Episode : Kepingan Rahasia Kelam Masa Lalu (7)
“Ya. Memang salah. Aku berselingkuh dari Endah. Dan itu kesalahan kita berdua. Aku nggak akan menyangkalnya. Tetapi ketika kamu menuntut aku menikahimu di hadapan para Tetua desa saat itu juga, bukannya aku segera melakukannya? Walau aku dalam keadaan tertekan karena tidak terbayang bagaimana reaksi Endah jika ia tahu aku mempunyai Perempuan lain, selain dirinya,” timpal Pak Handara, lalu terdiam sejenak.
Dan kamu tahu, aku bahkan menentang Ibu kandungku sendiri, yang sudah memperingatkan bahwa kamu akan menjadi masalah besar buat keharmonisan Keluargaku. Dan bahkan kamu akan menjadi ancaman buat keselamatan Keluargaku. Aku mengabaikan pesan-pesan dari Ibuku sendiri, yang coba dia kirimkan kepadaku sampai lewat hubungan batin, hingga beberapa menit sebelum pernikahan secara adat itu berlangsung, batin Pak Handara penuh sesal.
“Soal kamu menikahi aku, itu memang sudah seharusnya. Kamu sudah menodai aku, masa mau seenaknya pergi tanpa tanggung jawab?” sahut Sang Istri Kedua sewot.
“Sudah, Fatin! Bukannya aku juga sudah menikahimu. Dan aku memberikan yang lebih dari itu. Ketika kamu menuntut meminta dicukupi semua kebutuhanmu, dari mulai diberikan rumah yang layak, bukannya di tinggal di mess perkebunan yang katamu berisik, aku penuhi. Ketika kamu meminta supaya aku memperhatikanmu dengan rutin mengunjungimu, aku juga menurutinya, walau aku tahu Endah mulai curiga karena perkebunan itu sejatinya sudah berjalan dengan baik dan dapat dipercayakan kepada mitraku, tetapi aku masih saja berlama-lama kalau berkunjung ke sana,” timpal Pak Handara.
Sang Istri Kedua meradang.
Jadi dari tadi itu kamu mengesankan bahwa kamu hanya bertanggung jawab? Bukannya mencintai aku? Kamu keterlaluan, Mas! Padahal dari pertama kali aku melihatmu, dari pertama kali kamu menjejakkan kakimu di area perkebunan, hati aku sudah tergetar. Aku sendiri, dengan keistimewaan yang aku punya untuk meminta sesuatu kepada Mandor yang aku tahu menaruh hati padaku, meminta di tempatkan di barisan depan. Semata agar kamu melihatku. Dan itu berhasil, kan? Tolong Mas, jangan sangkal bahwa kamu jua mempunyai perasaan yang sama denganku sejak pertama kali kita bercakap-cakap. Kamu menyakiti hatiku Mas, kalau bilang apa yang kita lakukan setelahnya hanya berdasarkan nafsu saja! Batin Sang Istri Kedua sedih.
“Terus, Mas! Terus saja kamu puji-puji Mbak Endah! Seakan-akan yang punya perasaan itu hanya dia. Seakan-akan aku nggak layak untuk mendapatkan hak aku!” sentak Bu Fatin yang mulai sesenggukan.
“Fatin, Fatin, nggak usah pakai menangis segala! Aku tidak memuji Endah. Aku mengatakan yang sebenarnya. Kalau ada satu Orang yang patut disalahkan dan mengakibatkan keruwetan yang panjang ini, aku Orangnya. Semua berawal dari penyelewenganku.”
Tangis Bu Fatin makin keras.
“Terus Mas! Sakiti terus hatiku! Bilang kamu menyeleweng terus. Seolah kamu menyesali semua yang terjadi!” ratapnya.
“Kalau begitu, ya sudah. Kamu sendiri yang memancing aku mengenang dan mengucapkan semuanya itu, kan? Makanya sudah, jangan banyak menuntut yang tak mungkin untuk aku lakukan.”
“Mas!” pekik Bu Fatin histeris.
Pak Handara mendengkus kesal.
“Apa lagi? Kamu ini benar-benar kelewatan menguji kesabaranku.”
“Kenapa kamu membentakku? Kamu menyakiti perasaanku, Mas!”
“Aku minta maaf.”
“Itu nggak cukup, aku minta lebih, Mas.”
Terdengar desahan kecewa Pak Handara.
“Ya ampun, Fatin! Apa lagi? Kamu meminta aku mengurus penjualan rumah yang aku belikan buatmu di dekat perkebunan dan pindah kemari, aku kabulkan. Kamu meminta tinggal satu rumah dengan Endah, aku penuhi walau tidak mudah bagi aku untuk menyampaikannya kepada Endah Aku tahu betapa dia terluka, tetapi mau menunjukkan kebesaran hatinya, serta baktinya kepada Suaminya. Lalu kamu meminta terus-menerus ditemani nyaris setiap malam menjelang kelahiran Farah, juga tidak kutolak. Itu karena baik aku maupun Endah juga berpikir, bisa saja sewaktu-waktu tiba saatnya kamu akan melahirkan. Kamu pernah nggak sedikit berpikir, bagaimana luasnya hati Endah?”
“Terus saja memujinya, Mas! Puji dia sepuas hatimu!”
“Sudah. Cukup, ya! Sekarang terserah kamu saja. Kamu mau tinggal di sini terserah. Kamu mau pergi dari sini, juga terserah. Tapi satu hal, jangan pernah bawa Anak-anak bersamamu. Aku nggak yakin kamu bisa mendidik mereka dengan benar. Sikapmu saja seburuk ini. Semakin lama dikasih hati, kamu itu semakin bertingkah dan menyusahkan. Kamu bagaikan api dalam sekam.”
“Kurang ajar kamu, Mas!”
Merna yang mendengar dari luar tercekat.
Terlalu Bu Fatin ini! Pikir Merna.
“Aku tahu kenapa kamu lebih mencintai Mbak Endah ketimbang aku! Padahal dia itu lebih tua dari aku. Aku tidak rela sebetulnya karena aku merasa aku ini lebih cantik dan menarik ketimbang dia. Aku ini masih segar. Tapi nyatanya, kamu lebih mencintai dia. Itu karena dia bisa memberikanmu Anak Lelaki, kan? Sedangkan aku, hanya bisa memberimu Anak Perempuan saja. Dan sudah tertutup kemungkinan bagiku untuk memberikanmu Anak lainnya, karena kedua indung telurku bermasalah.”
“Sudah Fatin, tidak usah melebar kemana-mana. Aku lelah mempertengkarkan hal ini terus.”
“Aku menderita, Mas!”
“Kamu menderita karena kemauanmu sendiri. Kamu menderita karena kamu tidak pernah puas dengan apa yang kamu miliki.”
“Dasar kamu Lelaki yang tidak bertanggung jawab.”
“Di sebelah mananya aku tidak bertanggung jawab?” suara Pak Handara terdengar meninggi. Sepertinya dia merasa toleransinya telah disia-siakan oleh Bu Fatin.
Bu Fatin kehabisan kata-kata.
Lama senyap, sebelum akhirnya terdengar suara lirih Bu Fatin yang demikian memelas.
“Aku nggak mau jadi Istri kedua, Mas, kamu tahu itu.”
“Dari awal kamu sudah tahu bahwa aku Pria beristri.”
“Tapi aku pikir hari demi hari kamu bisa meninggikan posisiku.”
“Kamu serakah.”
“Siapa yang serakah? Tanya, Perempuan mana yang rela berbagi Suami?”
“Semestinya kamu pikirkan, memangnya Endah juga mau, diduakan? Tapi toh kenyataannya, Endah dapat menerima kehadiranmu di sini, dan bahkan bersikap baik padamu dan Anak-anak.”
“Tapi aku mau aku menjadi satu-satunya Istrimu. Ceraikan Mbak Endah. Aku bisa melayanimu dengan jauh lebih baik dari yang selama ini dia lakukan.”
Merna yang mendengar dari luar, bagai tersambar petir.
Bu Fatin ini benar-benar sakit jiwa! Tidak tahu diri, dia! Orang jelas dia yang menggoda, dia yang datang belakangan, eeeh..., bisa-bisanya minta dijadikan satu-satunya Istri Pak Handara. Otak dan hatinya benar-benar nggak ada. Wah nggak kebayang bagaimana tingkah lakunya di rumah ini kalau hal itu sampai terjadi. Sekarang saja dia kerap semena-mena sama kami! Pikir Merna dongkol.
“Aku sudah bilang, nggak akan!” terdengar suara tegas Pak Handara.
Kalau saja ia tak dapat menahan diri, pasti sudah ditambahkannya dengan kalimat, “Seandainya ada yang terpaksa harus aku ceraikan, kamu orangnya, Fatin! Bukan Endah!”
“Jelas, sudah! Kamu itu lebih mencintai Mbak Endah ketimbang aku. Kamu tidak adil, Mas! Aku akan bawa Anak-anak bersamaku! Mereka adalah hak aku!” jerit Bu Fatin.
Habis sudah kesabaran Pak Handara. Pikirnya, sia-sia sudah menahan kata-kata kasarnya semenjak tadi.
“Jangan mimpi, Fatin! Kamu mau tetap di sini atau pergi, silakan saja. Kamu mau tinggal di luar, minta dibelikan rumah atau apa, terserah. Jangan bawa Anak-anak, aku sudah tegaskan tadi kan? Fatin, cukup kamu tidak bisa menjadi Istri yang baik. Namun seetidaknya, berusahalah elbih keras untuk menjadi Ibu yang baik,” suara Pak handara begitu pelan namun tegas.
“Kalau begitu, aku akan tetap di sini. Aku akan menjadi duri dalam daging dalam hubunganmu dengan Mbak Endah. Biar dia merasakan sakitnya hatiku saat ini.”
“Aku nggak akan membiarkannya.”
“Mas! Kamu mau ke mana? Pembicaraan kita belum tuntas!” seru Bu Fatin.
Merna terkaget.
Khawatir dipergoki tengah menguping, Merna segera membalikkan Badan dan segera mempercepat langkah, menuju ke dapur.
...
Pembicaraan yang didengarnya secara tak sengaja itu disimpannya rapat-rapat hinga saat ini. Dan jauh di lubuk hatinya dia tahu, pasti Bu Endah juga telah mengetahui hal tersebut, namun tetap menyimpannya dalam hati. Itu membuat Merna semakin salut saja pada Sang Majikan perempuan.
Hatinya Bu Endah itu bagai Malaikat. Dan bisa-bisanya dia menyembunyikan perasaannya hanya untuk dirinya. Kalau aku sih diperlakukan seperti itu pasti sudah lama meledak, kata Merna dalam hati.
Karenanya, merenungi peristiwa tersebut, kini ia mengawasi gerak-gerik Fina.
Jangan-jangan Ibunya dia sudah mengajari dia hal-hal yang jahat. Pasti. Lagi pula dasar tak tahu diri, sudah mengancam-ancam Bapak, kenyataannya sampai sekarang belum juga pergi dari rumah ini. Pasti dia punya rencana busuk yang menanti untuk dieksekusi di waktu yang tepat, pikir Merna curiga.
Tak sedikitpun ia mengendurkan tingkat kewaspadaannya.
* * Lucy Liestiyo * *