sih. Uang yang sudah mas Aldo kasih, mau aku gunakan untuk apa pun? Itu terserah aku, Bu. Ibu tidak berhak melarang.” “Selalu saja menjawab kalau Ibu beritahu. Sekali-kali menurut kata Ibu, apa tidak bisa, Sin? Sekali saja saat Ibu beri nasehat itu di dengarkan, dan diresapi!” “Jangan tahunya hanya melawan, menjawab, dan tidak menerima nasihat Ibu dengan baik. Ini semua demi kebaikan kamu. Ibumu, bapakmu, mereka tidak selamanya ada bersama kamu. Kalau kamu manja terus, nanti bakalan kelabakan ditinggal mereka.” “Eh jangan keterlaluan ya Bu. Bisanya Ibu menyumpahi orang tua kumeninggal. Yang ada nanti Ibu duluan yang mati.” “Astagfirullah Sinta, bebal sekali jadi orang. Yang menyumpahi orang tua kamu meninggal siapa? Susah memang bicara sama kamu. Iya sudah, kamu makan saja! Ibu pusing. Ibu mau ke luar saja cari angin. Capek Ibu setiap hari menghadapi anak mantu modelnya kayak kamu. Bisa mati berdiri Ibu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN