Episode : Kepingan Rahasia Kelam Masa Lalu (8)
“Bu Endah..,” panggil Fina dengan sorot mata yang berbinar. Suara Bocah kecil itu begitu pelan, namun tersirat minat yang dalam di matanya. Mata yang tampak jujur.
Melihat itu, Merna semakin mengerutkan keningnya. Kian curiga saja dia. Sekaligus berjaga-jaga dengan segenap daya yang dimilikinya.
“Iya, Fina Sayang, ada apa?” tanya Bu Endah sabar.
Fina menatap seedikit ragu.
“Eng..., Fina boleh pegang Dedek?” tanya Fina polos. Tangannya kembali menunjuk ke arah perut Bu Endah. Rupanya tadi dia merasa takjub saat Bu Endah ‘berbicara’ kepada Sang jabang bayi di dalam perutnya.
Bu Endah tersenyum dan mengangguki Bocah kecil itu.
“Sini, Fina,” kata Bu Endah.
Fina kian mendekat ke posisi Bu Endah. Ia menurut saja ketika tangan Bu Endah meraih tangan mungilnya, dan pasrah saat tangannya ditempelkan ke perut Wanita itu.
Sesaat kemudian, Si Kecil Fina tertawa-tawa.
“Dedeknya gerak-gerak, Bu. Lucu... lucu,” katanya Fina dengan suara cadel.
Bu Endah langsung berkata, “Dedek, kenalin, ini Kakak Fina yang cantik.”
Fina kian lebar tertawanya.
“Hallo Dedek..,” ucap Fina dengan mimik muka lucu dan menggemaskan.
Bu Endah tersenyum lagi.
“Hallo, Kakak Fina, Dedek sayang sama Kakak Fina,” kata Bu Endah pula, seolah mewakili Anak dalam kandungannya.
Sekarang Fina malah berinisiatif menempelkan telinganya ke perut Bu Endah.
Ia tertawa geli sesudahnya.
Merna sudah mengangguk kepada Bu Endah, memperlihatkan gelagat hendak minta diri. Ia berpikir bahwa segalanya aman terkendali dan ia dapat pergi dengan hati tenang. Bu Endah balas menganggukinya.
Saat mereka berdua sedang asyik berbicara bersahutan, di mana Bu Endah ‘mewakili’ suara Calon Anak keduanya, mendadak terdengar suara nyaring mendatangi mereka. Merna, yang baru akan beranjak, berpapasan dengan Si Empunya Suara nyaring itu. Dia memutuskan segera kembali, berjalan cepat di belakang Sang Empunya suara.
“Finaaaaaa! Kamu ngapain?” bentak Bu Fatin.
Fina memperlihatkan ekspresi ketakutan dan reaksi spontannya adalah memegang erat tangan Bu Endah. Bu Endah refleks memeluk Bocah kecil itu.
“Heh! Jangan sentuh Anakku! Lepaskan Anakku! Jauhkan tanganmu yang kotor itu dari tubuh Anakku!” teriak Bu Fatin ganas.
Kurang ajar. Tangan Bu Endah dikatakan kotor. Yang ada hati dia sendiri tuh, yang kotor, dumal Merna dalam hati.
Merna merasa perlu angkat suara.
“Bu Fatin, jangan begitu. kasihan itu Fina jadi tambah ketakutan,” kata Merna pelan.
Bu Fatin menoleh pada Merna, menatapnya dengan tatapan merendahkan.
“Diam kamu, Pembantu! Apa hakmu bicara begitu padaku?” bentak Bu Fatin.
Merna terdiam dan menundukkan wajahnya, namun tetap berada di sekitar tempat itu.
Bu Endah terkesiap. Ia tak pernah menyebut para Pegawainya sebagai ‘Pembantu’. Ia selalu menyebut mereka dengan panggilan ‘Anak-anak’, memperlakukan mereka bak Anggota keluarganya sendiri.
“Tidak usah marah-marah begitu, Fatin. Tadi itu Fina hanya ingin mendengarkan suara dari Adiknya,” kata Bu Endah dengan nada rendah.
“Huh! Itu bukan Adiknya. Pasti kamu membujuk dan mempengaruhinya, Mbak Endah! Jangan sekali-kali mendekati Anakku. Jangan kotori pikiran mereka,” sentak Bu Fatin.
Ia melirik sinis pada Bu Endah yang enggan menjawab padanya, lalu menengok pada Merna.
“Ngapain kamu tetap di situ? Pergi dari sini! Aku muak melihatmu!”
Merna terperangah. Pun begitu, dia hanya mundur sejauh dua langkah. Langkahnya terhenti kala badannya seperti menabrak sesuatu.
“Ih! Apa-apaan sih Mbak Merna!” ‘Sesuatu’ yang tersentuh oleh badan Merna itu membentak. Merna menoleh dan mendapati Farah berdiri di sana.
“Fina! Kamu ngapain pegang-pegang Ibunya Kak Fabian? Dia bukan Ibu kita!” teriak Farah galak.
Sekali lagi Merna terkaget.
Ibu sama Amak sama-sama bar-bar, pikir Merna.
“Fina, Fina main sama Kak Farah dulu ya Sayang,” bujuk Bu Endah pelan.
Fina menggeleng-gelengekan kepalanya.
Bu Endah bangkit dari duduknya. Fina tak mau melepaskan pegangannya ke ujung baju Bu Endah.
“Sini!” bentak Bu Fatin sambil menarik Sang Anak.
“Fatin, tolong jangan kasar sama Anakmu sendiri,” kata Bu Endah pelan.
Namun Bu Fatin tidak peduli.
“Jangan sok mengajari aku soal mendidik Anak!” sentak Bu Fatin.
Ia berhasil merampas Anak bungsunya itu, tetapi lantaran Fina memegang erat ujung baju Bu Endah, akibatnya bu Endah sedikit limbung. Bajunya pun sampai robek.
“Ibu!” teriak merna panik, berusaha menjangkau Bu Endah.
Namun ia kalah cepat.
Melihat posisi berdiri Bu Endah yang tidak mantap, Bu Fatin seperti mendapatkan sebuah bisikan.
“Farah, jaga Adikmu!” Bu Fatin mendorong tubuh Fina seenaknya.
Untung saja Farah sigap menangkap tubuh Sang Adik, yang kemudian meronta-ronta kepadanya.
Bu Fatin tak peduli. Ia justru merangsek maju. Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Bu Endah hingga Bu Endah jatuh terduduk. Bunyi berdebamnya membuat Merna bagai disetrum aliran listrik ribuan watt saja.
“Astaga! Bu Fatin benar-benar keterlaluan!” jerit Merna.
Ia bergerak cepat, melewati tubuh Farah yang menghalanginya. Ia terus maju dan menempatkan diri di antara Bu Fatin dan Bu Endah. Di depannya, tampak Bu fatin tertawa puas melihat Bu Endah meringis kesakitan dan memeluk perutnya dengan wajah cemas. Bu Endah tidak bisa bangun.
“Ibu..., mari saya bantu..,” kata Merna sambil mengulurkan tangannya.
Namun Bu Fatin mengibaskan tangan Bu Endah.
“Ibu jahat! Ibu jahat!” teriak Fina.
“Diam kamu!” bentak Farah.
Bu Endah mulai mengaduh. Ia tampak panik kala merasakan ada sesuatu yang lembab, membasahi pahanya. Dan ia lantas menangis, menahan sakita campur takut, kala melihat sesuatu yang lembap itu adalah darah. Darah yang dengan segera menggenangi lantai.
“Bu Endah berdarah. Ibu..., kenapa Bu Endah berdarah?” tanya Farah yang terkaget.
“Ibu jahat! Ibu jahat! Fina bilang sama Bapak!” kata Fina lagi.
Bu Fatin menatap tajam pada Anak bungsunya.
Lantas, ia menatap puas.
“Dengan begini, posisi kita seri. Aku nggak bisa punya Anak lagi. Kamu sendiri kehilangan Anak yang kamu jadikan senjata untuk bermanja-manja kepada Mas Handara. Rasakan!” umpat Bu Fatin.
Merni menggeleng-gelengkan kepala, tak habis percaya ada Orang yang sehajat Bu Fatin.
“Ibu, ya ampun...,” Merna jadi ikut-ikutan menangis.
“Tolong...! Tolooong...,! Bu Endah jatuh!” Mmerna langsung berteriak sekeras mungkin agar seisi rumah mendengarnya, termasuk mereka yang tengah sibuk bekerja di dapur.
Lantas dengan berani, Merna mendorong tubuh Bu Fatin yang menghalanginya menolong Bu Endah.
Bu Fatin meradang. Tak menyangka Merni bakal membela Bu Endah sampai seperti itu.
“Kurang ajar! Hei Pembantu! Kamu melawanku? Aku pecat kamu! Pergi dari rumah ini sekarang juga! Beresi barang-barangmu!” sentak Bu Fatin galak.
Terdorong rasa sabarnya yang sudah amat menipis, Merna menatap nyalang kepada Bu Fatin.
“Huh! Sayangnya aku nggak punya waktu meladenimu. Lagi pula yang berhak mengusirku adalah Bapak atau Ibu. Bukan kamu! Hei..., bukannya emenjak setengah tahun lalu kamu bilang mau pergi meninggalkan rumah ini? Kenapa masih di sini?” ejek Merni yang sudah nekad.
“Kamu berani panggil saya ‘kamu’? Kurang ajar Rasakan ini!” Bu Fatin berang dan memukul pipi Merna sekuatnya.
Merna sampai terhuyung lantaran menahan rasa sakit dan pusing. Tetapi tak dibiarkannya rasa sakit itu menghalanginya mendekati posisi Bu Endah.
“Jangan sampai terlambat. Semoga Anaknya Bu Endah masih bisa terselamatkan, dan keadaan Ibu baik-baik saja,” kata Merna pelan. Spontan dia mengucapkan doa yang tulus di dalam hatinya.
“Mbak Merna, ada apa teriak-teriak?” tanya Dewi dan Hera yang datang tergopoh.
“Cepat tolong Ibu. Ibu mengalami pendarahan karena didorong wanita Iblis ini! Dia memukulku juga,” kata Merna.
“Ada apa? Ada apa Mbak Merna?” tanya Ronny, yang berlari ke arah mereka.
Bu Fatin terpojok melihat tiga Orang ini mendekat.
“Mbak Merna, kamu hubungi Bapak, cepat! Bapak harus tahu soal ini!” kata Ronny sambil menghambur dan segera menolong Bu Endah.
* * Lucy Liestiyo * *